Rabu, 17 Juli 2013

Kumpulan Tulisan tentang Fakultas Hukum

Berikut adalah beberapa tulisan mengenai Fakultas Hukum selamat membaca dan semoga bermanfaat :
  1. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/07/advokat-sebagai-penyedia-jasa-hukum.html
  2. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/07/urgensi-pentingnya-masuk-dunia-hukum.html
  3. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/07/pilihan-hidup-untuk-tahu-dan-paham.html
  4. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/06/memperoleh-keadilan-dengan-cara-paham.html
  5. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/04/prospek-lulusan-fakultas-hukum.html
  6. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/12/cara-belajar-yang-baik-bagi-mahasiswa.html
  7. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/12/hindari-penjara-dengan-sadar-dan-taat.html
  8. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/03/fakultas-hukum-sebagai-fakultas-favorit.html
  9. http://prima-bintang.blogspot.com/2013/12/peran-advokat-dalam-perancangan-kontrak.html
  10. http://bcmahasiswa.blogspot.com/2012/06/7-alasan-jangan-masuk-jurusan-hukum.html
  11. http://muda.kompasiana.com/2013/02/24/mengapa-pilih-jurusan-ilmu-hukum-537632.html
  12. http://soalsnmptn.blogdetik.com/2012/01/04/jurusan-fakultas-hukum/


Nomor 1-9 = adalah tulisan saya, sedangkan Nomor 10-12 adalah artikel yang saya cari dari internet.

Silahkan di baca dan sebarkan tulisan ini di facebook/twitter/jejaring sosial lainnya. Jangan lupa klik google +1-nya, terima kasih sudah membaca tulisan sederhana saya :)




Advokat sebagai penyedia Jasa Hukum.

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang advokat, sedangkan yang di maksud dengan Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupamemberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Siapa yang tidak butuh Jasa Hukum ? Setiap orang pasti akan menghadapi permasalahan dengan hukum cepat atau lambat, sekarang tinggal pilihan saudara mau mengantisipasi masalah hukum dengan menjadi klien tetap advokat atau tunggu mengalami/ mendapat masalah hukum baru mau mencari advokat ? 

Lebih baik saudara cepat cari advokat yang berintegritas tinggi , anda dapat menanyakan referensi Advokat/ Pengacara yang seperti itu dengan orang terdekat saudara, ingat banyak banyak bertanya tentang kualitas kerja Advokat tersebut termasuk kriteria advokat baik/buruk ), jadi jika sewaktu waktu muncul masalah hukum maka Advokat tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah hukum saudara.

Sebaiknya saudara persiapkan alat alat bukti seperti tulisan/surat surat dan mencatat nama nama saksi beserta alamat lengkap saksi yang di perlukan dalam perkara saudara (jika advokat menolak untuk mengajukan saksi yang sudah disiapkan maka anda harus curiga mungkin besar advokat tersebut bermain dengan pihak lawan), karena keterangan saksi di perlukan untuk menguatkan pembuktian dalam suatu perkara pidana, perdata maupun TUN, kemudian saudara terangkan jelas jelas permasalahan hukum saudara kepada Advokat agar Advokat dapat memberi solusi tindakan untuk menyelesaikan masalah hukum saudara, dan sebaiknya Saudara sebagai klien Advokat banyak banyak bertanya dasar hukum Advokat tersebut cek sendiri benar atau tidak dasar hukum yang di berikan oleh advokat atau minta pendapat ketiga dari Akademisi Hukum di Universitas yang terjamin kualitas Dosen Hukumnya.

Silahkan di baca dan renungkan tulisan saya ini benar atau salah, dan jikalau tulisan saya salah tolong di koreksi, tetapi jika benar mohon sebarkan tulisan ini di facebook/twitter/jejaring sosial lainnya. 
 
Thanks for reading :)
Kalau tulisan ini menginspirasi kamu ayo klik google +1-nya, thank you :)  

Urgensi Pentingnya masuk dunia Hukum

Masyarakat sering berpendapat “Kenapa kamu mau masuk Fakultas  hukum? Sistem Hukum di Indonesia buruk sudah jadi rahasia umum, setelah lulus Jurusan Hukum mau jadi Profesi apa ? Jadi pengacara jujur tidak laku di pakai orang, karena masyarakat mencari Pengacara yang bisa memenangkan perkara yang sedang di hadapi klien berapapun mahalnya uang yang harus di bayar yang penting menang, bukan pengacara jujur memperjuangkan keadilan. 

Kami tahu hidup di Indonesia dengan segala masalah sistem hukumnya. Tetapi kami sadar jika kami menghindar belajar tentang hukum tidak akan menyelesaikan masalah hukum jika suatu saat kami berhadapan dengan masalah hukum, karena bisa saja orang baik di jebak kemudian di peras oleh oknum Pemerintahan. Jika semua orang berintegritas tinggi menolak masuk ke dunia hukum karena tidak mau terpengaruh buruknya sistem hukum Indonesia, sampai Kapan kita harus menunggu mewujudkan sistem hukum Indonesia yang bersih ? Jika tidak mempelajari dan memahami hukum (Undang Undang) Indonesia itu sendiri, bagaimana cara masyarakat Indonesia menuntut keadilan hukum dan membela Hak bagi mereka yang di tindas oleh Oknum Pemerintah yang memeras masyarakat ? 

Sabtu, 06 Juli 2013

Bertahan di Tengah Kompleksnya Masalah Perdagangan

"Di dalam buku Hukum Dagang Indonesia, R. Soekardono berhasil memaparkan prinsip-prinsip perdagangan secara konsisten di masanya."

Tak akan ada habisnya jika kita berbicara soal ilmu pengetahuan. Seiring perkembangan zaman, ilmu pengetahuan terus berkembang pesat. Di bidang hukum, misalnya. Sebuah buku mungkin tak cukup menggambarkan suatu persoalan. Buku lain terus hadir memanjakan mata pembaca sesuai masanya. Namun, kiprah buku-buku klasik tetap tak bisa lepas dari apa yang kita rasakan saat ini.

Usia manusia boleh bertambah dan akan habis dengan sendirinya. Tapi tidak bagi sebuah karya positif yang dihasilkan seseorang. Hal itu terbukti dari puluhan bahkan ratusan buku klasik yang hingga kini menjadi pedoman seseorang dalam menimba ilmu. Buku berjudul Hukum Dagang Indonesiakarya R Soekardono merupakan salah satu buku yang masih dijadikan referensi para dosen hukum dalam menularkan ilmu pengetahuan ke mahasiswa.

Agus Sardjono, salah seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengakui hal tersebut. Buku karya Soekardono masih dijadikannya sebagai referensi dalam mengajar. Menurutnya, buku itu banyak menerjemahkan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang hingga kini masih diberlakukan atas dasar ketentuan peralihan UUD. Oleh sebab itu, bagi mahasiswa yang ingin memahami KUHD tak ada salahnya membaca buku yang terbit pertama kali pada tahun 1983 ini.

“Memang ada perdebatan tentang apakah buku itu berlaku sebagai penerjemah undang-undang atau berlaku sebagai pedoman. Tapi itu adalah perdebatan klasik. Bagi kami yang penting adalah bagaimana kita memahami KUHD itu,” katanya.

