Senin, 25 November 2013

Menulis adalah “Red Carpet” Kesuksesan

Menulis adalah “Red Carpet” Kesuksesan
Billy Boen  ;  CEO PT YOT Nusantara; Director PT Jakarta International Management (JIM); Shareholder, Rolling Stone Café
KORAN SINDO, 25 Oktober 2013



Beberapa jam sebelum saya mulai menulis artikel ini, saya berkesempatan untuk kembali bertemu, ngobrol, sambil ngopi-ngopi dengan seorang teman yang inspiratif. Ahmad Fuadi, penulis buku best seller Negeri 5 Menara.

Ini bukan kali pertama saya bertemu orang yang inspiratif ini. Saya ingat betul ketika kami bertemu untuk sekadar makan siang, berbagi dengan YOTers di Learning Lounge Plaza Semanggi, juga ketika beberapa kali saya mengundang Mas Fuadi untuk berbagi di program radio dan TV Young On Top. Setiap kali bertemu Mas Fuadi, saya selalu senang. Rasanya selalu ada yang saya dapatkan. 

Jadi, ketika minggu lalu Mas Fuadi mengajak bertemu pun, tidak pikir panjang, saya iyakan. Dan betul.. saya happy bisa ngobrol sama dia selama kurang lebih 2 jam! Apa yang diobrolin? Kebetulan tadi saya banyak share tentang bagaimana Young On Top bisa seperti sekarang ini. Tapi itu bukan yang ingin saya bahas di tulisan ini. Inti dari pertemuan tadi, Mas Fuadi ingin membalas budi seseorang yang telah mengajarkan dia untuk menulis. 

Budaya Baca vs Budaya Nonton

Budaya Baca vs Budaya Nonton
Tirta Rismahadi Wijaya; Direktur Indonesian Studies and Advocation Centre (ISAC) Ciputat
SUMBER : SUARA KARYA, 04 Mei 2012


Sekedar refleksi, pendidikan nasional membukukan banyak catatan keberhasilan. Di antaranya yang cukup spektakuler dan membanggakan adalah mobil Esemka karya siswa SMK di Solo, Jawa Tengah. Namun, di balik itu terselip catatan tidak menggembirakan, budaya literal sudah tercerabut dari nafas pendidikan kita karena tidak mendapat tempat lagi di benak para siswa. Ini menjadi catatan penting dan mendasar yang luput dari perhatian.

Dewasa ini, hampir 90 persen penduduk Indonesia menjadikan televisi (media visual) sebagai konsumsi baku untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Hampir di setiap sudut ruangan rumah penduduk terdapat televisi. Selain praktis, aksesnya yang cepat membuat media ini semakin diminati warga.

Tayangan-tayangan di televisi memang sangat menarik, sehingga membuat pemirsa terlena oleh keadaan. Tayangan hiburan lebih banyak digemari, baik di kalangan orangtua, dewasa, bahkan remaja (mahasiswa). Acara sinetron yang tayang setiap hari dengan cerita yang tidak masuk akal adalah menu yang selalu dinanti-nanti.

Mudahnya akses televisi (TV) serta luasnya jangkauan, memudahkan masyarakat untuk menikmatinya. Di satu sisi, kehadiran TV yang menyajikan hiburan dianggap solusi pelepas lelah dari mumetnya pikiran di tengah persoalan kehidupan yang semakin sulit. Di sisi lain, hampir 70 persen lebih tayangan televisi sangat tidak mendidik dan banyak diisi tayangan drama dengan pesan berbau kekerasan, egoisme, mistik, hedonisme, dan pergaulan bebas. Selain itu, hampir setiap stasiun TV didominasi oleh infotainment.

Padahal, semakin sering anak-anak menonton TV berdampak pada perkembangan mental mereka hingga menjadi lemah dan tidak terdidik secara baik. Di lain pihak, kebanyakan menonton TV dapat menyebabkan kemalasan di kalangan pelajar.

Porsi untuk belajar sangat kecil ketimbang menonton televisi. Kebanyakan waktu mereka tersita hanya karena tontonan yang tidak mendidik dan tidak bermoral. Remaja Indonesia pun sekarang lebih pas dibilang generasi visual. Padahal generasi visual adalah musuh utama budaya literal.

