Selasa, 17 Desember 2013

Pemahaman Risiko Medis Penegak Hukum

Pemahaman Risiko Medis Penegak Hukum
Eka J Wahjoepramono  ;   Doktor Hukum Kedokteran UPH,
Dekan FK Universitas Pelita Harapan
MEDIA INDONESIA,  30 November 2013
 
SELALU menjadi perdebatan penegak hukum dengan dunia medis bahwa tidak selalu akibat yang ditimbulkan dalam praktik medik berupa cacat permanen atau bahkan kematian dapat disamakan dengan malapraktik. ‘Kriminalisasi’ praktik kedokteran terjadi kembali di RS Dr Kandau Manado pada April 2010, setelah yang terjadi pada dokter (dr) Setyaningrum di Pati, Jawa Tengah, pada 1979.

Pasien akhirnya meninggal dunia sekitar 20 menit pascaoperasi caesar darurat. Dari hasil autopsi dan diperkuat pernyataan Ketua Umum POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) disebutkan, pada sayatan pertama saat operasi, keluar darah berwarna hitam yang merupakan tanda pasien dalam keadaan kurang oksigen. Dalam dunia kedokteran, gejala itu disebut dengan emboli. Emboli udara (gelembung udara) ditemukan pada bilik kanan jantung pasien sehingga mengganggu peredaran darah. Emboli tidak bisa diprediksi dan dicegah, dan waktu tindakannya pun dalam hitungan menit. Kasus itu kemudian diangkat jaksa untuk diajukan ke pengadilan dengan dugaan kelalaian menjalani profesi medik (malapraktik) dan dituntut dengan ancaman pidana selama 10 bulan penjara. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado, setelah memeriksa saksi dan alat bukti, menyatakan tidak ditemukan unsur tindak pidana pada tim dokter sehingga dinyatakan tidak bersalah dan bebas murni. Namun, jaksa mengajukan kasasi dan dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

Membaca kasus itu membuat penulis secara pribadi dan dunia kedokteran pada umumnya sangat prihatin dan termotivasi untuk mengingatkan kembali kepada penegak hukum bahwa dalam dunia kedokteran juga dikenal dengan prinsip `risiko medis'. Tidak serta-merta apa yang kemudian timbul sebagai akibat dari praktik kedokteran terhadap diri pasien, baik cacat permanen ataupun kematian, kemudian dikatakan sebagai malapraktik.

Hal itu perlu dipahami dan diluruskan kepada semua pihak, khususnya kepada penegak hukum, bahwa profesi kedokteran Indonesia sudah menerapkan apa yang dinamakan dengan standar profesi medis, yaitu batasan kemampuan (knowledge, skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat organisasi profesi, berupa surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktek (SIP).

Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, apabila dokter/dokter gigi yang melaksanakan praktik kedokteran/kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasi standar, dokter/dokter gigi tersebut berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Upaya perlindungan

Selain harus mematuhi standar profesi medis seperti telah diuraikan, Selain harus mematuhi standar profesi medis seperti telah diuraikan, dokter diharuskan pula memenuhi standar pelayanan medis (SPM) dan prosedur operasi standar (SOP). SPM diatur dalam Pasal 44 UU Praktik Kedokteran, yang menyatakan, ‘ Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi'. SPM itu sebagai pedo man dalam pengawasan praktik dokter, pembinaan, serta upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia yang efektif dan efisien. Selain itu, dimaksudkan juga untuk melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan yang tidak wajar dari masyarakat luas, serta untuk me lindungi masyarakat dari praktik-praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.

SOP ialah pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan kinerja berdasar kan indikator-indikator teknis, administratif, dan prosedural sesuai dengan tata kerja, prosedur kerja, dan sistem kerja pada unit kerja yang bersang kutan. SOP meliputi anamnesis, yaitu kegiatan tanya ja wab dokter/dokter gigi kepada pasien mengenai penyakit atau keluhan yang dirasakan pasien; physic diagnostic, yaitu berupa yaitu berupa pemeriksa an jasmani pasien, pemeriksaan tambahan bila dipandang perlu berupa pemeriksaan laboratorium, rontgen, dan sebagainya; dan terakhir adalah tindakan medis.

Dengan terpenuhinya tiga dasar standar profesi medis tersebut, dapat dikatakan dokter mendapatkan perlindungan hukum berupa alasan pembenar menjalankan profesinya. Selain itu, dalam ketentuan pidana di Indonesia, seorang dokter mendapatkan alasan penghapus pidana karena adanya dua dasar peniadaan kesalahan, yaitu alasan pembenar, alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar dan alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat memaafkan sifat perbuatannya meskipun perbuatan tersebut melawan hukum.

Namun dalam hal ini, dokter yang menjalankan profesinya sesuai dengan koridor hukum tersebut akan terlepas dari tuntutan hukum dengan alasan pembenar. Dengan demikian, menjadi tidak sertamerta sebuah akibat yang tidak diinginkan (keadaan tidak diinginkan) pada seorang pasien merupakan kelalaian dokter. Penegak hukum perlu memiliki pemahaman akan profesi medis dengan segala akibatnya. Kriminalisasi kepada dokter akan mematikan karakter, masa depan, dan keluarga dari dokter itu sendiri yang notabene merupakan profesi yang nobel. Hal itu pernah penulis alami ketika sebagai seorang dokter bedah saraf berhadapan dengan proses hukum, yang tentunya menghabiskan waktu, energi, dan konsentrasi untuk itu.

Sikap defensif

Putusan kasasi yang mengabulkan tuntutan jaksa dan menjatuhkan vonis pidana bagi tim dokter di RS Dr Kandau Manado tidak menutup kemungkinan membuat kalangan dokter akan menerapkan apa yang dinamakan dengan defensive medicine. Dalam literatur, dikenal ada dua jenis defensive medicine, yaitu tipe pertama para dokter cenderung memeriksa hal-hal yang tidak diperlukan sebelum melakukan tindakan.

Misalnya seorang pasien dari Swiss datang kepada penulis dengan saraf terjepit di tangan (carpal tunnel syndrome), dokter harus memeriksa pasien dengan general check up sehingga biaya membengkak 20 kali lipat karena takut bila terjadi sesuatu pada operasi tersebut dokter dapat dituntut.

Tipe dua ialah sebagian dokter cenderung tidak mau melakukan operasi atau terapi dengan risiko dan kesulitan tinggi, dengan alasan stres luar biasa, mudah dituntut, dan imbal jasa yang tidak sepadan dengan risikonya. Akibatnya, dokter tersebut merujuk ke tempat lain atau ke luar negeri.

Tindakan sectio pada kegawatan janin adalah dibenarkan pada kasus yang terjadi di RS Dr Kandau Manado. Sepanjang tim dokter yang melakukan sectio telah memenuhi ketentuan tersebut, kejadian apa pun yang muncul (meninggalnya Saudari Julia Fransiska), dokter akan terlepas dari tuntutan pidana karena telah menjalankan perintah UU. Kejadian tersebut dalam dunia kedokteran diistilahkan sebagai kejadian tidak diinginkan (KTD).

Semoga penegak hukum dapat memahami prinsip-prinsip yang berlaku pada praktik profesi kedokteran sebelum melakukan tuntutan hukum atas risiko yang terjadi pada praktik profesi kedokteran tersebut.

sumber : http://budisansblog.blogspot.com/2013/12/pemahaman-risiko-medis-penegak-hukum.html

Dokter, Hukum, dan Kemanusiaan

Dokter, Hukum, dan Kemanusiaan
Sudjito ;   Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO,  03 Desember 2013

Aneh, tapi nyata. Dokter-dokter tega meninggalkan pasien dengan alasan demo kesetiakawanan terhadap dokter lain yang divonis Mahkamah Agung (MA) 10 bulan penjara.

Bukankah tindakan demikian melanggar sumpah jabatan? Mereka tahu bahwa MA tidak mudah ditekan- tekan untuk mengubah putusannya. Sadarkah bahwa demo justru merendahkan martabat profesi dokter? Sulit akal sehat memahaminya. Sejak ribuan tahun silam, jauh sebelum negara Indonesia lahir dan jauh sebelum hukum modern diberlakukan di negeri tercinta ini, masyarakat telah menata kehidupan bersama berdasarkan kaidah-kaidah substansial yakni keadilan.

Keadilan itu menjadi simbol kemanusiaan. Tiadalah keadilan tanpa kehadiran manusia beradab. Kualitas kemanusiaan menjadi penentu terwujud keadilan. Dimulai dari keadilan terhadap diri sendiri dan selanjutnya mengembang luas mewarnai kehidupan bermasyarakat sehingga pancaran keadilan dirasakan sebagai anugerah kehidupan bersama. Dalam kondisi demikian interaksi pasien dan dokter terjalin dalam suasana saling menghormati.

Kadar penghormatan bertingkat-tingkat dan keadilan pun mengejawantah dalam berbagai tingkatan pula. Tingkat keadilan terendah berupa keseimbangan hak dan kewajiban, sedangkan tingkat keadilan tertinggi berupa keikhlasan memberi atau mengobati tanpa pamrih atas hak-haknya. Gugatan malapraktik kedokteran tiada lain merupakan upaya pencarian keadilan (search for justice). Tangis keluarga pasien merupakan tangisan keadilan (cry for justice).

Keluarga pasien dan para dokter kini sedang bergerak menuntut keadilan. Jalan yang ditempuh keduanya berbeda bahkan bertolak belakang, tetapi menuju satu tujuan yakni keadilan. Perbedaan dan persimpangan jalan mengerucut pada satu titik yakni MA. Putusan MA adalah keadilan untuk bersama. Keadilan merupakan realitas dinamis. Dinamika kehidupan masyarakat bergerak paralel dengan dinamika keadilan. Ketika dugaan malapraktik diputus di pengadilan tingkat pertama, ada pihak tak puas, mereka bergerak ke pengadilan tingkat banding. Ketika putusan tingkat banding tidak memuaskan, mereka bergerak ke atas sampai kasasi di MA.

Bila putusan kasasi tak memuaskan, terbuka mengajukan peninjauan kembali (PK). Proses hukum berjalan tertib dan teratur. Bukankah hal demikian sudah menjadi kesepakatan hidup bernegara hukum? Demo para dokter tampaknya bukan untuk membebaskan dokter Ayu dari sanksi pidana ataupun menuntut keadilan, boleh jadi dipicu emosi dan kekhawatiran kalau kejadian serupa menimpa dokterdokter lain. Demo dijadikan simbol perlawanan terhadap kemapanan proses hukum dan upaya mendapatkan pengakuan istimewa (privilese) atas profesi dokter.