Pada dasarnya apa yang tersaji dalam buku Hukum Dagang Indonesia tidak ada yang kurang. Soekardono berhasil memaparkan prinsip-prinsip perdagangan secara konsisten di masanya. Tapi itu tadi, kompleksitas perdagangan di masa lalu jelas berbeda dengan sekarang. Jangankan untuk membuat buku yang menarik, terkadang undang-undang yang ada saat ini saja banyak yang inkonsisten atau saling berlawanan satu sama lain.

Sekadar informasi, sepanjang karirnya, Soekardono pernah mencicipi kursi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Indonesia. Dia dianugerahi titel Guru Besar Luar Biasa Universitas Gajah Mada, Guru Besar Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Militer.

Seperti diketahui, banyak sekali produk perundang-undangan khusus yang mengatur masalah perdagangan atau aktivitas perusahaan saat ini, antara lain; UU tentang Wajib Daftar Perusahaan, UU tentang Pasar Modal, UU tentang Dokumen Perusahaan, UU tentang Perbankan, UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU tentang Rahasia Dagang, UU tentang Desain Industri, UU tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Selain itu, ada UU tentang Merek, UU tentang Paten, UU tentang Hak Cipta, UU tentang Badan Usaha Milik Negara, UU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, UU tentang Perseroan Terbatas, dan lain-lain. Belum lagi, saat ini pemerintah tengah berencana membuat UU tentang Perdagangan.

Menurut Agus, penelusuran para penulis baru dalam membuat buku yang berkaitan dengan hukum dagang sangat dangkal. Bahkan, tidak ada yang membahas secara baik mengenai KUHD. Namun, ia dapat memahami hal itu. Alasannya hampir sama seperti semula, si penulis mungkin hanya mengacu pada undang-undang yang ada saat ini.

“Undang-undang itu kan sumber hukum. Penulis harus mengacu pada undang-undang. Paling dia hanya bisa memberikan pendapat atau penafsiran terhadap undang-undang itu,” tutur Guru Besar Tetap untuk Bidang Ilmu Hukum Keperdataan ini.

Penulis lain yang pernah menulis buku tentang hukum dagang Indonesia adalah HMN Purwosutjipto yang tak lain adalah asisten dari Soekardono. Buku karyanya berjudul Pengertian Pokok Hukum Dagang IndonesiaBuku ini terbagi dalam beberapa bagian. Kendati demikian, keduanya banyak memiliki perbedaan pandangan dalam buku yang dibuat. Salah satu perbedaan mendasar adalah mengenai pengertian hukum dagang itu sendiri.

Soekardono mengatakan hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPerdata. Sedangkan Purwosutjipto mengatakan, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.

Namun, dosen Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), Mulhadi memiliki pendapat lain. Dalam makalah akademisnya, ia berpendapat jika ingin mengetahui definisi hukum dagang, maka hal tersebut tidak akan ditemukan di dalam KUHD, karena hal itu sama sekali tidak diatur secara khusus seperti layaknya pengertian pedagang dan perbuatan perniagaan.

Menurut Mulhadi, saat ini beberapa pasal dari Buku I KUHD tentang pedagang pada umumnya, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dalam dunia perdagangan. Hal ini berkaitan dengan pencabutan Pasal 2 sampai Pasal 5 perihal pedagang dan perbuatan perniagaan.

Bahasa (Bukan) Kendala
Buku-buku pelajaran klasik jelas memiliki banyak perbedaan dengan buku-buku yang terbit masa kini. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah penggunaan bahasa Indonesia. Tak bisa dipungkiri, jika pada zamannya buku-buku klasik laris manis dicari pembaca, tapi saat ini mungkin orang yang enggan mencarinya, apalagi berkeinginan untuk membeli.

Hal itu diungkapkan oleh Ibrahim, salah seorang marketing di PT Dian Rakyat. Perusahaan ini pernah menerbitkan buku Hukum Dagang Indonesia jilid I (bagian pertama). Selain itu, CV Rajawali yang kini bernama PT RajaGrafindo Persada pernah mencetak buku Soekardono tentang Hukum Dagang Indonesiajilid I (bagian kedua) dan Jilid II. Secara keseluruhan, buku Hukum Dagang Indonesia karya Soekardono terbagi dalam sembilan jilid.

Seperti dijelaskan di atas, pada masanya buku Hukum Dagang Indonesiabanyak dicari pembaca. Namun, seiring perkembangan zaman dan bahasa, buku ini seakan terlupakan. Apalagi, dari sisi bisnis buku ini dianggap tidak lagi mudah untuk dijual.  Ibrahim mengaku, sudah 10 tahun lebih perusahaannya tidak menerbitkan buku tersebut. Stok yang ada masih menumpuk. Buku-buku hukum klasik hanya dijual saat ada momen tertentu seperti pameran.

“Buku ini memang sempat laku di zamannya. Tapi seiring perkembangan hukum dan bahasa, belakangan buku-buku hukum klasik sulit laku,” ujarnya.   

Namun, tak adil rasanya jika faktor bahasa menjadi salah satu indikator menarik tidaknya sebuah buku untuk dibaca. Yang jelas, seorang penulis tentu akan menggunakan bahasa sesuai pada masanya. Jika dibaca saat ini, jelas, bahasa Soekardono dalam buku Hukum Dagang Indonesia terkesan lucu atau berantakan. Tapi sekali lagi, itulah salah satu risiko dari buku klasik.

Meski masih menggunakan ejaan lama, cara penyampaian pesan Soekardono dalam buku tersebut tetap mengalir dan dapat dipahami. Setidaknya itulah yang dikatakan Agus Sardjono. Menurutnya, buku Soekardono masih bisa dijadikan referensi bacaan yang baik bagi para mahasiswa hukum. “Bagi mahasiswa yang ingin memahami KUHD, sepertinya buku Soekardono masih bisa dijadikan referensi yang lebih baik,” pungkasnya.

Pemidanaan Dibalik Kredit Macet Mengundang Pro Kontra

"Ada pendapat, kredit macet termasuk wanprestasi yang diatur dalam KUH Perdata."

Dalam sebuah seminar perbankan di Jakarta kemarin (26/5), Raden Pardede, staf ahli Perekonomian Bidang Pengembangan Sektor Keuangan dan Pendanaan Infrastruktur, memberikan pandangannya tentang kredit macet. Kata dia, penyebab kredit macet, seperti bad loans dan management error, tidak serta merta menjadi tindakan pidana.

Hal senada disampaikan oleh advokat Frans Hendra Winata. Frans yang menjadi kuasa hukum PT Citra Graha Nusantara debitor Bank Mandiri yang tengah disidik di Kejaksaan Agung berkaitan dengan kredit macet--mengatakan bahwa persoalan kredit macet adalah kasus perdata murni dan tidak memenuhi unsur korupsi.

Kredit macet itu kan wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Kalau dikatakan korupsi, maka harus ada unsur kesengajaan, merugikan keuangan negara, melakukan perbuatan melawan hukum dan menguntungkan diri sendiri, yang berlaku kumulatif, ujarnya kepada hukumonline.

Frans menambahkan, unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus ditafsirkan bersifat kumulatif.