Inilah sebenarnya tantangan besar pendidikan di Indonesia, kini. Budaya membaca dan menulis semakin tidak populer di kalangan pelajar dan mahasiswa. Membaca dan menulis dianggap sebagai hal yang kurang menarik dan sangat membosankan. Bahkan, banyak di antara mereka menganggap kegiatan membaca dan menulis adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Maka, tidak heran apabila siswa enggan melakukan kegiatan yang berbau literal. Lebih tragis lagi, mahasiswa yang diharapkan mampu membuat sebuah laporan ilmiah, ternyata skripsinya saja membeli dari orang lain.

Budaya membaca tampaknya memang belum terbangun dengan baik di Indonesia. Para siswa masih menganggap kegiatan membaca dan menulis sebagai hal yang menguras otak dan membuat pusing. Di samping itu, kesadaran membaca dan menulis belum dijadikan kebutuhan pokok seperti halnya makan dan minum sehingga hal tersebut sangat sulit untuk dibiasakan.

Sampai saat ini, pendidikan nasional belum mampu menyiapkan SDM yang mampu menguasai ilmu pengetahuan serta memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Perlu orientasi pendidikan nasional untuk meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Terdistorsinya pendidikan di Indonesia mulai dari mutu dan relevansi serta pendekatan pendidikan terlihat ketika lulusan-lulusan lembaga pendidikan belum bisa memenuhi kebutuhan bangsa.

Lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara maupun swasta sebaiknya memperhatikan sistem dan metode pembelajaran yang proaktif melibatkan anak didik, serta membiasakan budaya literal. Tanggung jawab ini tidak hanya bagi para pendidik, melainkan tanggung jawab seluruh individu untuk membimbing dan mengarahkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, terutama orangtua siswa.

Ini juga merupakan tugas besar seluruh komponen bangsa, agar kita tidak kembali menjadi budak dari pengetahuan itu sendiri. Bukankah dengan belajar, membaca dan menulis, kita akan melihat seluruh isi dunia?

Negara yang sedang berkembang dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah seperti Indonesia, sangat memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang cukup. Eksplorasi di berbagai bidang memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni. SDM yang cukup dan memadai, akan tumbuh dari mereka yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang mereka dapatkan dari belajar, membaca dan menulis.

Terkikisnya budaya baca di kalangan pelajar dan mahasiswa akan memperburuk citra pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, pendidikan yang kita anggap sebagai tolak ukur kemajuan bangsa ternyata sangat memprihatinkan.

Pelajar sebagai aktor dunia pendidikan masih enggan membaca dan menulis. Bisa dibanyangkan, bagaimana kualitas peserta didik negeri ini di masa mendatang. Padahal, dengan membaca paling tidak akan membuka wawasan dan pengetahuan minimal untuk pribadinya.

Jika diingat kebangkitan nasional seabad lalu, akar gerakan itu bermula dari budaya literal, yaitu belajar, membaca, menulis dan berpikir sehingga tercipta pola pikir kebangsaan. Lihat saja, hampir semua tokoh bangsa yang mempelopori kebangkitan dan kemerdekaan adalah orang-orang yang selalu bergelut dengan budaya literal.

Rupanya, budaya membaca yang dulu menjadi ciri khas peradaban bangsa begitu jauh tersisihkan. Kemajuan teknologi dan derasnya arus globalisasi bukan berarti selalu membawa efek negatif. Tetapi, hal tersebut harus disikapi dengan arif diikuti keseimbangan berpikir. Budaya nonton yang kian menjalar bukan sebagai sebab dari makin malasnya generasi bangsa tetapi bagaimana kesadaran akan pentingnya pendidikan kembali ditanamkan. 


Minat Baca

Minat Baca
Muhidin M Dahlan  ;   Kerani di Warungarsip
TEMPO.CO,  12 November 2013
   
Masyarakat seperti dikutuk untuk selalu menjadi dasar bagi lahirnya sebuah proyek dari pemerintah. Tak sudah-sudah. Di semua bidang kehidupan. Dari soal kebodohan, kekumuhan, hingga minat baca yang payah.