Pendek kata, dengan keistimewaannya, dokter jangan pernah dihukum ketika terjadi ihwal yang tak diinginkan pada pasien. Apakah keinginan demikian benar secara hukum? Keadilan dan kebenaran hukum merupakan atribut melekat pada kemanusiaan. Apabila para dokter masih setia pada sumpah jabatan bahwa profesi dokter wajib diabdikan untuk kemanusiaan dan selama MA telah menerapkan hukum dengan benar demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya tidak perlu ada demo terhadap putusan MA.

Tudingan para dokter bahwa MA salah menerapkan hukum akan menjadi bumerang. Soal hukum, bukanlah dokter ahlinya. Soal kesehatan bukan hakim ahlinya. Sebaiknya, masing-masing bicara secara santun dan proporsional pada bidangnya. Sikap demikian justru menunjukkan kedewasaan hidup bernegara.

Betapa pun manusia telah beribu-ribu tahun berkelindan dalam dinamika pencarian keadilan, kini tak terhindari terjadi anomali hubungan antara pasien dan dokter. Gelombang baru ini terjadi seiring perubahan dramatis dari kemanusiaan ke teknologi dan bisnis. Teknologi dan bisnis menjadi simbol kehidupan baru tanpa peduli terhadap kemanusiaan. Wajar, dalam situasi anomali demikian, pihak-pihak yang tidak siap mental menjadi tergagap-gagap.

Alvin Toffler (1970) menyebutnya sebagai culture shock. Para dokter yang terlibat demo diakui atau tidak tergolong orangorang terjangkiti culture shock. Khawatir kenyamanan profesinya terancam oleh pengadilan. Pelayanan kesehatan modern erat tali-temali dengan persoalan teknologi dan bisnis. Dokter dan rumah sakit disadari atau tidak telah lama terjebak kehidupan modern. Pelayanan kesehatan menggunakan alat-alat modern, didukung sistem manajemen prosedural dan standar pelayanan medis, telah melahirkan model pelayanan rasional.

Besarnya tarif dipadankan sebagai besarnya tanggung jawab dokter dan rumah sakit atas kualitas pelayanan kesehatan. Karena itu, ketika pelayanan dan hasilnya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, wajar dan menjadi hak pasien untuk menuntutnya. Tuntutan dapat meliputi pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Ini semua konsekuensi hubungan teknologi dan bisnis antara pasien, dokter, dan rumah sakit. Kehidupan modern mempunyai rasionalitas tersendiri dalam pelayanan kesehatan.

Kehidupan pasien dan dokter terstruktur sedemikian rupa, berada dalam karakteristik sangat berbeda. Interaksi tidak lagi ”luwes, ajur-ajer, tepa salira”, melainkan ”keras, tegas, dan impersonal”. Silakan hubungi dokter bila sanggup membayar tinggi, carilah mantri bagi yang tak mampu. Hukum pelayanan kesehatan pun menjadi ”keras”. Lex dura sed tamen scripta, artinya hukum memang keras, tetapi apa mau dikata, memang begitulah hukum itu. Gugat-menggugat antara pasien dan dokter merupakan corak dan dinamika hukum yang keras itu.

Sedemikian kerasnya, gugatan satu pihak dapat mematikan pihak lain. Pelayanan kesehatan mestinya setia mengabdi pada kemanusiaan dan pantang berubah menjadi komoditas. Basisnya hati nurani dan bukan hitungan finansial. Saya yakin, seburuk apa pun hasilnya, bila hati nurani yang bicara, hubungan pasien dan dokter dapat terjalin sepanjang waktu. Telah sembuh berucap terima kasih.

Kalaupun gagal sembuh, berucap innalillahi wa innaillaihi roji’un. Damai. Pengadilan pun sepi dari sorak-sorai gugatan malapraktik. Wallahualam.

http://budisansblog.blogspot.com/2013/12/dokter-hukum-dan-kemanusiaan.html

Memahami Hukum Progresif

Memahami Hukum Progresif
Janedjri M Gaffar  ;    Kandidat Doktor Ilmu Hukum
pada Universitas Diponegoro (Undip)  
SINDO, 14 Februari 2013


Hukum progresif merupakan pemikiran hukum Indonesia modern yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Pemikiran hukum progresif tetap berkembang, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. 

Pemikiran Satjipto Rahardjo menjadi ruang studi hukum yang menarik karena mendekati hukum dari perspektif yang berbeda dibandingkan dengan perspektif positivis yang mendominasi hukum di Indonesia. 

Hukum Progresif 

Sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia, Pancasila, Satjipto (2003) menyatakan bahwa negara hukum yang dianut harus didasarkan pada Pancasila yang lebih menekankan pada substansi, bukan prosedur dalam peraturan perundang-undangan semata. Di dalam negara hukum Pancasila yang diunggulkan adalah “olah hati nurani” untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu negara hukum Pancasila bercirikan rule of moral atau rule of justice. Negara hukum Indonesia juga harus didasarkan pada posisi dasar manusia di dalam hukum dalam konteks sosiologis Indonesia. Semua instrumen hukum harus menempatkan manusia sebagai pusat orientasi. 

Oleh karena itu, dalam kedudukan manusia yang sentral, pemahaman sifat-sifat manusia harus menjadi perhatian utama dalam hukum. Perubahan orientasi hukum sangat diperlukan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan dan ketertiban. Tujuan itu dihadapkan pada dinamika masyarakat yang sangat cepat sehingga hukum selalu tertinggal. Perkembangan hukum modern yang semakin berwatak teknologi tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai soal dalam masyarakat karena lebih menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format formal. 

Hukum tidak dapat ditegakkan hanya dengan menerapkan peraturan begitu saja, tetapi juga harus menimbang nilai dan cita-cita yang ingin diwujudkan oleh hukum, yang tidak mudah dibaca dalam peraturan. Di sinilah hukum dimaknai tidak semata-mata sebagai teknologi, melainkan juga sarana mengekspresikan nilai dan moral. Hukum tidak dapat didekati secara utuh hanya dari ilmu hukum positif. Objek studi hukum sangat luas termasuk menggunakan berbagai bidang ilmu lain. 

Hal ini juga terjadi pada ilmu pengetahuan lain yang tidak ada untuk dirinya sendiri serta membuka diri terhadap bidang ilmu lain agar dapat menyajikan gambar yang lebih utuh. Oleh karena itu,ilmu hukum harus dikaitkan dengan kehidupan nyata serta disandingkan dengan ilmu lain agar utuh dan dapat menyelesaikan berbagai soal di masyarakat. 

Unsur-Unsur Hukum Progresif 

Sidharta (2011) menyatakan bahwa didalam hukum progresif terdapat unsur-unsur: aliran hukum alam, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme hukum, critical legal studies, dan hukum responsif. Aliran hukum alam terdapat dalam hukum progresif dalam bentuk penekanan logika kepatutan dan logika keadilan yang harus selalu ada di dalam hukum. Keduanya harus selalu diikutsertakan dalam membaca kaidah hukum sehingga berhukum tidak lepas dari keadilan sebagai roh, asas, dan tujuan hukum.

Namun ada perbedaan antara hukum alam dan hukum progresif. Keadilan dalam perspektif hukum alam bersifat universal. Hal ini berbeda dengan semangat hukum progresif yang meletakkan pencarian keadilan substantif dalam konteks keindonesiaan. Hukum dalam perspektif hukum alam bersifat tetap melewati waktu, sedangkan dalam perspektif hukum progresif hukum harus dibiarkan mengalir dan berubah. Hukum progresif mengandung unsur mazhab sejarah karena meletakkan hukum dalam kerangka konteks kemasyarakatannya, yaitu masyarakat di mana hukum itu ada dan dijalankan. 

Hukum adalah pencerminan dari masyarakatnya sehingga hampir tidak mungkin dilakukan transplantasi hukum asing ke suatu masyarakat. Namun, hukum progresif tidak sampai pada dalil mazhab sejarah bahwa hukum tidak perlu dibuat, melainkan dibiarkan tumbuh berkembang bersamaan dengan perkembangan masyarakat. Satjipto tetap berpendapat bahwa hukum tertulis tetap perlu dibuat sebagai dokumen yang menuntun proses dan perilaku masyarakat walaupun tidak boleh diletakkan sebagai satu-satunya sumber hukum. 

Hukum progresif memiliki kesamaan dengan sociological jurisprudence dalam hal titik berat studi hukum yang tidak hanya melihat hukum sebagai aturan tertulis, tetapi juga melihat bekerjanya hukum dan akibat dari penegakan hukum. Namun, bekerjanya hukum dalam hokum progresif tidak hanya dimaknai secara empiris, yaitu yang terjadi di masyarakat, tetapi juga bekerjanya hukum dalam pengertian penemuan hukum yang harus keluar dari logika hukum semata serta menggunakan pendekatan yang menembus norma dan situasi yang ada sehingga diperlukan pendekatan transenden dan spiritual dalam penemuan hukum. 

Antara hukum progresif dengan realisme hukum memiliki kesamaan dalam melihat hukum yang tidak hanya menggunakan kacamata hukum itu sendiri, melainkan dari tujuan sosial yang ingin dicapai. Konsekuensinya, hakim diberi kebebasan yang tinggi untuk membuat putusan. Hal inilah yang membedakan keduanya karena dalam pemikiran hukum progresif ruang diskresional hakim masih dibatasi dengan nilai ideologis.Kebebasan sepenuhnya pengadilan menurut Satjipto adalah wujud dari paham liberal. 

Hukum progresif mengkritik hukum liberal sama halnya dengan critical legal studies. Pandangan yang menyatakan bahwa hukum tidak bersifat netral digunakan oleh hukum progresif untuk membongkar kepentingan di balik aturan hukum.Keduanya berpendapat bahwa di dalam masyarakat sesungguhnya tidak terdapat kesamaan, karena itu diperlukan adanya diskriminasi positif (affirmative action). 

Antara Moral dan Kenyataan 

Stanley L Paulson (1992) mengklasifikasikan berbagai aliran hukum berdasarkan pada dua kategori, yaitu hubungan antara hukum dengan moral dan hubungan antara hukum dengan kenyataan. Berdasar kedua kategori tersebut dapat dibedakan tiga kelompok besar aliran hukum. Pertama, pemikiran hukum yang menyatakan hukum dan moral tidak dapat dipisahkan, tetapi memisahkan antara hukum dan kenyataan. 