Pidana

Dihubungi secara terpisah, pakar hukum perbankan, Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan untuk menilai kredit macet, dapat dilihat dari beberapa perspektif. Menurutnya, apabila penyebabnya di luar kekuasaan debitor, seperti gempa, tsunami ataupun krisis moneter (force majeur), barulah bisa dikatakan persoalan hukumnya adalah perdata murni.

Tetapi, kalau terjadi penyalahgunaan kredit, pelanggaran terhadap peraturan baik UU Perbankan ataupun Peraturan BI, maka bisa dikatakan pidana, tegasnya.

Remy menambahkan, pada saat perjanjian kredit telah ditandatangani pun rawan terjadi tindak pidana. Menurutnya, apabila syarat penarikan kredit tidak dipenuhi, tapi uang tetap diberikan  maka ini adalah penyimpangan. Kemudian, pada saat kredit sudah diberikan dan kemudian disalahgunakan oleh debitor, ini bisa dikategorikan tindak pidana.

Dikatakan Remy, nasabah (debitor) bisa juga dikenakan sanksi pidana, apabila dalam proses pemberian kredit itu mempengaruhi pihak bank. Sehingga, pengucuran kredit dari bank menjadi melanggar peraturan perundang-undangan.

Di  mata Remy, kejadian seperti ini bukan hanya berlaku pada kredit yang diberikan oleh bank pemerintah saja. Bank Swasta pun bisa dikenakan tindak pidana korupsi. Bukan karena merugikan keuangan negara, tapi merugikan perkonomian nasional.

Sebab, bank swasta itu termasuk dalam sistem moneter. Dan sistem moneter itu bagian dari perekonomian nasional.

sumber tulisan : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12890/pemidanaan-dibalik-kredit-macet-mengundang-pro-kontra

Terbukti Berutang, Telkomsel Dipailitkan

"Majelis hakim mengikuti pendapat ahli Sutan Remy Sjahdeini."

Salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel) terpaksa gigit jari mendengar putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta, Jumat (14/9). Pasalnya, majelis hakim mengabulkan permohonan pailit yang diajukan PT Prima Jaya Informatika (PJI), mitra bisnis Telkomsel.

Adapun yang menjadi pertimbangan majelis untuk mengabulkan permohonan PJI karena syarat untuk mengajukan pailit telah terpenuhi, yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta terdapat minimal dua kreditor.

Sebelumnya, dalam permohonan pailit, PJI menuding Telkomsel memiliki utang yang terang dan dapat ditagih sebesar Rp5,3 miliar dan statusnya telah jatuh tempo pada 25 Juni 2012. Utang ini timbul karena Telkomsel menolak untuk memenuhi Purchasing Order (PO) dari PJI. Padahal, Telkomsel memiliki kewajiban untuk menyediakan voucher dengan tema khusus olahraga dalam jumlah yang sedikitnya 120 juta lembar terdiri dari voucher isi ulang Rp25.000,00 dan Rp50.000,00 setiap tahunnya.

Namun, Telkomsel menolak dikatakan memiliki utang. Menurut Telkomsel, PO tidak diberikan karena PJI belum membayar voucher yang telah dibuat tersebut.

Rupanya, majelis hakim tidak sependapat dengan dalil Telkomsel. Majelis berpandangan bahwa Telkomsel telah memenuhi unsur utang dalam arti luas, yaitu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dengan uang baik yang timbul karena perjanjian ataupun undang-undang.

Pertimbangan majelis ini pun dikaitkan denganPasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan, “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.

Terkait hal ini, majelis hakim berpendapat bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan suatu jual beli atau menyerahkan suatu barang. Terhadap frasa “barang” ini, majelis berpendapat bahwa barang adalah sesuatu yang bisa dinyatakan dengan uang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Makanya, majelis hakim menyimpulkan voucher bisa disebut dengan utang.

Lebih lanjut, penafsiran majelis terhadap Pasal 1458 KUHPerdata ini adalah kewajiban salah satu pihak telah timbul pada saat ada kesepakatan meskipun barang tersebut belum dibayar atau diserahkan.

“Untuk itu, telah terbukti secara sederhana termohon pailit memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih,” ucap Ketua Majelis Hakim Agus Iskandar.

Untuk memperkuat dalil putusan, majelis hakim mengutip pendapat ahli Sutan Remy Sjahdeini. Pakar hukum kepailitan ini dalam persidangan pekan lalu mengatakan UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur mengenai besar kecilnya utang. Sehingga, dapat diartikan bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak mempermasalahkan kalau aset suatu perusahaan ternyata lebih besar daripada utangnya.

Terkait unsur minimal terdapat dua kreditor, majelis mengatakan unsur ini terpenuhi. Meskipun dalam pembuktian Telkomsel telah menunjukkan bukti pelunasan utang kepada PT Extent Media Indonesia, majelis hakim menolak bukti tersebut berdasarkan Pasal 1868 KUHPer. Soalnya, bukti yang diajukan Telkomsel adalah bukti fotokopi, bukan bukti asli pembayaran. Sementara itu, Pasal 1868 KUHPer mensyaratkan bahwa kekuatan suatu dokumen atau bukti tertulis adalah terletak pada akta aslinya.

Menanggapi putusan ini, Kuasa Hukum Telkomsel Warakah Anhar menegaskan akan melakukan kasasi. Menurut Warakah, pihaknya tidak puas dan melihat ada kejanggalan dalam putusan ini. Karena, ada beberapa hal yang tidak dipakai dalam pertimbangan hakim.

“Kita akan kasasi. Dan dalam pembuktian kemarin, PT Extent telah menyatakan bahwa pihaknya sudah tidak akan berpartisipasi lagi dengan kasus ini karena utang-utang telah dilunasi. Namun, hal ini diabaikan,” ujar Warakah usai persidangan.

Sementara itu, Kuasa Hukum PJI Kanta Cahya mengatakan hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika saja Telkomsel tidak menganggap remeh mitranya. Hal ini terlihat dari diacuhkannya somasi dan surat klarifikasi yang diajukan PJI kepada Telkomsel.

“Kita telah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini di luar persidangan. Namun, upaya kita benar-benar tidak dihiraukan dan tidak direspon Telkomsel. Akhirnya, kita putuskan untuk mengajukan permohonan pailit,” tutur Kanta.

Hotman Paris Usulkan UU Kepailitan Direvisi

"Hakim jangan lagi menolak perkara hanya karena perkara tidak bersifat sederhana."

Pengadilan Niaga dan pengadilan umum harus konsisten menyatakan batal demi hukum setiap Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang diterbitkan oleh perusahan Special Purpose Vehicle (SPV) di luar negeri serta dijamin oleh perusahaan Indonesia. Pasalnya, tujuan pendirian SPV itu dinilai hanya sebagai upaya untuk menghindari atau mengurangi pembayaran pajak ke Pemerintah Indonesia.

Usulan ini disampaikan oleh Advokat Hotman Paris Hutapea dalam disertasi doktoralnya yang berhasil dipertahankan dalam sidang di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, , Selasa (21/6). “Obligasi dijamin itu mempunyai causa yang tidak halal sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata. Oleh karenanya batal demi hukum dan tidak sah,” ujarnya.

Sayangnya dalam praktik, jelas Hotman, hakim atau pengadilan kerap menolak permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atas utang kepailitan. Atau, utang PKPU yanng didasarkan pada pecahan obligasi tanpa warkat termasuk obligasi dijamin yang diterbitkan oleh perusahaan SPV di negara lain serta dijamin oleh perusahaan Indonesia itu.   