Saya ingin mengutipkan kegeraman seorang pemikir perpustakaan kelahiran Jakarta tahun 1959 bernama Putu Laxman Pendit. "Pemerintah Indonesia bersama beberapa elite Kepustakawanan Indonesia melakukan propaganda lewat media massa untuk menyatakan bahwa masyarakatlah yang rendah, atau kurang, atau tidak, memiliki minat baca. Lalu, setelah menyalahkan masyarakat, mereka akan meminta dana (kepada rakyat tentu saja) untuk menyelenggarakan sebuah kampanye dalam bentuk upacara-upacara, festival, lomba, atau membayar tokoh-tokoh masyarakat sebagai duta baca." 

Minat baca-bukan budaya baca-adalah frase yang sangat abstrak untuk menunjukkan bodohnya orang Indonesia berhadapan dengan bacaan. Dan secara politik, minat baca adalah kutukan yang telak hanya kepada rakyat jelata. Hanya rakyat jelata yang disisir dengan tajam angka minat baca dan, karena itu, mereka harus di(h)ajar.

Selasa, 19 November 2013

20 Website untuk mencari Berita atau Artikel tentang Kesehatan tubuh

Menjaga Kesehatan tubuh dengan mencari Berita tentang Kesehatan, sepertinya hal sederhana untuk dilakukan, tapi jika tidak dilakukan secara rutin dan dipraktekkan maka tentu kesehatan tubuh akan berkurang, banyak anggapan menjaga kesehatan merupakan investasi yang paling penting, kesehatan merupakan harta utama sebab jika tidak sehat pasti tidak dapat menjaga keluarga dan teman teman saudara, tidak dapat beribadah dan sebagainya. Nah berikut ini beberapa website kesehatan yang dapat dijadikan rujukan tentang informasi dan berita tentang kesehatan, semoga bermanfaat bagi saudara/saudari sekalian :
  1. http://forum.detik.com/top-20-website-info-kesehatan-dan-konsultasi-dokter-online-t41469.html
  2. http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2013/08/13/sosialisasi-kesehatan-dari-mahasiswa-oleh-mahasiswa-untuk-mahasiswa--583941.html
  3. http://health.kompas.com
  4. http://www.tribunnews.com/kesehatan/
  5. http://www.thejakartapost.com/channel/body%20and%20soul
  6. http://health.detik.com/?ctl
  7. http://www.jpnn.com/index.php?mib=subrubriklist&sub=149
  8. http://health.okezone.com
  9. http://www.metrotvnews.com/lifestyle/health
  10. http://majalahkesehatan.com
  11. http://www.nbcnews.com/health/
  12. http://www.theaustralian.com.au/news/health-science
  13. http://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/
  14. http://www.japantoday.com/category/health
  15. http://edition.cnn.com/HEALTH/
  16. http://www.globalpost.com/news/health
  17. http://www.xinhuanet.com/english/health/index.htm
  18. http://www.voaindonesia.com/archive/health/latest/299/303.html
  19. http://www.washingtonpost.com/lifestyle/wellness
  20. http://www.voanews.com/section/health/2215.html
Semoga website website tersebut bermanfaat, terima kasih dan sebarkan postingan blog ini agar bermanfaat bagi lebih banyak orang lagi, terima kasih, dan jangan lupa klik g+1-nya :) :)


Senin, 18 November 2013

Rahasia Awet Muda dan Umur Panjang Orang China Kuno

Rahasia Awet Muda dan Umur Panjang Orang China Kuno

Liputan6.com, “Belajarlah sampai ke negeri China” idiom ini sangat popular. Bahkan Nabi Muhammad pun pernah mengatakan demikian. Apa pasalnya? Di negeri China banyak ilmu yang bisa digali, mulai dari teknik membuat mercon, kertas hingga ilmu-ilmu pengobatan yang tiada duanya.

Bahkan sampai-sampai teknik agar awet muda dan panjang umur pun mesti meniru gaya dan pola hidup orang-orang China. Lalu, apa saja resepnya.

Sederhana,” Hiduplah sesuai dengan siklus alam,” kata Dr.Rahmat, TCM, ahli pengobatan tradisional China seperti ditulis Rabu (9/10/2013). Dalam keadaan dingin atau panas, tubuh kita harus menyesuaikan dan menyeimbangkan diri. Jangan justru melawannya.

Gaya hidup sesuai siklus alam ini bila diuraikan lebih lanjut kurang lebih seperti ini, setiap orang harus memperhatikan cara makan, tidur, aktivitas dan kerja serta pembuangan.