Kedua, aliran hukum yang menyatakan hukum dan realitas sosial tidak dapat dipisahkan, tetapi terpisah dari ajaran moral. Hukum tidak bergantung pada ajaran moral, tetapi bergantung pada yang terjadi atau yang hidup dalam masyarakat. Ketiga, aliran hukum yang menolak penyatuan antara hukum dan moral, juga menolak penyatuan antara hukum dan moral. Hukum dilihat sebagai norma hukum apa adanya sebagai perintah penguasa dalam bentuk preskripsi yang ada dalam norma hukum. 

Hukum progresif tidak memisahkan atau menolak, baik hubungan antara hukum dengan moral maupun hubungan antara hukum dengan kenyataan. Karena itu, hukum progresif merupakan hal baru dalam klasifikasi Stanley L Paulson. Jika pada awalnya hanya ada pemikiran hukum yang dilihat secara terpisah dengan ajaran moral atau terpisah dengan kenyataan atau terpisah dengan keduanya, maka hukum progresif mengenalkan pemikiran hukum yang justru tidak terpisah dengan keduanya. 

Bantuan Hukum Gratis

Bantuan Hukum Gratis
Marulak Pardede   Ketua Umum Ikatan Peneliti Hukum Indonesia (IPHI)
KOMPAS, 28 Agustus 2013


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah memberikan akreditasi pada 310 dari 593 lembaga bantuan hukum yang terdaftar untuk melayani persoalan hukum warga tak mampu. Sebanyak 310 LBH ini juga akan mendapatkan kucuran dana APBN dan APBD sebesarRp 40,8 miliar untuk melakukan misinya.
Pemberian bantuan hukum bagi warga tak mampu ini meliputi hukum keperdataan, hukum pidana, dan hukum tata usaha negara baik melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (nonlitigasi).
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memverifikasi dan memberikan akreditasi pada 310 lembaga bantuan hukum (LBH) itu berdasarkan empat pertimbangan, yaitu jumlah kasus dan kegiatan yang ditangani terkait orang miskin, program bantuan hukum nonlitigasi, jumlah advokat yang dimiliki, serta status kepemilikan sarana dan prasarana kantor.
Sertifikat akreditasi berlaku tiga tahun dan dapat diperpanjang.
Tanggung jawab negara
Untuk mengejawantahkan Pasal 34 UUD 1945 itu, Kemenkumham juga akan menyalurkan dana bantuan hukum untuk menjamin akses keadilan bagi orang miskin melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) sampai akhir 2013. Setiap OBH yang lulus verifikasi akan mendapatkan Rp 5 juta untuk penanganan 1 perkara. Pencairan dana berlangsung ketika perkara selesai di persidangan dan ketika putusan sudah dijatuhkan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang BantuanHukum, Pasal 25 menegaskan, undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dengan demikian, negara Republik Indonesia menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum.
Pemberian bantuan hukum kepada warga negara miskin seharusnya dilakukan untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan dan kesamaan di hadapan hukum.
Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai sehingga dibentuknya Undang-Undang tentang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negaranya, khususnya mereka yang miskin.
Penyelenggara
Kemenkumham menjadi satu-satunya penyelenggara bantuan hukum yang memiliki kewenangan membuat kebijakan, melaksanakan, anggaran, dan pengawasan. Melekatnya semua fungsi tersebut tidak lazim dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan berpeluang menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Dengan kondisi seperti itu, apakah ada jaminan bahwa implementasi dan penyelenggaraan bantuan hukum mencapai sasaran?
Apakah kegiatan verifikasi dan akreditasi OBH merupakan proses legalisasi organisasi bantuan hukum atau sekadar prosedur untuk mendapatkan dana bantuan hukum dari pemerintah?
Apakah verifikasi dan akreditasi dapat membatasi hak masyarakat untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan? Bagaimana jaminan pemerintah bagi organisasi bantuan hukum yang tidak ikut atau tidak lolos verifikasi dan akreditasi?
UU Bantuan Hukum menyebutkan empat elemen yang dapat memberikan bantuan hukum, yaitu advokat, dosen, paralegal, dan mahasiswa hukum. Elemen tersebut dijamin menjadi bagian dari kegiatan bantuan hukum dan mereka akan bekerja di bawah organisasi bantuan hukum.
Maka peraturan pemerintah tidak perlu lagi membatasi bahwa yang dapat memberikan bantuan hukum hanyalah advokat, tetapi yang perlu dilakukan adalah memperjelas ruang lingkup kerja masing-masing dalam memberikan bantuan hukum.
Faktor birokrasi administrasi juga tidak dapat dipandang enteng sebagai salah satu faktor yang ikut andil menghambat terciptanya proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Melihat adanya beberapa kelemahan dalam KUHAP, birokrasi justru menjadi kunci terhambatnya proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sehingga perlu diubah. Perlu seleksi ketat terhadap perkara agar tidak setiap perkara dapat dimintakan banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Perlu dipikirkan agar dalam kasus tertentu pemeriksaannya langsung ditangani pengadilan tinggi tanpa melalui pengadilan negeri. Pemerintah diharapkan memberikan kemudahan agar warga miskin dapat mengakses bantuan hukum tanpa terhambat persoalan administratif. 

Malpraktik dalam Dimensi Hukum dan Keadilan

Malpraktik dalam Dimensi Hukum dan Keadilan
Saharuddin Daming  ;   Dosen FH Universitas Ibnu Khaldun Bogor
MEDIA INDONESIA,  28 November 2013



DALAM sejarah aksi unjuk rasa yang terjadi selama ini, umumnya didominasi oleh mahasiswa, buruh dan aktivis. Namun, pekan ini unjuk rasa dilakukan para dokter. Padahal penerus Hipokrates tersebut tergolong jarang, bahkan nyaris luput dari ingar bingar unjuk rasa. Namun, kali ini mereka begitu bersemangat dan kompak melakukan unjuk rasa untuk memprotes putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengkriminalisasi Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendi Siagian, dan Hendry Simanjuntak (dokter di RS Prof dr Kandau Manado) dengan vonis 10 bulan penjara. Dalam putusan MA No 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2013, ketiganya dinyatakan terbukti secara meyakinkan sebagai pelaku malapraktik yang mengakibatkan Julia Fransiska meninggal dunia.

Sebagian kalangan menilai aksi solidaritas seperti itu merupakan sikap non-gentleman dan overprotective. Betapa tidak, karena sebagai manusia, dokter mustahil luput dari kesalahan meski didukung pengalaman hingga gelar akademik yang berderet mengapit namanya. Malapraktik adalah sebuah keniscayaan yang lazim terjadi karena kesalahan prosedur dalam penanganan seorang pasien yang dilakukan dokter. Kesalahan itu bisa berupa kesalahan diagnosis, kesalahan pemberian terapi, ataupun kesalahan dalam hal penanganan pasien oleh dokter.

Dalam berbagai kasus malapraktik, pasien selalu menjadi pihak yang dirugikan, baik secara materiil maupun pada aspek kejiwaan dan mental pasien serta keluarganya. Pasalnya, tak jarang kasus malapraktik bisa fatal hingga berakibat hilangnya nyawa atau menimbulkan keadaan cacat pada diri pasien. Jika demikian halnya, berarti oknum dokter dimaksud dapat dipidana dengan Pasal 359, 360, 361 KUHP tentang Kelalaian yang Mengakibatkan Matinya Orang Lain atau Mengalami Keadaan Cacat jo UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran jo UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Menjadi aneh karena ancaman pidana bagi pelaku malapraktik tersebut sering dimentahkan, bahkan gugur hanya dengan fatwa majelis kode etik kedokteran. Sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa dalam setiap keputusan sidang majelis kode etik kedokteran atas suatu kasus malapraktik, dokter selalu dinyatakan tidak melakukan pelanggaran apa pun terhadap kode etik kedokteran karena dinilai sudah memenuhi seluruh prosedur medis. Berdasarkan hal tersebut, sang dokter lazimnya melaporkan pasien ke pihak berwajib dengan dalil pencemaran nama baik. Inilah yang menimpa Haslinda Siregar, korban malapraktik di Jakarta, hingga mengakibatkan kebutaan secara permanen 2006.

Senjata makan tuan

Karena putusan majelis kode etik cenderung melindungi koleganya, posisi laporan Haslinda ke pihak berwajib tentang dugaan malapraktik berbalik menjadi senjata makan tuan. Bukannya diproses terlebih dahulu, Haslinda malah dilaporkan balik oleh dokternya dengan tuduhan pencemaran nama baik. Haslinda pun ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.

Sementara itu, tindakan malapraktik yang dilakukan dokternya tidak diproses meski dilaporkan lebih awal daripada pencemaran nama baik.
Dalam persidangan Haslinda di pengadilan, ia harus mendatangkan saksi-saksi ahli dari luar negeri karena dokter dari Indonesia tidak ada yang bersedia membelanya lantaran dokter terikat komitmen korps sehingga lebih mengutamakan solidaritas korps daripada kebenaran secara scientific.

Sampai di sini otoritas medis rupanya banyak yang bermental pengecut, hipokrit, tidak mau bertanggung jawab, dan hanya mau enaknya saja, tetapi lempar batu sembunyi tangan. Padahal, bukankah pasien telah meng alami korban secara berganda ibarat kata pepatah sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Dengan merujuk pada definisi malapraktik seba gai bentuk kelalaian dari dokter untuk mempergu nakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan da lam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama, malapraktik harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian dokter dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan dengan ukuran: lazim dipergunakan di wilayah tersebut. Jika akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi, apakah bukan meru pakan risiko yang melekat terhadap suatu (risk of treatment)?

Meski demikian, malapraktik yang dilakukan dokter merupakan tindak pidana dalam sistem hukum di Indonesia. Namun, penegak hukum dituntut mampu membuktikan perbuatan itu telah memenuhi unsur delik, yaitu perbuatan (positive act atau negative act) merupakan perbuatan tercela, dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh, atau adanya kealpaan). Jika terjadi malapraktik, yang harus dibuktikan ialah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati.

Upaya sangkalan

Untuk membebaskan diri dari jerat hukum, sekurangkurangnya dua alasan yang paling sering menjadi senjata pembelaan diri dokter dalam menggugurkan tuntutan pidana, meliputi, pertama, Informal defence, yaitu menangkis tuduhan bahwa ia tidak mempunyai sikap batin (mens rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik atau kejadian itu merupakan risiko medis. Kedua, formal/legal defence, yaitu menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsurunsur pertanggungjawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan ialah pengaruh daya paksa.