“Hakim kerap menolak perkara itu dengan alasannya perkara tidak bersifat sederhana,” ujar Hotman.

Menurutnya, para hakim seakan berlindung di balik Pasal 8 ayat (4) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Ketentuan ini berbunyi Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi

Padahal, lanjut Hotman, maksud pasal ini tidak seperti itu. Ia menuturkan, dalam UU Kepailitan tidak ada ketentuan yang menyatakan secara tegas pengadilan niaga tidak berwenang mengadili perkara tidak sederhana (sumir). “Penolakan untuk mengadili perkara kepailitan seperti itu bertentangan dengan azas kepastian hukum dan keadilan,” jelasnya.

Karenanya, agar Pasal 8 ayat (4) ini tidak ditafsirkan secarasembarangan lagi oleh hakim, Hotman mengusulkan agar pasal ini dihapuskan saja dari UU Kepailitan. “Perlu dipertimbangkan untuk dihapuskan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan yang sering dalam praktik ditafsirkan secara salah seolah-olah merupakan ketentuan normatif bagi pengadilan niaga untuk menolak mengadili perkara yang tidak sederhana,” jelasnya.

Salah seorang penguji, An An Chandrawulan menentang ide Hotman untuk menghapus Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan ini. Ia meminta Hotman perlu mengetahui terlebih dahulu apa latar belakang dan filosofi UU Kepailitan. Menurutnya, pasal yang diusulkan untuk dihapuskan itu merupakan salah satu unsur filosofi UU Kepailitan.

Filosofi dari kepailitan adalah upaya terakhir. Sehingga, perkaranya harus bersifat sederhana. Jadi, sulit untuk menghapus pasal yang menjadi filosofi UU Kepailitan itu,” ujar An An.

Hotman bersikukuh mempertahankan argumentasinya. Menurutnya, hakim pengadilan niaga kerap salah menafsirkan pasal ini sehingga sering menolak perkara. Padahal, Pasal 299 UU Kepailitan memberikan hak kepada semua pihak untuk mengajukan semua alat bukti yang diakui menurut HIR, termasuk menghadirkan saksi.

Dentuman Keras Buat YKCI

"Hakim menganggap pemungutan royalti atas penggunaan lagu dalam NSP merupakan hak terkait yang melekat pada Labels melalui perjanjian kerjasama dengan pencipta."

Yang mulia Pak Hakim, untuk Anda tahu saja, dengan menjatuhkan putusan seperti ini, semakin terpuruklah nasib kami-kami pencipta lagu ini, ujar Benny Pandjaitan pada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Benny adalah anggota Badan Pengurus Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) yang dalam perkara ini menjadi tergugat.


Setelah perjalanan cukup panjang, YKCI akhirnya harus menerima kekalahan melawan panasnya industri nada sambung pribadi (NSP). Dalam sidang yang berlangsung Rabu (19/3), Majelis Hakim PN Jaksel yang diketuai Sulthoni akhirnya mengabulkan tuntutan sepuluh  perusahaan rekaman (Labels).

Majelis menilai YKCI telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menarik royalti pada operator dalam bisnis NSP atau Ringbacktone (RBT) ke operator jaringan telepon selular. Majelis berpendapat YKCI tidak punya wewenang untuk mengkoleksi royalti hak terkait atas master rekaman yang dipegang Labels melalui perjanjian kerjasama rekaman suara.

Majelis berpendapat, sesuai ketentuan Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pasca penandatanganan perjanjian kerjasama dengan pencipta, Labels telah mengantongi hak eksklusif atas master rekaman  suara. Hak eksklusif atas master rekaman, menurut Majelis merupakan hak terkait yang timbul dari adanya sebuah perjanjian. Dari situlah Labels berhak menagih pembayaran royalti atas dipakainya sebuah lagu yang merupakan turunan dari master rekaman.

Tuntutan ganti rugi senilai Rp 100 miliar tidak dikabulkan lantaran tidak terperinci dengan jelas. Majelis hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp84,8 juta. Biaya itu terinci sebagai ongkos yang harus dikeluarkan Labels untuk mengumumkan somasi terhadap YKCI di berbagai media massa sebelum perkara masuk ke meja hijau.

Dengan putusan ini, Majelis telah mengartikan penurunan lagu dari master rekaman menjadi NSP termasuk dalam kegiatan menggandakan alias memperbanyak (mechanical) dan menyewakan. Dua kegiatan yang menurut UU Hak Cipta memang menjadi hak eksklusif pemegang hak terkait dari sebuah karya cipta.

Benny termasuk orang yang merasa sangat kecewa dengan putusan majelis pimpinan Sulthoni.  Pentolan grup musik Panbers yang cukup kondang pada era 70-an itu sejak permulaan sidang sudah merasa gondok dengan putusan majelis menolak intervensi pencipta yang hendak nimbrung dalam perkara itu. Kalau mau kuasai hak-hak kami semuanya (ekonomis, red), kenapa tidak sekalian saja ambil raga kami, jiwa kami. Hisap semua dari kami, tidak usah disisakan sekalian. Ini pelanggaran HAM, ucap Benny.

Salah satu anggota Tim Kuasa hukum YKCI, Guntur Fatahillah dari Kantor Hukum Mahendradatta menyatakan hendak melakukan banding. Ia menganggap pertimbangan hakim tidak meninjau lebih jauh apakah NSP yang diperselisihkan itu masuk pada hak menggandakan atau hak mengumumkan. Padahal pada sidang sebelumnya, YKCI telah menghadirkan ahli yang menjelaskan tentang batasan hak eksklusif bagi pemegang hak terkait. Pendapat Pak Insan (Budi Maulana, red) sama sekali tidak dipertimbangkan, ujar Guntur. Insan adalah pakar HAKI yang dihadirkan YKCI dari Universitas Krisnadwipayana.

Sebaliknya, Majelis justru segendang sepenarian dengan pandangan ahli yang dihadirkan Labels, Prof Hendra Tanoe Atmadja. Penyusun Disertasi berjudul Perlindungan Hukum Hak Cipta atas Lagu di Indonesia (UI tahun 2003) itu mengatakan,  hak eksklusif  yang melekat pada Labels atas master rekaman suara ibarat hak milik, bisa diperlakukan semaunya. Setelah proses perekaman sebuah lagu selesai dibikin, maka hak ekonomis yang bisa diambil dari hasil rekaman itu sepenuhnya menjadi milik Labels untuk waktu yang tak terbatas. Terlebih jika telah diperjanjikan hak cipta tersebut dialihkan pada perusahaan Labels termasuk dalam hak mengumumkan karya ciptaan (lagu).

Sumedi Kuasa Hukum Labels mengatakan, putusan majelis sudah sangat memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU Hak Cipta. Menurutnya, sepanjang hak ekonomis timbul dari penurunan lagu atas master  rekaman suara, maka hal itu akan menjadi hak eksklusif perusahaan rekaman, sehingga KCI tidak berwenang menagih royalti atas penggunaan NSP.