Kamis, 07 November 2013

Mahasiswa Harus Diajari Filsafat Hukum Sejak Dini



Mahasiswa Harus Diajari Filsafat Hukum Sejak Dini
"Bukan sekedar pasal dalam undang-undang, tetapi apa yang ada di balik itu. "

 Cara belajar mengajar di kebanyakan fakultas hukum di Indonesia menuai kritikan. Ada yang menilai cara belajar masih berdimensi satu arah, ada juga yang menilai proses belajar yang terlalu legalistik. Kritikan ini terkuak dalam sebuah konferensi internasional tentang pendidikan hukum Asia Tenggara di Universitas Airlangga, Surabaya, pekan lalu.
Dosen Filsafat Hukum Universitas Binus, Sidarta mengatakan selama ini mahasiswa hukum hanya diajari teks atau isu undang-undang, bukan apa konteks undang-undang itu dibuat dan apa latar belakangnya.
Ia mencontohkan UU Penanaman Modal yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum. Mahasiswa hanya dituntut memahami apa isi dalam UU tersebut. “Mereka tak diajari kenapa undang-undang itu dibuat, cerita apa di balik kelahiran undang-undang tersebut. Itu yang nggak pernah diajar di kelas. Padahal, itu yang harus mereka tahu,” ujarnya.
Sidarta mengatakan proses belajar mengajar yang terlalu ‘legalistik’ yang akhirnya membuat para sarjana hukum hanya memakai “kaca mata kuda” ketika terjun ke masyarakat. Ia mengaku yakin bila pemahaman sejarah undang-undang dan filsafat hukum diajarkan sejak dini, maka wajah penegakan hukum Indonesia akan berbeda seperti sekarang ini.
“Ketika hakim mengadili kasus KDRT atau Narkoba, dia tahu filosofi UU itu. Jadi, tak hanya pakai kacamata kuda. Karena ketika dia kuliah dulu, dosennya menyampaikan dan mengajarkan hal tersebut,” tambahnya.
Karenanya, menurut Sidarta, paradigma para dosen yang hanya mengajarkan pasal-pasal kepada para mahasiswa hukum harus mulai diubah. “Dia harus mengajarkan pesan-pesan yang ada di dalam pasal itu,” tuturnya.
Sidarta mengakui perubahan cara mengajar di fakultas hukum ini bukan hal yang gampang. Pasalnya, dosen yang berminat kepada filsafat hukum semakin hari semakin berkurang. Bahkan, ada anekdot bahwa pengajar filsafat hukum harus dosen yang sepuh. “Di kampus kita biasanya yang mengajar fisafat hukum itu seiring dengan usianya,” seloroh Sidarta.
Bukan Fakultas Legislasi
Dalam makalahnya, Dosen Hukum Indonesia di Universitas Leiden, Adriaan Bedner berpendapat fakultas hukum di Indonesia harus benar-benar kembali menjadi ‘fakultas hukum’, bukan sebagai ‘fakultas legislasi’ yang hanya mempelajari pasal-pasal dalam undang-undang. Menurut dia, dosen hukum berperan besar dalam hal ini.
Adriaan menuturkan bahwa dosen hukum harus menjejali para mahasiswanya dengan bahan-bahan hukum yang kaya dengan “pertimbangan hukum’, daripada menawarkan analisa secara tekstual. Caranya, mahasiswa harus dibiasakan bagaimana menyelesaikan sebuah kasus.
“Mereka harus dibiasakan mendiskusikan kasus-kasus baik yang nyata maupun fiktif dan bagaimana menyelesaikannya secara hukum,” sebutnya.
Adriaan menjelaskan untuk melakukan ini maka dibutuhkan materi-materi hukum yang layak daripada hanya sekadar undang-undang yang sering digunakan. Ini mengharuskan para dosen untuk lebih sering melihat kasus-kasus hukum yang relevan terhadap subjek mata kuliah yang diajarkannya. Tugas terpenting para dosen hukum saat ini adalah mulai menginventarisir putusan-putusan MA yang sudah tersedia di website dan mulai membahas dan mengomentari putusan-putusan tersebut, sebelum akhirnya dibawa ke mahasiswa untuk didiskusikan.
Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Guru Besar HTN Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpesan agar para mahasiswa hukum harus menggali ilmu-ilmu hukum yang bertebaran di internet. Ia berpendapat suatu saat kehadiran dosen bisa tak diperlukan lagi bila mahasiswa sudah bisa memanfaatkan internet secara maksimal.