Dalam hukum perdata, bentuk perikatan antara dokter dan pasien disebut hubungan terapeutik, yaitu bentuk perikatan dengan kategori daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perikatan tentang hasil (resulta verbintenis). Karena itu, gugatan terhadap malapraktik dapat dibuktikan berdasarkan kelalaian dokter melalui 4D. Pertama, duty (kewajiban) yang melekat pada dokter berupa; indikasi medis, bertindak secara hatihati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi, sudah ada informed consent. Kedua, dereliction of duty (penyimpangan dari kewajiban), jika seorang dokter melakukan penangan medis menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, ia dapat dipersalahkan. Ketiga, direct causation (penyebab langsung).

Keempat, damage (kerugian); untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang dialami pasien dan tanpa ada tindakan sela di antaranya.
Gugatan perdata terhadap malapraktik tidaklah mudah karena tidak ada fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menelantarkan ke wajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menelantarkan kewajiban dengan terjadinya kerusakan (damage), di sinilah titik krusialnya karena yang harus membuktikan ialah pasien yang sangat awam tentang hukum medis. Hal ini tentu sangat menguntungkan posisi dokter.

Meski demikian, pasien sebagai penggugat dapat menangkal pembelaan dokter dengan cara mengajukan fakta-fakta yang dialaminya sebagai akibat penanganan medis melalui doktrin res ipsa loquitur. Doktrin ini dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria: a) fakta tidak mungkin ada apabila dokter tidak lalai; b) fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter; c) fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien (non-contributory negligence).

sumber : http://budisansblog.blogspot.com/search/label/Malpraktik%20dalam%20Dimensi%20Hukum%20dan%20Keadilan

Pancasila Tak Sekuler

Pancasila Tak Sekuler
Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 21 September 2013

Ketika berkeliling di Istanbul, Turki, awal pekan kedua September 2013 ini, saya jadi teringat polemik antara Soekarno dan Natsir tentang hubungan antara negara dan agama yang akhirnya secara konsep bernegara melahirkan modus vivendidalam bentuk dasar negara Pancasila.

Kisahnya pada akhir 1930- an, Soekarno tiba-tiba menulis sebuah artikel yang memujimuji revolusi Turki di bawah Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Attaturk (Kemal sang Bapak Turki). Kata Soekarno, Attaturk telah melakukan revolusi luar biasa dalam mengubah Kerajaan Ottoman Islam menjadi negara Turki sekuler. Menurut Soekarno, agar negara dan agama sama-sama maju, keduanya harus dipisahkan dalam pengurusannya.

Penegakan Hukum, di Mana Kini?

Penegakan Hukum, di Mana Kini?
Achmad Zen Umar Purba, DOSEN PASCASARJANA FHUI
Sumber : KOMPAS, 28 Januari 2012

Masalah penegakan hukum hangat lagi dibicarakan. Terakhir karena dipicu kasus pencurian sandal milik seorang polisi. Walaupun AAL, remaja pencuri sandal itu, hanya dikembalikan ke orangtuanya, hakim menyatakan ia bersalah. Masyarakat pun jadi gerah.
Ini menambah beberapa kasus pencurian mini sebelumnya: kakao senilai Rp 2.100, karung plastik buah randu seharga Rp 12.000, seekor ayam jago, dua batang singkong dan sarung bekas senilai Rp 3.000.

Rupanya orang tidak sekadar melihat bahwa hukum sudah pas diterapkan, tetapi asas keadilan yang lebih luas: mengapa hakim rajin mengurus kasus-kasus liliput, tetapi melempem menghadapi kasus-kasus korupsi kakap. Mana keadilan itu?

Restorasi Bangsa melalui Pembangunan Hukum

Restorasi Bangsa melalui Pembangunan Hukum
Romli Atmasasmita, ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
Sumber : SINDO, 24 Januari 2012

Bangsa yang besar adalah yang mengakui jasa pahlawannya, demikian ungkapan populer yang sering dikemukakan.

Bangsa yang dewasa adalah bangsa yang memahami arti pengalaman masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Inti dari pemahaman ini adalah kesadaran akan perlunya pembaruan pada setiap lima tahunan pemerintahan baik di sektor politik, ekonomi, sosial, hukum, maupun budaya. Kesadaran perlunya pembaruan merupakan tuntutan sejarah perkembangan suatu rezim yang tidak dapat dinafikan dan diabaikan atau disederhanakan karena kebutuhan masyarakat berkembang selalu sejalan dengan perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban manusia.

Aplikasi UNCAC ke Sistem Hukum Pidana Nasional

Aplikasi UNCAC ke Sistem Hukum Pidana Nasional
Romli Atmasasmita ;   Guru Besar Emeritus Hukum Internasional
KORAN SINDO, 14 Juni 2013

UNCAC atau Konvensi PBB Antikorupsi (2003) telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006, sehingga dalam sistem hukum pidana Indonesia masih diperlukan UU Pemberlakuannya baik bersifat perubahan terhadap UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, maupun UU baru yang menggantikan seluruh ketentuan dalam UU tersebut. 

UU pemberlakuan tersebut diperlukan karena ketentuan Pasal 11 UUD 1945 hanya bersifat pengesahan atas UNCAC bukan bersifat pemberlakuan ketentuan suatu tindak pidana. Selain itu, juga karena sistem hukum pidana Indonesia mengakui asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) yang menegaskan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan perundang- undangan pidana (Indonesia) yang telah ada. 

Peran Advokat dalam Perancangan Kontrak Bisnis bagi Perusahaan

Peran Advokat dalam Perancangan Kontrak Bisnis bagi Perusahaan

Sebenarnya masih banyak Peran Advokat bagi Perusahaan tapi dalam tulisan ini saya fokuskan dalam Perancangan Kontrak Bisnis bagi Perusahaan saja.

Dalam perancangan isi kontrak bisnis perlu analisa hukum perdata khususnya hukum perikatan, hukum benda, hukum jaminan, hukum perjanjian khusus, hukum dagang uu persaingan usaha, uu perlindungan konsumen, dan uu ketenagakerjaan. Tentu orang yang memahami dan menguasai peraturan peraturan hukum tersebut adalah seorang Sarjana Hukum yang rajin membaca dan logikanya baik diatas rata rata tapi mampu menjelaskan dengan bahasa yang sederhana kepada kliennya.

Agar Tidak Salah Memilih Advokat

Agar Tidak Salah Memilih Advokat

Pertanyaan:
Bisakah diberikan kepada saya, hal-hal apa yang harus saya perhatikan agar tidak salah dalam mencari advokat untuk memberikan jasa hukum bagi perusahaan saya?

DIANA KUSUMASARI
Mencari advokat untuk menyelesaikan perkara yang sedang kita hadapi atau memberikan jasa hukum lainnya memang memerlukan suatu proses. Kita sering mendengar klien-klien yang mengeluh (complain) mengenai advokat yang menangani perkara mereka. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kesalahan klien itu sendiri karena kurang cermat saat memilih advokat.

Di bawah ini kami sajikan beberapa hal yang perlu Anda perhatikan agar tidak salah memilih advokat. Berikut 10 kesalahan yang sering dilakukan orang-orang waktu memilih advokat yang kami sarikan dari situs Allbusiness.com:

Senin, 16 Desember 2013

Pengacara OC Kaligis Ajukan PK untuk Dokter Ayu

Pengacara OC Kaligis Ajukan PK untuk Dokter Ayu
Oleh Abdi Susanto
Posted: 25/11/2013 14:30

Liputan6.com, Pengacara O.C. Kaligis mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kliennya, Dewa Ayu Sasiary Prawarni, dokter di RS Malalayang Manado, Sulawesi Utara, terkait dengan kasus dugaan malapraktik.

"Kami sudah siapkan permohonan PK dan dalam waktu dekan diajukan atas putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengandung kekhilafan dan kekeliruan nyata," kata O.C. Kaligis di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Senin (25/11/2013).

Pernyataan tersebut terkait dengan kliennya, Dewa Ayu Sasiary Parwarni, yang bertugas di RS Malalayang Manado bersama dokter lainnya, yakni Hendry Simanjuntak, menanggani persalinan pasien bernama Siska Makatey.

Namun, pada tanggal 10 April 2010 pukul 22.00 WITA tim dokter melakukan operasi "Cito Secsio Sesario" (persalinan dengan tindakan sesar secara darurat) terhadap pasien, padahal pukul 18.00 WITA setelah diperiksa masih belum melahirkan secara normal.

Dalam operasi tersebut tidak harus dilakukan pemeriksaan pendukung karena bersifat darurat, cepat, dan segera sehingga tidak diperlukan persetujuan pasien atau keluarga. Bila tidak dilakukan operasi, bayi kemungkinan besar meninggal dunia.

Setelah operasi itu dilakukan, maka bayi lahir dengan selamat. Akan tetapi, beberapa saat pasien mengalami komplikasi dan akhirnya meninggal dunia.

Kaligis mengatakan bahwa orang tua korban melakukan tindakan hukum dan disidang di PN Manado dengan dakwaan dugaan malapraktik.

Kemudian, hakim PN Manado mengeluarkan putusan No.90/PID.B/2011/PN.MDO menyatakan bahwa Dewa Ayu Sasiary Prawarni dengan hukuman bebas. Maka, jaksa melakukan kasasi.

Belakangan ini turun putusan MA dengan No.365/Pid/2012 yang menghukum Dewa Ayu dengan pidana penjara 10 bulan.

Kaligis mengutip ahli Dr. Marhady Saleh sesuai dengan putusan PN Manado bahwa udara yang masuk ke jantung korban adalah terjadi di luar dugaan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Hal itu bukan merupakan kelalaian karena dalam praktik tidak menyalahi standar operasional prosedur (SOP).

Dalam menangani pasien, dokter yang menanggani operasi tersebut telah sesuai dengan Pasal 13 Kode Etik Kedokteran, yakni dokter wajib melaksanakan pertolongan darurat sebagai suatu tugas peri kemanusiaan.

Sesuai dengan putusan PN Manado itu, tim dokter yang menanggani pasien tersebut tidak terbukti bersalah dalam dugaan tindak pidana Pasal 359 KUHP dan Pasal 361 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Akibat putusan MA tersebut, sejumlah dokter di Manado melakukan aksi unjuk rasa dan mereka prihatin karena telah melaksanakan tugas sesuai dengan SOP dan Kode Etik Kedokteran.

Meski telah menunjukkan totalitas dalam melayani masyarakat, masih dituduh melakukan suatu tindakan pidana.

sumber : http://health.liputan6.com/read/755750/pengacara-oc-kaligis-ajukan-pk-untuk-dokter-ayu

Aparat Sebaiknya Gunakan Hukum Kesehatan untuk Kasus Dr. Ayu

Aparat Sebaiknya Gunakan Hukum Kesehatan untuk Kasus Dr. Ayu

Liputan6.com, Pakar hukum rumah sakit dari Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Eko Pujiyono SH MH mengimbau aparat penegak hukum untuk menggunakan Hukum Kesehatan atau Hukum Kedokteran untuk Sengketa Medis oleh dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani.