Hakim wajar saja tidak mempertimbangkan pendapat ahli dari tergugat,  mungkin karena mereka tidak sependapat dengan ahli, ujarnya. Pertimbangan hakim, lanjutnya, sepenuhnya sudah berpijak pada Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 2 Ayat (1). Sumedi menganggap perdebatan dalil Labels dengan YKCI telah masuk pada perbedaan visi. Yang kita bicarakan itu Hak Terkait, yang mereka bicarakan itu  hak atas karya cipta lagu, ujarnya.

Mengenai kontrak yang dijadikan dasar Majelis untuk menyatakan KCI tidak berwenang menarik royalti bisa jadi benar terjadi dalam praktek. Sebuah perjanjian kerjasama rekaman suara antara Musica Studio dengan Nazril Irham alias Ariel Peterpan Cs yang didapat hukumonline, menunjukkan bahwa pengalihan hak, baik itu hak memperbanyak hingga untuk mengumumkan terkadang dijadikan satu dalam perjanjian.

Contohnya ada klausul yang menyatakan: Pihak Pertama (Labels) memperoleh izin untuk menggandakan ciptaan tersebut secara mekanis (Mechanical Rights), menjadi suatu karya rekam atau mengumumkan dalam arti mempublikasikan ciptaan tersebut (Performing Rights), serta menggandakan untuk Karya Audio Visual (Syncronization Rights).

Menurut Sumedi, sepanjang sebuah produk diperdengarkan lewat cara apapun dari master rekaman suara, sudah barang tentu menjadi hak eksklusif pemilik rekaman suara. Musik itu kan selain dipertunjukkan langsung, bisa juga diperdengarkan lewat penghantar suara. RBT itu kan didengar dari penghantaran hasil rekaman suara, bukan langsung dipertunjukkan oleh pencipta atau pihak lainnya, kata Sumedi. Jadi, kalau dipertunjukkan di acara live atau disiarkan sepanjang bukan berasal dari master rekaman, itu jelas menjadi hak pencipta.

Pendapat ini tidak diterima Benny. Sesuai pengalamannya, penggunaan RBT dari lagu ciptaan Gesang pencipta lagu Bengawan Solo di Jepang misalnya, Mereka membayar ke KCI, nyatanya ada Labels Gesang di sini tidak menuntut ke Jepang, ujarnya. Atau lagu saya dipakai di luar negeri, mereka bayar ke saya. Kok Labels nggak pernah nuntut ke mereka? Padahal lagu saya juga terikat dengan Labels di sini.

Walhasil, putusan PN Jakarta Selatan ini tampaknya belum mengahiri perseteruan kedua belah pihak. Ini belum berakhir. Masih ada banding ke pengadilan yang lebih tinggi, sampai ke MA. Dan yang paling tinggi yang bisa memahami dan mengerti nasib kami untuk mendapat keadilan di  masa mendatang adalah MA, Mahkamah Allah,  ucap Benny lirih, mewakili jeritan pencipta lainnya.

YKCI versus Inul Vizta di Pengadilan Niaga

"Memperdebatkan kelayakan jumlah royalti yang harus dibayar."


Bagi Anda yang sering berdendang ria di karaoke seperti Inul Vizta atau di kafe, salah satu menu pilihan adalah lagu-lagu jadul semacam Widuri atau lagu ‘Kasih’ yang pernah dinyanyikan Ermi Kulit, atau ‘Tinggallah Kusendiri’ yang dipopulerkan Nike Ardilla. Lagu-lagu lama karya Bartje van Houten, Slamet Adriyadi, Yuke NS, dan Richard Kyoto masih menarik bagi sebagian pecinta karaoke.
Para pencipta lagu tersebut kini sedang memperjuangkan hak mereka di pengadilan. Lewat Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), para pencipta lagu klasik itu mempersoalkan minimnya royalti yang mereka terima selama ini dari Inul Vista. Kamis (21/3) lalu, misalnya, Yuke NS, bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam kesaksiannya, Yuke mengatakan PT Vizta Pratama, yaitu perusahaan pemegang merek dagang Inul Vizta Karaoke ini enggan membayar royalti atas lagu-lagu ciptaan para pencipta yang lagunya ada di karaoke tersebut. Bahkan, Inul Vizta Karaoke terus meminta keringanan pembayaran. Alhasil, pendapatan royalti para pencipta lagu mengalami penurunan sebanyak 50 persen.
"Maunya diskon terus. Ini nggak adil. Gimana kalau dibalik, mau tidak dia mendapatkan Rp10. Dia kan artis. Harusnya tahu mengenai hak si pencipta," tutur Yuke kepada hukumonline usai persidangan, Kamis (21/3). Kesaksian Yuke hanya salah satu fase yang harus dilalui dalam sengketa YKCI melawan PT Vizta Pratama.
Gugat menggugat ini berawal dari tudingan YKCI bahwa Vizta Pratama telah melanggar hak cipta para pencipta lagu. Untuk diketahui, YKCI adalah lembaga kolektif manajemen yang telah berdiri sejak 1990 dan diakui eksistensinya antara lain oleh Kementerian Hukum dan HAM.
YKCI adalah pemegang hak cipta dari 2.636 para pencipta lagu Indonesia dengan karya sebanyak 130 ribu lagu. Selain menjadi pemegang hak cipta para pencipta lagu Indonesia, YKCI juga mendapat Reciprocal Agreement oleh International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC) yang berkedudukan di Paris. Atas hal tersebut, YKCI mendapat hak untuk mengelola sebanyak 10 juta lagu asing dari buah karya 2 juta pencipta lagu asing yang bergabung di ISAC.
Sebagai pemegang hak cipta, YKCI mempunyai hak untuk memungut royalti terhadap para pengguna lagu yang menggunakan lagu-lagu para pencipta untuk tujuan komersial. Karaoke, termasuk yang dikelola Vizta Pratama, dan kafe adalah tempat lagu-lagu penyanyi diperdengarkan. Tempat karaoke wajib membayar royalti sesuai UU No 19 Tahun 2002.
Dalam kasus ini, penggugat menuding Inul Vizta Karaoke hanya membayar royalti sebanyak Rp5,5 juta/outlet/tahun, bahkan kemudian turun menjadi Rp3,5 juta/outlet/tahun. Menurut YKCI, harga ini tidak layak. Padahal, bisnis tersebut menyuguhkan lagu-lagu ciptaan sebagai menu utama dalam menjalankan roda bisnis tersebut.
Pasalnya, berdasarkan hitung-hitungan YKCI, Inul Vizta Karaoke hanya membayar Rp10 per lagu. Artinya, para pencipta lagu hanya mendapatkan royalti Rp10 atas satu ciptaan lagunya. Sementara itu, keuntungan minimal yang diperoleh Inul Vizta Karaoke per hari ditaksir mencapai Rp5,4 miliar. “Padahal bisnis ini prinsipnya no song, no bussiness,” ucap Ketua Umum YKCI Dharma Oratmangun kepada hukumonline, Kamis (21/3).
Atas hal tersebut, YKCI menuntut agar Inul Vizta membayar royalti sebanyak Rp720 ribu/ruangan/tahun. Tuntutan tersebut telah sesuai dengan aturan standard internasional yang diatur CISAC. Juga, dalam gugatannya, YKCI meminta majelis hakim untuk menghukum tergugat membayar sisa royalti Rp51 juta untuk periode 2012 dan membayar kerugian immaterial sejumlah Rp1 miliar.
Gugat Balik
Kuasa hukum Inul Vizta Karaoke, Anthony LP Hutapea menolak dikatakan kliennya membayar royalti secara tidak layak. Soalnya, angka Rp3,5 juta tersebut ditetapkan YKCI sendiri. Kala itu, YKCI mengatakan harga standar yang ditetapkan oleh CISAC sebesar Rp720 ribu/ruangan/tahun belum dapat diterapkan di Indonesia mengingat keadaan ekonomi pelaku usaha Indonesia berbeda dengan kemampuan pengusaha luar negeri. Juga, bisnis karaoke masih berkembang di Indonesia.
Atas hal tersebut, para pihak sepakat menentukan royalti sebesar Rp720 ribu per/kamar/tahun dipotong 40% sehingga menjadi Rp3,5 juta per tahun. Apalagi, angka Rp3,5 juta yang sudah ditetapkan penggugat lebih besar daripada biaya royalti yang ditetapkan lembaga pemungut royalti lainnya, seperti Royal Musik Indonesia dan Wahana Musik Indonesia yang hanya berkisar Rp2,5 juta/tahun. Dengan mengubah pembayaran royalti menjadi Rp720 ribu/ruangan/tahun tanpa kesepakatan bersama, Anthony menilai tindakan YKCI adalah tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum.
Selain itu, Anthony menyangkal keras Inul Vizta meraup keuntungan yang besar per harinya. Menurutnya, YKCI telah melupakan kalau bisnis tersebut tidak selalu ada pelanggannya. Banyak kamar karaoke yang kosong. Juga, Inul Vizta harus membayar gaji para karyawan, perizinan, dan biaya operasional lainnya. “Penggugat langsung berkesimpulan kalau tergugat meraup keuntungan besar,” tulis Anthony dalam berkas jawabannya.
Selain menolak membayar royalti sejumlah Rp720 ribu tersebut, Anthony juga menolak membayar ganti kerugian immaterial yang mencapai angka Rp1 miliar. Soalnya, YKCI dalam positanya tidak menyinggung sedikit pun mengenai kerugian immaterial. Berdasarkan putusan MA No.117.K/Sip/1971 tertanggal 2 Juni 1971 menyatakan gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dan dibuktikan dengan sempurna, tidak dapat dikabulkan. Begitu juga dengan Putusan MANo.598.K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971 dan No.550.K/Sip/1979 tertanggal 8 Mei 1980.
Atas tindakan yang melawan hukum itu, Inul Vizta Karaoke menggugat balik dan meminta ganti kerugian material untuk jasa pengacara dan kerugian immaterial karena telah mencoreng nama baik Inul Vizta Karaoke. Total kerugian tersebut mencapai Rp1,5 miliar.











Hotman Paris Ancam Pidanakan YKCI

"YKCI bantah tudingan soal menaikkan tarif royalti secara sepihak."

Sengketa mengenai pembayaran royalti antara Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) dengan PT Vizta Pratama semakin sengit. Kuasa hukum PT Vizta Pratama, Hotman Paris Hutapea balik memberikan peringatan keras kepada YKCI. Hotman mensomasi agar YKCI tidak sembarangan mengatakan perusahaan pemegang merek dagang Inul Vizta Karaoke telah melanggar hak cipta para pencipta lagu.
"Jangan sembarangan mengatakan telah melanggar hak cipta dong. Kalau begini terus, nanti kami yang akan melaporkan pidana atas pencemaran nama baik," ucap Hotman dalam konferensi pers di kantornya, Senin (1/4).
Hotman berjanji mempolisikan YKCI dalam waktu dekat jika lembaga pemungut royalti tersebut tidak hati-hati. Ia berangapan sengketa kliennya dengan YKCI tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta karena Inul Vizta Karaoke masih menjalankan perjanjian yang telah disepakati para pihak. Juga, perkara ini hanya menyangkut besaran pembayaran royalti.
Bahkan, Hotman melihat justru YKCI telah bertindak semena-mena karena telah menaikkan royalti tanpa sepengetahuan dan persetujuan Inul Vizta. Selain itu, kenaikan harga royalti dari Rp3,5 juta/outlet/tahun menjadi Rp720 ribu/kamar/tahun dinilai janggal. YKCI tidak mendapat kuasa dari lagu-lagu asing karena YKCI bukan lagi menjadi anggota lembaga pemungut royalti internasional, International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC). Alhasil, lagu-lagu yang dimiliki YKCI semakin berkurang.
Selain tidak memiliki kuasa untuk memungut royalti atas lagu asing, YKCI juga telah kehilangan kuasa dari beberapa pencipta lagu lokal. Pencipta lagu tersebut telah berpindah ke lembaga pemungut royalti lainnya, seperti Wahana Musik Indonesia dan Royalti Musik Indonesia. Logikanya royalti yang ditagih ke pengguna lagu juga berkurang karena lagu-lagunya berkurang.
Hotman menambahkan YKCI tidak transparan mendistribusikan royalti para pencipta lagu. Selama ini, YKCI tidak memberikan laporan pertanggungjawaban dari pembayaran royalti tersebut meskipun Inul Vizta telah meminta berkali-kali. Inul Vizta tidak mengetahui apakah pembayaran royalti tersebut terdistribusi dengan baik kepada para pencipta lagu atau tidak. 
"Para pencipta lagu mari ramai-ramai ke KCI minta pertanggungjawabannya. Kalau tidak dapat transparansinya, hengkang saja dari KCI," tukasnya. 
Pemilik PT Vizta Pratama, Inul Daratista turut menimpali. Ia mengatakan telah menahan diri untuk tidak menanggapi tudingan-tudingan yang dilontarkan YKCI. Inul merasa telah beriktikad baik untuk tetap bekerjasama dengan YKCI. Caranya, tetap memperhatikan nasib para pencipta lagu lama. Jika Inul memutuskan untuk menghapus lagu-lagu yang dikuasakan ke YKCI, yang dirugikan dalam hal ini adalah pencipta lagu lama.
"Kalau tarifnya kurang, ya buat kesepakatan. Kalau tidak tercapai kesepakatan, ya delete lagu-lagu KCI dari sistem," tutur Inul kepada wartawan dalam kesempatan yang sama.
Lagi pula, Inul mengatakan lagu-lagu lama yang dinyanyikan para konsumen hanya sebanyak 1-5 persen. Angka yang tidak signifikan jika dihapus dari sistem. Selain sedikit dinyanyikan, lagu-lagu dari YKCI juga sedikit yang tersimpan di pemutar lagu Inul Vizta. Namun, Inul tidak tahu berapa persis lagu-lagu tersebut yang ada di database lagu.  "Intinya, Inul akan melawan KCI dalam forum-forum pengadilan," timpal Hotman.
Terpisah, menanggapi pernyataan Inul untuk saling bersepakat, kuasa hukum YKCI Arjo Pranoto mengatakan tetap bersikukuh menempuh jalur pengadilan. Sebelum menempuh jalur pengadilan, Inul Vizta Karaoke bergeming. "Kemarin-kemarin kemana? Biar saja hakim yang putuskan perkara ini," ucap Arjo ketika dihubungi hukumonline, Senin (1/4).
Terkait kenaikan royalti, Arjo menolak dikatakan YKCI menaikkan harga royalti. Arjo mengatakan harga royalti tidaklah meningkat, tetapi YKCI hanya menghapus potongan-potongan harga yang selama ini berlaku. Sebelumnya, angka Rp3,5 juta itu merupakan potongan harga sebanyak 40 persen dari Rp720 ribu per outlet. Lebih lagi, royalti yang ditetapkan YKCI adalah harga terendah di dunia.
Menanggapi pernyataan Hotman agar para pencipta lagu hengkang dari YKCI, Arjo mengatakan tindakan tersebut adalah provokasi yang tidak benar. Jika para pencipta lagu hengkang, siapa yang akan memungut royalti mereka. "Itu provokasi yang tidak benar. Terus, apa orang per orang yang akan memungut royalti ke pengusaha," tandas Arjo.