"Harus dipahami bahwa ilmu kedokteran itu ada ketidakpastian. Sedangkan ahli hukum selalu menginginkan kepastian. Karena itu konstruksi norma yang dilakukan untuk menjerat ketiga dokter di Manado itu sebaiknya berlandaskan konsep hukum kesehatan dan hukum kedokteran," katanya di Surabaya, seperti dikutip dari antara Selasa (10/12/2013).

Di sela-sela Dialog Publik "Paradigma Penyelesaian Sengketa Medis (Studi Kasus dr Dewa Ayu Sasiary Prawani Sp.OG)" di Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, ia menjelaskan pembuktian malapraktik yang dilakukan dokter bukanlah hal yang mudah, karena itu perlu sidang tim etik.

"Jadi, penghukuman atas dasar pasal-pasal pidana (KUHP) membuktikan bahwa aparat penegak hukum sesungguhnya tidak memahami filosofi dasar dari hubungan antara penyedia jasa medis dengan pengguna jasa medis maupun hubungan antara dokter dan pasien," katanya.

Eko yang juga sedang menempuh pendidikan Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dengan bidang kajian Hukum Rumah Sakit itu mengatakan hukum kesehatan mengatur penentuan nilai moral perihal baik-buruk atau benar-salah harus bertolak pada etika kesehatan, yakni "biomedical ethics".

Hal itu dibenarkan oleh dr Nurtjahyo SpF SH yang mewakili Ikatan Dokter Indonesia Cabang Jatim dalam dialog publik yang dibuka Rektor UHT Surabaya Laksda TNI (Pur) H. Mohamad Jurianto SE itu.

"Dokter dalam melakukan tugasnya mempunyai aturan yang harus ditaati dan apabila melakukan kesalahan ada kode etik yang menangani. Jadi, jangan langsung dijerat pidana, tapi perlu pertimbangan tim etik," katanya.

Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Hukum UHT Dr Chomariyah SH MH mengatakan munculnya kasus dokter Ayu itu memicu perlunya dokter-dokter untuk belajar hukum, termasuk hukum kesehatan atau hukum kedokteran itu sendiri.

"Belajar hukum ini untuk melindungi diri mereka dari kesalahan dan bisa bertindak sesuai aturan yang ada. Yang jelas, setiap keilmuan maupun profesi harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan proporsional. Bila sudah dijalankan dengan benar, maka pemidanaan bisa diminimalkan," katanya.

Lain halnya dengan drg Betty Puspitawati MARS dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). "Sengketa antara dokter dan pasien biasanya disebabkan kurangnya komunikasi dokter dengan pasien, komunikasi yang lemah akan membuat pasien membuat interpretasi dan persepsi yang berlainan dan berbeda, bahkan memojokkan dokter," katanya.

sumber : http://health.liputan6.com/read/770562/aparat-sebaiknya-gunakan-hukum-kesehatan-untuk-kasus-dr-ayu

Dokter Bisa Disebut Lalai Bila Lakukan 4 Elemen Ini

Dokter Bisa Disebut Lalai Bila Lakukan 4 Elemen Ini

Liputan6.com, Jakarta : Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mencatat bahwa hingga kini belum adanya pemahaman tentang profesi dokter dan malapraktik medik. Menurut Ketua KKI, Prof. Menaldi Rasmin dr Sp.P(K) malapraktik merupakan kelalaian profesional.

Dikatakan Menaldi, seorang dokter baru dapat dikatakan melakukan kelalaian bila ia sudah memenuhi empat elemen yang ada. Apa sajakah empat elemen tersebut?

Berikut empat elemen yang dijelaskan oleh Menaldi Rasmin, di Ruang Rapat Komisi IX DPR Republik Indonesia, Rabu (4/12/2013) :

Harus dibuktikan bahwa dokter tersebut tidak mengerjakan apa yang seharusnya dia kerjakan.
Harus terbukti bahwa dokter tersebut mengerjakan hal yang tidak boleh dia lakukan, karena akan merugikan pasien.
Harus terbukti melakukan kerusakan, kecacatan, dan bahkan kematian.
Kerusakan, kecacatan, dan kematian itu pun harus terbukti karena terjadinya sebab akibat.

Untuk butir pertama dan kedua, tambah Menaldi, dapat dilihat dan dinilai pada standar profesi yang menentukan apa yang saja yang boleh dilakukan oleh seorang profesional tersebut.
"Sedangkan untuk butir ketiga dan keempat, harus dibuktikan oleh penuntut. Untuk membuktikan adanya kecacatan, kerusakan, kematian, memang terjadi karena sebab dan akibat," kata Menaldi menjelaskan.

"Untuk bukti yang keempat, harus diperjelas dengan bukti forensik," kata Menaldi menambahkan.

(Adt/Mel)

sumber : http://health.liputan6.com/read/764807/dokter-bisa-disebut-lalai-bila-lakukan-4-elemen-ini

Omni under fire again as a plaintiff reports negligence

Omni under fire again as a plaintiff reports negligence

Prodita Sabarini and Andra Wisnu, The Jakarta Post, Jakarta | Headlines | Thu, June 11 2009, 1:13 PM

Omni International Hospital is once again under fire, with a mother claiming her son was blinded after receiving treatment in the hospital's incubator.

Juliana Dharmadi, a mother of twins, has reported doctors at the hospital to the Jakarta Police for alleged negligence over the incident.

Prominent lawyer O.C. Kaligis, who is representing libel defendant Prita Mulyasari with defamation charges involving the Tangerang hospital, will also represent Juliana in this case.

Kaligis said he chose to represent Prita and Juliana because medical malpractice cases in Indonesia have been difficult to tackle.

Minggu, 15 Desember 2013

The future of Indonesia’s legal profession: A lawyer’s perspective

The future of Indonesia’s legal profession: A lawyer’s perspective
Tony Budidjaja, Jakarta | Opinion | Thu, April 11 2013, 10:10 AM

Being one of the largest emerging and developing markets in Asia, Indonesia is indeed a key influence in the Asian economy.

As an Indonesian lawyer, I feel proud but at the same time worried about how Indonesia will evolve.

Indonesia’s legal system and infrastructure are outdated and may be ill-suited to keep up with the growth of its economy. While it is believed that Indonesia is becoming one of Asia’s most powerful economies, the country’s legal industry however, is not as powerful as some people may think. At the present moment Indonesia has many challenges to overcome to become an Asian legal superpower.

Jumat, 13 Desember 2013

Mahfud MD: Menerobos Kebuntuan Hukum

Mahfud MD: Menerobos Kebuntuan Hukum

Intisari-Online.com - Bagi seorang Mahfud MD, undang-undang itu sekadar alat. Yang paling penting adalah keadilan. Maka, dengan memegang teguh prinsip hukum progresif, Mahfud membuat berbagai terobosan di bidang hukum, terutama saat menjabat Ketua MK. Seperti apa kisah-kisahnya? Mari kita ikuti lewat penuturannya sebagai berikut.

Awalnya saya kecewa terhadap hukum. Ketika baru lulus dari Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), pada 1983, saya hafal hampir semua undang-undang di bidang ketatanegaraan dan UUD 1945. Tapi, saya kecewa karena apa yang saya pelajari di bangku kuliah ternyata tidak sama dengan fakta di lapangan. Hukum ini bohong, begitu pikir saya kala itu.

Pertahankan Akreditasi A, FH UPH Lakukan Transformasi Metode Pendidikan Hukum

Pertahankan Akreditasi A, FH UPH Lakukan Transformasi Metode Pendidikan Hukum

Ilmu hukum bukan sebagai hafalan, tetapi mendidik mahasiswa berpikir tajam.

Jakarta - Program sarjana Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) kembali mendapatkan akreditasi A dalam penilaian yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). Prestasi tersebut tak lepas dari filosofi pembelajaran di FH UPH, yakni bukan menjadikan ilmu hukum sebagai hafalan, melainkan mendidik mahasiswa agar mampu berpikir tajam.

Dekan Fakultas Hukum UPH Prof Dr Bintan Saragih mengatakan, fakultas yang dipimpinnya diakreditasi dengan peringkat A mulai 2002-2007, kemudian reakreditasi A pada 2007-2012, dan saat ini kembali meraih peringkat A untuk masa 2012-2017. Penilaian akreditasi oleh BAN PT dilakukan setiap lima tahun sekali.

Fani: Belajar Mencintai

Fani: Belajar Mencintai
Penulis : M Suprihadi Rabu, 22 Februari 2012 | 09:15 WIB

KOMPAS.com- Seperti diberitakan kemarin, tiga mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada diwisuda dengan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK) 4,00 atau sempurna. Mereka adalah Donna Adelia (angkatan 2008), Laras Susanti (2007), dan Fani Phisca P (2008).
Berikut ini adalah kisah di balik sukses Fani seperti disampaikan Kepala Humas FH UGM, Satria AN kepada Kompas, Selasa (21/2/2012).
Berbeda dengan Donna dan Laras, Fani pada awalnya tidak berminat masuk ke Fakultas Hukum UGM. Namun, ayahnya saat itu menyarankan untuk kuliah di Fakultas Hukum agar menjadi aparat penegak hukum. Atas saran ayahnya itulah akhirnya ia memasukan Fakultas Hukum sebagai salah satu pilihan.
“Ya, akhirnya berjodoh, karena diterima di Fakultas Hukum UGM,” kata Fani mengawali perbincangan.
Setelah diterima di Fakultas Hukum UGM itulah perlahan Fani mulai belajar mencintai ilmu hukum. Sebab baginya, kalau sudah terjun dan menekuni sesuatu, maka ia harus fokus dan mencintainya. Inilah yang dia terapkan selama studi, yaitu fokus pada tujuan utama kuliah dan meraih prestasi semaksimal mungkin serta menikmati proses belajar sebaik-baiknya.