OC Kaligis Laporkan Denny Indrayana ke Polisi

"Karena ‘kicauannya’ di twitter soal advokat"

Pengacara senior OC Kaligis mengadukan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia  Denny Indrayana ke Polda Metro Jaya, terkait dugaan penghinaan terhadap profesi advokat melalui jejaring sosial (twitter).
"Di twitter advokat koruptor sama dengan koruptor itu sama saja, itu yang dilaporkan atas dasar penghinaan,” kata OC Kaligis saat dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (23/8) malam.
Kaligis mengatakan pernyataan berisi "Advokat koruptor adalah koruptor, yaitu advokat yang asal bela membabi buta tanpa malu terima uang bayaran dari hasil korupsi" muncul di Twitter pada Sabtu (18/8).
Berdasarkan pernyataan tersebut, Kaligis melaporkan Denny ke Polda Metro Jaya dengan Nomor : TBL/2919/VII/2012/2012/PMJ/Ditreskrimum.
Pengacara kawakan itu, menyatakan Denny melanggar asas praduga tak bersalah dan Pasal 310, 311 dan 315 KUHP tentang pencemaran nama baik juncto Pasal 22 dan 23 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Padahal, menurut Kaligis, advokat wajib membela orang berdasarkan Pasal 54 dan 56 KUHP.
Kaligis menyayangkan Denny yang tercatat sebagai pejabat negara menyampaikan pernyataan yang tidak pantas. "Itu memalukan dan menandakan wakil menteri tidak mengerti hukum," ujar Kaligis.
Terpisah, melalui akun twitter-nya Denny mengaku ikhlas atas pelaporan dirinya ke Polda Metro Jaya. Soalnya sejak awal ia paham ini adalah salah satu risiko perjuangan melawan korupsi.
“Saya mohon dukungan dan doa, agar tetap kuat, serta agar pejuangan ini tetap mendapat ridho dari Allah SWT. Demi Indonesia yang lebih bersih dari korupsi," tulis Denny.
Namun begitu Denny meluruskan bahwa ‘kicauannya’ di twitter beberapa waktu lalu tak ditujukan untuk menyerang seluruh profesi advokat. Ia hanya mengkritisi malpraktik yang dilakukan oleh oknum advokat yang terkesan ‘maju tak gentar membela yang bayar’ dalam kasus korupsi. “Tindakan oknum advokat demikian sangat menyakiti hati rakyat.”
Beberapa pernyataan di akun twitter @dennyindrayana soal advokat dan koruptor pada Sabtu (18/8) lalu adalah sebagai berikut:
“Advokat koruptor adalah koruptor itu sendiri. Yaitu advokat yg membela kliennya yg nyata2 korupsi, menerima bayaran dari uang hasil korupsi.”
“…Saya tidak anti advokat. Saya hanya kritik advokat yg asal bela kasus korupsi demi uang & popularitas semata.”
“Saya pernah advokat, menolak klien kasus korupsi. Sudah sewajibnya #Advokat Koruptor adalah Koruptor. Penerima bayaran dari hasil Korupsi#”
“Banyak kok advokat hebat yg menolak kasus korupsi. #Advokat Koruptor adalah Koruptor. Penerima bayaran dari hasil Korupsi#
“TSK korupsi sudah dpt diduga salahnya dari pilihan figur advokatnya #Advokat Koruptor adalah Koruptor. Penerima bayaran dari hasil Korupsi#”
“Tidak sulit identifikasi advokat kotor yg hanya jagoan bayar hakim #Advokat Koruptor adalah Koruptor. Penerima bayaran dari hasil Korupsi#”
“Sekali lagi: Advokat koruptor adalah koruptor. YAITU advokat yg asal bela membabi buta. Yg tanpa malu terima bayaran dari uang hasil korupsi”
“Ada perbedaan mendasar antara: pembelaan untuk jaminan fair trial, dengan pembelaan membabi buta, maju tak gentar membela koruptor yg bayar.”

Jumat, 05 Juli 2013

M. Idwan Ganie: Mahasiswa Hukum Harus Cinta Ilmu Hukum

"Pendidikan hukum di Indonesia masih kurang membekali mahasiswa dengan keterampilan dasar praktisi hukum."

Berkantor di salah satu lokasi paling strategis di Jakarta, berpakaian necis dan berkelas, plus mengendarai mobil mewah, orang pasti tidak akan meragukan kesuksesan seorang M. Idwan Ganie sebagai advokat. Itu baru soal penampilan, belum lagi jika kita menengok penghargaan nasional dan internasional yang diraih pria kelahiran Amsterdam, Belanda itu.

April 2012 lalu, misalnya, Kiki Ganie, begitu dia akrab disapa, dinobatkan sebagai “One of the World’s 100 Leading Lawyers” oleh Lawyer Monthly, sebuah terbitan dan laman internet di Inggris. Ini adalah kali kedua Kiki Ganie dinobatkan sebagai “One of the World’s 100 Leading Lawyers” oleh Lawyer Monthly.

Di balik kesuksesannya sebagai advokat, tidak banyak khalayak yang mengetahui bahwa Kiki Ganie sebenarnya juga adalah seorang pengajar. Ya, setiap Kamis, di sela-sela kesibukannya sebagai advokat, Kiki Ganie menyempatkan diri berkunjung ke Kampus FHUI di Depok, Jawa Barat. Pria yang khas dengan kepala plontosnya ini mengasuh mata kuliah Penelusuran Literatur dan Penulisan hukum atau populer disebut Legal Opinion.

Diceritakan Kiki Ganie, dirinya mulai resmi mengajar sejak tahun 1986-1987. Kala itu, Dekan FHUI –berdasarkan informasi laman resmi FHUI, dekan pada periode itu adalah Mardjono Reksodiputro- meminta Kiki Ganie untuk mengajar. Meskipun sempat menimbang-nimbang, Kiki Ganie memenuhi permintaan pimpinan fakultas almamaternya itu.

Namun, berbeda dengan jenjang karier dosen kebanyakan, Kiki Ganie langsung menjadi dosen tanpa melewati jenjang asisten dosen. Sejak itu, Kiki Ganie memiliki dua dunia yang harus dijalani, dunia advokat dan mengajar.

Uniknya, meskipun sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk profesi advokat, Kiki Ganie justru mengaku lebih jatuh cinta pada profesi dosen. Lantaran jatuh cinta, Kiki Ganie pun tidak menganggap profesi dosen yang dia jalani sebagai profesi sampingan. Artinya, Kiki Ganie tetap menjalaninya dengan serius.