Kamis, 12 Desember 2013

100 Tahun Yap Thiam Hien (1913-2013)

100 Tahun Yap Thiam Hien (1913-2013)
Lestantya R Baskoro  ;   Wartawan TEMPO
KORAN TEMPO, 03 Juni 2013

Kita merindu pada sebuah keteguhan hati: Yap Thiam Hien.
Saya bayangkan sosoknya di suatu hari pada tahun 1966. Ia berada di ruang sidang Mahkamah Militer Luar biasa. Ia tampil membela Soebandrio, bekas wakil perdana menteri yang didakwa berperan dalam peristiwa kudeta berdarah G30S yang gagal itu. Semua orang menyumpahi Soebandrio, dan Yap mengambil risikonya, menjadi pembela "musuh negara dan bangsa" tersebut.
Dengan suaranya yang keras-suara yang disalurkan lewat speaker ke luar ruang sidang agar ratusan pengunjung lainnya di luar gedung bisa mendengar-Yap mencecar Soebandri. "Apakah pada waktu Saudara menjabat Perdana Menteri ada anggota parlemen yang tidak setuju dengan pendapat Saudara? Apakah ada partai-partai politik yang tidak setuju dengan Saudara? Ketika Soebandrio menjawab, "Tidak ada," Yap kembali mengejar, "Barangkali dari pihak tentara ada yang tidak setuju?" Kembali Soebandrio menjawab, "Tidak ada!"

Ulang Tahun, Todung Mulya Masih Berasa 46 Tahun

Ulang Tahun, Todung Mulya Masih Berasa 46 Tahun

TEMPO.CO , Jakarta:Pengacara senior dari firma hukum Lubis Santosa & Maramis, Todung Mulya Lubis Senin 8 Juli 2013 merayakan ulang tahunnya yang ke-64. Acara perayaan ulang tahun yang digelar di kantor firma hukumnya di Equity Tower, SCBD Jakarta ini dihadiri oleh rekan dan para sahabat Todung. Dalam acara itu terlihat Utusan Khusus Presiden untuk Bidang Penanggulangan Kemiskinan, HS Dillon, Mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, dan Wartawan Senior Tempo Fikri Jufri.

Dalam sambutannya, Todung menyatakan meski ia kini telah berusia 64 tahun namun dia masih merasa muda. "Saya masih merasa 46 tahun," ujarnya berseloroh. Pria kelahiran 4 Juli 1949 ini mengungkapkan rasa syukur karena masih diberi kesehatan untuk menjalankan aktivitasnya sebagai pengacara. "Saya belum merasa lelah untuk membela kebenaran," ujarnya. "Sebagai pengacara, saya merasa punya kewajiban untuk terus membela kemanusiaan. Kemanusiaan inilah yang sudah hilang sekarang di dunia hukum."

Sementara itu sejumlah rekan Todung mengungkapkan dia sebagai sosok yang gigih memperjuangkan idealismenya. "Saya kenal dia sejak zaman masih jadi aktivis saat mahasiswa, dan sampai sekarang dia konsisten membela Hak Asasi Manusia," kata Salim Hutajulu, rekan Todung semasa kuliah di Universitas Indonesia.

Salim mengungkapkan, sewaktu peristiwa Malari pada 1974 Todung beruntung karena tidak ikut ditahan. "Kalau saya beda nasib, dulu saya ditahan sampai dua tahun," ujarnya. Semasa mahasiswa, pria kelahiran Tapanuli Selatan ini memang dikenal sebagai aktivis. Todung adalah salah satu penentang ide pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.

Di mata HS Dillon, Todung Mulya Lubis adalah sosok yang tahu bagaimana mensyukuri hidup. Dia, ujarnya, seorang pekerja keras namun tidak pernah lupa untuk meluangkan waktu bersama rekan-rekannya. Senada dengan Salim, Dillon juga menilai Todung sebagai pengacara yang tidak luntur idealismenya oleh uang.

Saat ini Todung mengaku sudah mulai mengurangi aktivitasnya sebagai pengacara. "Law firm ini sudah bisa berjalan tanpa saya urusi terus," ujarnya. Kini Todung lebih aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang merupakan almamaternya. Pengacara lulusan Barkeley dan Harvard Amerika Serikat ini juga mengaku masih aktif di sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat Imparsial, Yap Thiam Hien, dan Indonesian Legal Roundtable. "Sekarang saya lebih senang melakukan riset dan penelitian tentang hukum," katanya.

Todung berencana kembali ke Universitas Harvard dalam waktu dekat. Di sana, katanya, dia akan melakukan penelitian tentang korupsi politik. "Saya melihat korupsi politik ini sumber dari korupsi lainnya," ujarnya. Hasil penelitian ini rencananya akan dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah atau makalah. "Mudah-mudahan bisa jadi sumbangsih untuk kajian antikorupsi di Indonesia."

sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/07/09/063494614/Ulang-Tahun-Todung-Mulya-Masih-Berasa-46-Tahun

Najmu Laila: Mengejar Phd di Usia 24 Tahun

Najmu Laila: Mengejar Phd di Usia 24 Tahun
Pernah gagal, tetapi selalu percaya tidak ada sesuatu yang terjadi sia-sia

Nama Najmu Laila di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) sudah tak asing lagi. Perempuan yang masuk FHUI pada 2008 dan lulus 3,5 tahun kemudian ini telah mencatat berbagai prestasi. Di antaranya Mahasiswa Berprestasi Utama FHUI pada 2011, dan juara ketiga pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tingkat Universitas Indonesia pada tahun yang sama.
Tak hanya itu, Najmu yang lulus dengan predikat cumlaude kini sedang mengejar gelar master dan doktoral sekaligus di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat. Hebatnya, semua prestasi itu, termasuk dua gelar pendidikan prestisius yang tengah dikejar, dilakukan oleh Najmu di saat usianya ‘baru’ menginjak 24 tahun.
Najmu memperoleh beasiswa Arryman Fellowship, sebuah penyedia beasiswa dengan tujuan utama menciptakan ilmuwan Indonesia yang berkelas dunia terutama di bidang ilmu sosial, hukum, bisnis, jurnalistik dan komunikasi.
Meski memiliki prestasi gemilang, tak lantas membuat perempuan yang setelah lulus bergabung dengan kantor hukum Lubis, Santosa & Maramis itu tinggi hati. Ia menganggap ukuran sebuah prestasi itu sangat relatif dan setiap orang memiliki pandangan sendiri tentang apa itu prestasi.
“Bagi saya prestasi tidak harus selalu diasosiasikan dengan berapa perlombaan atau penghargaan yang kita menangkan, berapa konferensi internasional yang kita ikuti, atau berapa jumlah penghasilan yang kita dapatkan,” jelas Najmu kepada hukumonline.
Najmu bercerita, perjalanan yang dia lalui untuk mencapai kondisi seperti sekarang tidaklah mudah. Dia mengaku pernah menemui sejumlah kendala seperti gagal ujian masuk perguruan tinggi negeri atau ditolak berulang kali oleh penyelenggara beasiswa pendidikan.
“Saya sering mengalami kegagalan, saya pernah tidak lulus SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2007, sering kalah, sering ditolak pemberi beasiswa, sering tidak puas dengan hasil saya dapatkan. Tapi saya selalu percaya tidak ada sesuatu yang terjadi sia-sia,” ujarnya.
Menurutnya, peran orang tua dan keluarga sangat besar dalam pencapaiannya hingga saat ini. Salah satu peran itu adalah Najmu diberi kebebasan untuk memilih jurusan hukum. Padahal, sejarah keluarganya tak ada yang memiliki latar belakang hukum.
“Saya lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Sepanjang yang saya tahu kebanyakan keluarga saya berprofesi sebagai guru. Dukungan dan doa dari keluarga membuat saya kuat dan mampu untuk melewati berbagai rintangan dalam hidup, sesulit apapun itu,” tutur Najmu
Namun segala kegagalan tidak menyurutkan niat Najmu untuk mengukir prestasi. Najmu percaya apa yang dilakukannya sekarang akan menentukan masa depannya nanti. Oleh karena itu, Najmu selalu memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang ia lakukan.
Aktif di Kampus
Semasa kuliah Najmu, tak hanya aktif di bidang akademik dan lomba ilmiah, ia juga aktif di organisasi kemahasiswaan dan pengabdian masyarakat. Tercatat di tahun pertamanya sebagai mahasiswa, Najmu menjadi anggota independan Badan Perwakilan Mahasiswa FHUI, dan pernah menjadi Staf Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM UI 2010. Ia juga pernah menjadi paralegal Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat pada tahun 2010.
Menurut Najmu, mahasiswa hukum ideal itu bukan hanya bagus di bidang akademik, tetapi juga aktif di kegiatan sosial. “Mahasiswa hukum harus cerdas, kritis, dan berwawasan luas. Jangan hanya belajar hukum dan belajar di kelas,” tuturnya.
Ketika mendekati akhir perkulihan, Najmu mengaku pernah merasa takut dan galau dengan masa depan yang akan ditempuhnya. “Di masa-masa akhir perkuliahan saya menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan bertanya apa sebetulnya yang saya inginkan dalam hidup,” sebutnya.
Ia sempat mendapatkan tawaran menjadi dosen. “Dosen adalah profesi yang selalu jadi passion saya. Tetapi setelah saya pertimbangkan, rasanya belum saatnya berkarier di kampus. Saya masih harus banyak belajar dan menimba pengalaman di luar kampus,” tambahnya.
Urung menjadi dosen, Najmu lalu memilih jalur karier di Lubis, Santosa & Maramis (LSM). Di LSM, Najmu mendapat kesempatan emas berguru dengan salah satu partner LSM, Todung Mulya Lubis. Ia bekerja sebagai asisten Todung Mulya Lubis untuk kasus-kasus pro bono. “Dengan beliau (Todung), saya belajar mengenai banyak hal, tidak hanya terkait hukum praktis, tetapi juga mengenai integritas dan konsistensi,” jelasnya.
Najmu berpendapat integritas dan konsistensi merupakan hal yang sangat diperlukan ketika akan menjalankan karier di bidang hukum, terlebih bagi seorang pengacara. Pasalnya, ia melihat saat ini banyak pengacara yang lebih termotivasi oleh materi ketimbang moralitas dan keadilan.
“Tidak heran banyak pengacara yang justru terlibat dalam mafia peradilan dan merusak sistem hukum di Indonesia. Tapi saya percaya masih ada, walaupun tidak banyak, pengacara-pengacara yang tulus seperti Pak Yap Thiam Hien,” ujarnya,” tambah Najmu.
Langkah ke Depan
Ke depan, selepas menyelesaikan studi doktoralnya, Najmu berharap dapat menjadi ilmuwan hukum yang dapat berkontribusi dalam perbaikan hukum di Indonesia melalui jalur pendidikan dan penelitian.
“Cita-cita saya sederhana, saya ingin berbagi pengetahuan dan perspektif dengan banyak orang,” ujarnya. Hal inilah kemudian yang memotivasi Najmu mengambil jurusan politik untuk program doktoralnya.
Najmu percaya bahwa hukum memiliki keterkaitan yang kuat dengan politik. “Dalam pandangan critical legal studies hukum adalah hasil konfigurasi politik dalam suatu negara. Saya ingin memahami hukum dalam konteks yang lebih luas,” katanya.
Tak lupa, Najmu berpesan agar para junior-juniornya mendorong kemampuannya hingga di atas batas kemampuannya, tak pernah menyerah tanpa perjuangan, dan tak takut pada kegagalan dan mengambil resiko. “Keep pushing yourself beyond your limits. Intinya, never going down without a fight,” pungkasnya.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5240560c940ec/najmu-laila--mengejar-phd-di-usia-24-tahun

Rabu, 11 Desember 2013

Cara Belajar Yang Baik Bagi Mahasiswa Hukum

Cara Belajar Yang Baik Bagi Mahasiswa Hukum
Berikut ini adalah cara sederhana bagaimana cara belajar yang baik bagi mahasiswa hukum:

1.  Rajin Mencatat Perkataan Dosen dan Menambah Intisari Pelajaran.
Pertama sekali tentu pelajaran yang harus dipahami secara mendalam adalah ilmu negara, pengantar ilmu hukum, dan pengantar hukum indonesia. Sebaiknya dibuat buku khusus yaitu satu buku untuk satu mata kuliah sehingga memudahkan kita untuk belajar pada saat mau UTS maupun UAS yang dipergunakan untuk mencatat perkuliahan dengan baik catat perkataan dosen dengan sistematis dan singkat, jika kesulitan mengejar perkataan dosen rekam perkuliahan dan tulis ulang. Tambahkan ringkasan ringkasan dari buku literatur hukum yang kita baca sebanyak mungkin sehingga mempermudah pemahaman kita tentang mata kuliah yang kita ambil tersebut. Bacalah juga Putusan Pengadilan,Undang Undang, berita hukum, dan seminar hukum. Baca juga buku pengantar logika penulis Prof.B. Arief Sidharta,SH atau buku pengantar logika lainnya agar pola berpikir saudara mencari teratur dan terarah dalam menggunakan logika hukum yang benar. Jadi Logika Hukum juga harus didukung dengan pengetahuan hukum yang luas yang di dapat dari membaca buku buku hukum. Lebih bagus lagi ditambah dengan membaca buku pengantar Filsafat ilmu atau filsafat umum dilanjutkan buku Filsafat Hukum.

Hindari Penjara Dengan Sadar Dan Taat Pada Aturan Hukum

Menghindari Penjara dengan sadar dan taat pada aturan hukum yang berlaku, sekilas tampak sederhana, namun sebenarnya tidak sederhana. Karena Taat pada aturan hukum harus banyak membaca aturan aturan hukum yang berlaku khususnya Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang di luar KUHP seperti UU Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang selama ini kedua istilah tersebut sering diplesetkan oleh masyarakat. Masyarakat menjelek jelekan hukum di Indonesia tapi pada akhirnya ketika berhadapan dengan masalah hukum ujung ujungnya mencari Advokat untuk mencari bantuan hukum dalam menghadapi kasus hukum yang sedang mereka hadapi.

Senin, 09 Desember 2013

Imlek dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum

Imlek dan Kiprah Tionghoa di Bidang Hukum
Tom Saptaatmaja, ALUMNUS SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
DAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT WIDYA SASANA MALANG
Sumber : KORAN TEMPO, 21 Januari 2012

Tahun baru Imlek 2563 jatuh pada Senin, 23 Januari 2012, kalender Masehi. Imlek kali ini memasuki Tahun Naga Air. Karakter naga air menjernihkan dan mendinginkan, sehingga yang bergejolak panas pada tahun lalu akan menjadi tenang di tahun ini. Imlek semula dirayakan oleh suku bangsa yang berlatar belakang budaya Cina, lalu menyebar ke negara-negara tetangga Cina, seperti orang Mongol, Korea, Jepang, Vietnam, Laos, dan Kamboja.

Harjo Winoto: Maverick keen on studying the law

Harjo Winoto: Maverick keen on studying the law
The Jakarta Post, Jakarta | Life | Wed, September 27 2006, 8:00 AM

Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta
His decision in 2004 to study at law school meant he was seen as a maverick within his family.
While his parents wanted him to become either an accountant or a doctor, Harjo Winoto persisted with his choice.
Two years later, however, Harjo can now show his parents that his choice was the correct one, after all.
Harjo is one of four students from the University of Indonesia (UI) who won this year's Asia Cup International Mooting (debating) Competition in Japan.
Together with Melissa Butar Butar, Novriady Erman and Fitriani Chairani, Harjo defeated teams in August from prestigious universities in other Asian countries.

Senin, 25 November 2013

Menulis adalah “Red Carpet” Kesuksesan

Menulis adalah “Red Carpet” Kesuksesan
Billy Boen  ;  CEO PT YOT Nusantara; Director PT Jakarta International Management (JIM); Shareholder, Rolling Stone Café
KORAN SINDO, 25 Oktober 2013



Beberapa jam sebelum saya mulai menulis artikel ini, saya berkesempatan untuk kembali bertemu, ngobrol, sambil ngopi-ngopi dengan seorang teman yang inspiratif. Ahmad Fuadi, penulis buku best seller Negeri 5 Menara.

Ini bukan kali pertama saya bertemu orang yang inspiratif ini. Saya ingat betul ketika kami bertemu untuk sekadar makan siang, berbagi dengan YOTers di Learning Lounge Plaza Semanggi, juga ketika beberapa kali saya mengundang Mas Fuadi untuk berbagi di program radio dan TV Young On Top. Setiap kali bertemu Mas Fuadi, saya selalu senang. Rasanya selalu ada yang saya dapatkan. 

Jadi, ketika minggu lalu Mas Fuadi mengajak bertemu pun, tidak pikir panjang, saya iyakan. Dan betul.. saya happy bisa ngobrol sama dia selama kurang lebih 2 jam! Apa yang diobrolin? Kebetulan tadi saya banyak share tentang bagaimana Young On Top bisa seperti sekarang ini. Tapi itu bukan yang ingin saya bahas di tulisan ini. Inti dari pertemuan tadi, Mas Fuadi ingin membalas budi seseorang yang telah mengajarkan dia untuk menulis. 

Budaya Baca vs Budaya Nonton

Budaya Baca vs Budaya Nonton
Tirta Rismahadi Wijaya; Direktur Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC) Ciputat
SUMBER : SUARA KARYA, 04 Mei 2012


Sekedar refleksi, pendidikan nasional membukukan banyak catatan keberhasilan. Di antaranya yang cukup spektakuler dan membanggakan adalah mobil Esemka karya siswa SMK di Solo, Jawa Tengah. Namun, di balik itu terselip catatan tidak menggembirakan, budaya literal sudah tercerabut dari nafas pendidikan kita karena tidak mendapat tempat lagi di benak para siswa. Ini menjadi catatan penting dan mendasar yang luput dari perhatian.

Dewasa ini, hampir 90 persen penduduk Indonesia menjadikan televisi (media visual) sebagai konsumsi baku untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Hampir di setiap sudut ruangan rumah penduduk terdapat televisi. Selain praktis, aksesnya yang cepat membuat media ini semakin diminati warga.

Tayangan-tayangan di televisi memang sangat menarik, sehingga membuat pemirsa terlena oleh keadaan. Tayangan hiburan lebih banyak digemari, baik di kalangan orangtua, dewasa, bahkan remaja (mahasiswa). Acara sinetron yang tayang setiap hari dengan cerita yang tidak masuk akal adalah menu yang selalu dinanti-nanti.

Mudahnya akses televisi (TV) serta luasnya jangkauan, memudahkan masyarakat untuk menikmatinya. Di satu sisi, kehadiran TV yang menyajikan hiburan dianggap solusi pelepas lelah dari mumetnya pikiran di tengah persoalan kehidupan yang semakin sulit. Di sisi lain, hampir 70 persen lebih tayangan televisi sangat tidak mendidik dan banyak diisi tayangan drama dengan pesan berbau kekerasan, egoisme, mistik, hedonisme, dan pergaulan bebas. Selain itu, hampir setiap stasiun TV didominasi oleh infotainment.

Padahal, semakin sering anak-anak menonton TV berdampak pada perkembangan mental mereka hingga menjadi lemah dan tidak terdidik secara baik. Di lain pihak, kebanyakan menonton TV dapat menyebabkan kemalasan di kalangan pelajar.

Porsi untuk belajar sangat kecil ketimbang menonton televisi. Kebanyakan waktu mereka tersita hanya karena tontonan yang tidak mendidik dan tidak bermoral. Remaja Indonesia pun sekarang lebih pas dibilang generasi visual. Padahal generasi visual adalah musuh utama budaya literal.

Inilah sebenarnya tantangan besar pendidikan di Indonesia, kini. Budaya membaca dan menulis semakin tidak populer di kalangan pelajar dan mahasiswa. Membaca dan menulis dianggap sebagai hal yang kurang menarik dan sangat membosankan. Bahkan, banyak di antara mereka menganggap kegiatan membaca dan menulis adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Maka, tidak heran apabila siswa enggan melakukan kegiatan yang berbau literal. Lebih tragis lagi, mahasiswa yang diharapkan mampu membuat sebuah laporan ilmiah, ternyata skripsinya saja membeli dari orang lain.

Budaya membaca tampaknya memang belum terbangun dengan baik di Indonesia. Para siswa masih menganggap kegiatan membaca dan menulis sebagai hal yang menguras otak dan membuat pusing. Di samping itu, kesadaran membaca dan menulis belum dijadikan kebutuhan pokok seperti halnya makan dan minum sehingga hal tersebut sangat sulit untuk dibiasakan.

Sampai saat ini, pendidikan nasional belum mampu menyiapkan SDM yang mampu menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Perlu orientasi pendidikan nasional untuk meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Terdistorsinya pendidikan di Indonesia mulai dari mutu dan relevansi serta pendekatan pendidikan terlihat ketika lulusan-lulusan lembaga pendidikan belum bisa memenuhi kebutuhan bangsa.

Lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara maupun swasta sebaiknya memperhatikan sistem dan metode pembelajaran yang proaktif melibatkan anak didik, serta membiasakan budaya literal. Tanggung jawab ini tidak hanya bagi para pendidik, melainkan tanggung jawab seluruh individu untuk membimbing dan mengarahkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, terutama orangtua siswa.

Ini juga merupakan tugas besar seluruh komponen bangsa, agar kita tidak kembali menjadi budak dari pengetahuan itu sendiri. Bukankah dengan belajar, membaca dan menulis, kita akan melihat seluruh isi dunia?

Negara yang sedang berkembang dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah seperti Indonesia, sangat memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cukup. Eksplorasi di berbagai bidang memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni. SDM yang cukup dan memadai, akan tumbuh dari mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari belajar, membaca dan menulis.

Terkikisnya budaya baca di kalangan pelajar dan mahasiswa akan memperburuk citra pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan yang kita anggap sebagai tolak ukur kemajuan bangsa ternyata sangat memprihatinkan.

Pelajar sebagai aktor dunia pendidikan masih enggan membaca dan menulis. Bisa dibanyangkan, bagaimana kualitas peserta didik negeri ini di masa mendatang. Padahal, dengan membaca paling tidak akan membuka wawasan dan pengetahuan minimal untuk pribadinya.

Jika diingat kebangkitan nasional seabad lalu, akar gerakan itu bermula dari budaya literal, yaitu belajar, membaca, menulis dan berpikir sehingga tercipta pola pikir kebangsaan. Lihat saja, hampir semua tokoh bangsa yang mempelopori kebangkitan dan kemerdekaan adalah orang-orang yang selalu bergelut dengan budaya literal.

Rupanya, budaya membaca yang dulu menjadi ciri khas peradaban bangsa begitu jauh tersisihkan. Kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi bukan berarti selalu membawa efek negatif. Tetapi, hal tersebut harus disikapi dengan arif diikuti keseimbangan berpikir. Budaya nonton yang kian menjalar bukan sebagai sebab dari makin malasnya generasi bangsa tetapi bagaimana kesadaran akan pentingnya pendidikan kembali ditanamkan. 


Minat Baca

Minat Baca
Muhidin M Dahlan  ;   Kerani di Warungarsip
TEMPO.CO,  12 November 2013
   
Masyarakat seperti dikutuk untuk selalu menjadi dasar bagi lahirnya sebuah proyek dari pemerintah. Tak sudah-sudah. Di semua bidang kehidupan. Dari soal kebodohan, kekumuhan, hingga minat baca yang payah.

Saya ingin mengutipkan kegeraman seorang pemikir perpustakaan kelahiran Jakarta tahun 1959 bernama Putu Laxman Pendit. "Pemerintah Indonesia bersama beberapa elite Kepustakawanan Indonesia melakukan propaganda lewat media massa untuk menyatakan bahwa masyarakatlah yang rendah, atau kurang, atau tidak, memiliki minat baca. Lalu, setelah menyalahkan masyarakat, mereka akan meminta dana (kepada rakyat tentu saja) untuk menyelenggarakan sebuah kampanye dalam bentuk upacara-upacara, festival, lomba, atau membayar tokoh-tokoh masyarakat sebagai duta baca." 

Minat baca-bukan budaya baca-adalah frase yang sangat abstrak untuk menunjukkan bodohnya orang Indonesia berhadapan dengan bacaan. Dan secara politik, minat baca adalah kutukan yang telak hanya kepada rakyat jelata. Hanya rakyat jelata yang disisir dengan tajam angka minat baca dan, karena itu, mereka harus di(h)ajar.

Selasa, 19 November 2013

20 Website untuk mencari Berita atau Artikel tentang Kesehatan tubuh

Menjaga Kesehatan tubuh dengan mencari Berita tentang Kesehatan, sepertinya hal sederhana untuk dilakukan, tapi jika tidak dilakukan secara rutin dan dipraktekkan maka tentu kesehatan tubuh akan berkurang, banyak anggapan menjaga kesehatan merupakan investasi yang paling penting, kesehatan merupakan harta utama sebab jika tidak sehat pasti tidak dapat menjaga keluarga dan teman teman saudara, tidak dapat beribadah dan sebagainya. Nah berikut ini beberapa website kesehatan yang dapat dijadikan rujukan tentang informasi dan berita tentang kesehatan, semoga bermanfaat bagi saudara/saudari sekalian :
  1. http://forum.detik.com/top-20-website-info-kesehatan-dan-konsultasi-dokter-online-t41469.html
  2. http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2013/08/13/sosialisasi-kesehatan-dari-mahasiswa-oleh-mahasiswa-untuk-mahasiswa--583941.html
  3. http://health.kompas.com
  4. http://www.tribunnews.com/kesehatan/
  5. http://www.thejakartapost.com/channel/body%20and%20soul
  6. http://health.detik.com/?ctl
  7. http://www.jpnn.com/index.php?mib=subrubriklist&sub=149
  8. http://health.okezone.com
  9. http://www.metrotvnews.com/lifestyle/health
  10. http://majalahkesehatan.com
  11. http://www.nbcnews.com/health/
  12. http://www.theaustralian.com.au/news/health-science
  13. http://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/
  14. http://www.japantoday.com/category/health
  15. http://edition.cnn.com/HEALTH/
  16. http://www.globalpost.com/news/health
  17. http://www.xinhuanet.com/english/health/index.htm
  18. http://www.voaindonesia.com/archive/health/latest/299/303.html
  19. http://www.washingtonpost.com/lifestyle/wellness
  20. http://www.voanews.com/section/health/2215.html
Semoga website website tersebut bermanfaat, terima kasih dan sebarkan postingan blog ini agar bermanfaat bagi lebih banyak orang lagi, terima kasih, dan jangan lupa klik g+1-nya :) :)


Senin, 18 November 2013

Rahasia Awet Muda dan Umur Panjang Orang China Kuno

Rahasia Awet Muda dan Umur Panjang Orang China Kuno

Liputan6.com, “Belajarlah sampai ke negeri China” idiom ini sangat popular. Bahkan Nabi Muhammad pun pernah mengatakan demikian. Apa pasalnya? Di negeri China banyak ilmu yang bisa digali, mulai dari teknik membuat mercon, kertas hingga ilmu-ilmu pengobatan yang tiada duanya.

Bahkan sampai-sampai teknik agar awet muda dan panjang umur pun mesti meniru gaya dan pola hidup orang-orang China. Lalu, apa saja resepnya.

Sederhana,” Hiduplah sesuai dengan siklus alam,” kata Dr.Rahmat, TCM, ahli pengobatan tradisional China seperti ditulis Rabu (9/10/2013). Dalam keadaan dingin atau panas, tubuh kita harus menyesuaikan dan menyeimbangkan diri. Jangan justru melawannya.

Gaya hidup sesuai siklus alam ini bila diuraikan lebih lanjut kurang lebih seperti ini, setiap orang harus memperhatikan cara makan, tidur, aktivitas dan kerja serta pembuangan.

Kamis, 07 November 2013

Mahasiswa Harus Diajari Filsafat Hukum Sejak Dini



Mahasiswa Harus Diajari Filsafat Hukum Sejak Dini
"Bukan sekedar pasal dalam undang-undang, tetapi apa yang ada di balik itu. "

 Cara belajar mengajar di kebanyakan fakultas hukum di Indonesia menuai kritikan. Ada yang menilai cara belajar masih berdimensi satu arah, ada juga yang menilai proses belajar yang terlalu legalistik. Kritikan ini terkuak dalam sebuah konferensi internasional tentang pendidikan hukum Asia Tenggara di Universitas Airlangga, Surabaya, pekan lalu.
Dosen Filsafat Hukum Universitas Binus, Sidarta mengatakan selama ini mahasiswa hukum hanya diajari teks atau isu undang-undang, bukan apa konteks undang-undang itu dibuat dan apa latar belakangnya.
Ia mencontohkan UU Penanaman Modal yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum. Mahasiswa hanya dituntut memahami apa isi dalam UU tersebut. “Mereka tak diajari kenapa undang-undang itu dibuat, cerita apa di balik kelahiran undang-undang tersebut. Itu yang nggak pernah diajar di kelas. Padahal, itu yang harus mereka tahu,” ujarnya.
Sidarta mengatakan proses belajar mengajar yang terlalu ‘legalistik’ yang akhirnya membuat para sarjana hukum hanya memakai “kaca mata kuda” ketika terjun ke masyarakat. Ia mengaku yakin bila pemahaman sejarah undang-undang dan filsafat hukum diajarkan sejak dini, maka wajah penegakan hukum Indonesia akan berbeda seperti sekarang ini.
“Ketika hakim mengadili kasus KDRT atau Narkoba, dia tahu filosofi UU itu. Jadi, tak hanya pakai kacamata kuda. Karena ketika dia kuliah dulu, dosennya menyampaikan dan mengajarkan hal tersebut,” tambahnya.
Karenanya, menurut Sidarta, paradigma para dosen yang hanya mengajarkan pasal-pasal kepada para mahasiswa hukum harus mulai diubah. “Dia harus mengajarkan pesan-pesan yang ada di dalam pasal itu,” tuturnya.
Sidarta mengakui perubahan cara mengajar di fakultas hukum ini bukan hal yang gampang. Pasalnya, dosen yang berminat kepada filsafat hukum semakin hari semakin berkurang. Bahkan, ada anekdot bahwa pengajar filsafat hukum harus dosen yang sepuh. “Di kampus kita biasanya yang mengajar fisafat hukum itu seiring dengan usianya,” seloroh Sidarta.
Bukan Fakultas Legislasi
Dalam makalahnya, Dosen Hukum Indonesia di Universitas Leiden, Adriaan Bedner berpendapat fakultas hukum di Indonesia harus benar-benar kembali menjadi ‘fakultas hukum’, bukan sebagai ‘fakultas legislasi’ yang hanya mempelajari pasal-pasal dalam undang-undang. Menurut dia, dosen hukum berperan besar dalam hal ini.
Adriaan menuturkan bahwa dosen hukum harus menjejali para mahasiswanya dengan bahan-bahan hukum yang kaya dengan “pertimbangan hukum’, daripada menawarkan analisa secara tekstual. Caranya, mahasiswa harus dibiasakan bagaimana menyelesaikan sebuah kasus.
“Mereka harus dibiasakan mendiskusikan kasus-kasus baik yang nyata maupun fiktif dan bagaimana menyelesaikannya secara hukum,” sebutnya.
Adriaan menjelaskan untuk melakukan ini maka dibutuhkan materi-materi hukum yang layak daripada hanya sekadar undang-undang yang sering digunakan. Ini mengharuskan para dosen untuk lebih sering melihat kasus-kasus hukum yang relevan terhadap subjek mata kuliah yang diajarkannya. Tugas terpenting para dosen hukum saat ini adalah mulai menginventarisir putusan-putusan MA yang sudah tersedia di website dan mulai membahas dan mengomentari putusan-putusan tersebut, sebelum akhirnya dibawa ke mahasiswa untuk didiskusikan.
Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Guru Besar HTN Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpesan agar para mahasiswa hukum harus menggali ilmu-ilmu hukum yang bertebaran di internet. Ia berpendapat suatu saat kehadiran dosen bisa tak diperlukan lagi bila mahasiswa sudah bisa memanfaatkan internet secara maksimal.