Salah bentuk keseriusan itu, Kiki Ganie berupaya keras agar kuliah yang diasuhnya menarik bagi mahasiswa. Caranya beragam mulai dari memberikan insentif untuk mahasiswa yang aktif bertanya dan menjawab, hingga menghadirkan pembicara tamu. Hasilnya ternyata cukup positif. Kuliah Legal Opinion selalu penuh dengan mahasiswa, baik yang secara resmi mengambil mata kuliah itu maupun yang tidak.

Hasil positif lainnya, melalui ajang pemilihan “Melek Hukum Award” yang diselenggarakan www.hukumonline.com dan www.kaskus.co.id, Kiki Ganie terpilih sebagai dosen hukum terfavorit. Kiki berhasil menyisihkan sejumlah nama terkenal seperti Prof. Hikmahanto Juwana (ahli hukum Internasional), Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK), dan Eman Suparman (Ketua KY). Acara penyerahan “Melek Hukum Award” digelar di Kampus FHUI, Depok, 12 September 2012 lalu.

Untuk mengetahui lebih dalam kiprah Kiki Ganie sebagai dosen, hukumonline berkesempatan mewawancarai advokat yang selalu berpakaian necis itu di ruang kerjanya di kantor LGS, Menara Imperium, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana perasaannya terpilih menjadi dosen hukum terfavorit? 

Senang, humble (rendah hati, red), dan ada beban juga. Berarti ada yang disenangi mahasiswa, dan itu harus dipertahankan, ditingkatkan lagi. Ada kebanggaan juga untuk almamater.
Apa makna dosen favorit menurut Anda? Apakah dosen favorit serta merta juga berarti dosen yang baik?

Saya kira menjadi favorit itu salah satu unsurnya menjadi dosen yang baik. Menjadi dosen favorit adalah satu entry point yang baik karena kalau tidak senang dengan dosennya, dengan ilmunya, tidak mungkin menjadi baik hasilnya. Mungkin saja dosen yang disenengi itu bisa membawanya lebih dekat kepada ilmu yang dipelajari.

Salah satu alasan mahasiswa yang memilih Anda sebagai dosen terfavorit, karena metode mengajar Anda yang suka membagi-bagikan hadiah berupa tiket konser?

Ada banyak pertimbangannya. Pada dasarnya kan orang senang diberi hadiah. Tetapi, salah satunya pertimbangannya, hadiah itu saya anggap sebagai kado bagi generasi baru lawyer Indonesia, dalam arti lawyer secara umum. Apapun profesi hukumnya bagi saya itu lawyer, tidak hanya advokat. Saya ingin menciptakan situasi yang lebih dekat ke kehidupan sebenarnya. Bahwa kita bekerja itu sesungguhnya untuk mencari nafkah. Ada reward-nya, ini bisa juga menjadi perangsang untuk menekuni profesinya dan belajar ilmu hukum. Jadi, bisa senang dengan hukum, juga senang dengan hasilnya sehingga kita melakukan apa yang kita sukai.

Tetapi, hadiah-hadiah ini konteksnya reward, bukan diobral. Hadiah ini diberikan kepada mahasiswa yang menjawab pertanyaan dengan benar. Kenapa tiket konser musik? Sebenarnya sulit untuk menemukan hadiah yang menarik bagi kebanyakan mahasiswa. Musik itu biasanya menarik, konser menarik.

Saya tidak pernah mengalokasikan anggaran khusus setiap tahunnya untuk menyediakan hadiah-hadiah itu. Namun, setiap tahun, saya memikirkan hal yang baru agar perkuliahannya menjadi menarik untuk mahasiswa.

Alasan lainnya yang dikemukakan mahasiswa yang memilih Anda adalah soal pembicara tamu yang dihadirkan dalam perkuliahan. Kalau ini, apa pertimbangannya?

Kalau lawyer diibaratkan sebagai dokter, kita selalu berbicara dari sisi kedokterannya saja. Sekali-kali kan menarik juga untuk menghadirkan pasien atau user-nya. Tujuannya juga, untuk membangun semangat hidup, semangat belajar, dan semangat masa depan.

Saya tidak pernah melihat jabatan ketika menghadirkan guest speaker, tetapi yang paling high profile yang pernah saya hadirkan adalah Sandiago Uno (pengusaha muda, pernah tercatat sebagai orang terkaya nomor 29 di Indonesia versi Majalah Forbes, 2009, red.). Dia kan semacam business man gaya baru, yang datang dari keluarga kelas menengah, dan masih pula.

Salah satu tema dalam kuliah saya adalah “kita tidak mungkin mempelajari sesuatu dengan baik, kecuali kita cinta dengan apa yang kita pelajari”. Jadi, sebelum masuk ke substansi atau materinya, mungkin harus mencari kiatnya terlebih dahulu bagaimana mencintai ilmu hukum ini yang selalu dianggap sebagai ilmu yang paling susah. Makanya, kita harus bisa jatuh cinta kepada ilmu hukum yang secara otomatis sebetulnya tidak menarik. Pertanyaan saya di awal-awal kuliah, “siapa yang cinta ilmu hukum?”, tidak ada yang mengangkat tangan. Mungkin hanya satu atau dua.

Jadi, ilmu hukum itu tidak menarik bagi anda? Lalu apa yang membuat anda memilih fakultas hukum?  

Saya tidak pernah bilang ke mahasiswa bahwa saya dari dulu waktu kecil sudah mau menjadi lawyer. Tidak, ini masuk (fakultas hukum, red.) saja bukan pilihan utama saya. Terus setelah lulus pun saya belum senang juga dengan ilmu hukum ini. Jadi, jatuh cintanya ini baru belakangan.

Yang harus dipahami, ilmu hukum itu sebenarnya bukan sekadar peraturan karena peraturan itu selalu berubah. Sebelum mereka lulus pun, peraturannya bisa-bisa sudah tidak berlaku lagi. Yang penting itu adalah logika, fakta, dan integritas. Jadi yang saya mau ajarkan itu bukan isi peraturan.

Kan ada pepatah mengatakan “If you give man a fish, you give him food for a day, if you give man how to fish, you give him food for lifetime”. Yang terakhir itu yang mau saya aplikasikan ke ilmu hukum. Kalau saya kasih fish itu berarti saya hanya mengajarkan peraturan saja yang saat mahasiswa lulus mungkin sudah tidak ada lagi peraturannya.

Soal metode mengajar seperti ini, dari mana dapat idenya? Apakah ada yang menginspirasi anda?

Inspirasi sepertinya tidak ada. Tetapi, kalau ditanya darimana dapatnya mungkin dari dosen promotor saya sendiri di Jerman yang mengajar tidak semata-mata mengenai peraturan. Beliau adalah salah satu yang dianggap paling pintar di Jerman, dan dia salah satu yang termuda saat itu. Namanya, Prof. Karsten Schmidt. Kalau dari Indonesia, Prof. Soerjono Soekanto, menurut saya, cara mengajarnya juga agak lain. Caranya, saya suka.

Sebenarnya banyak unsur untuk menjadi kuliah itu menarik. Pertama, ilmunya itu sendiri. Kedua, cara penyajian. Lalu, tidak mau terlalu membebankan mahasiswa. Jangan sampai cara mengajar sedemikian rupa sehingga mahasiswa ketiduran. Saya memperhatikan benar, bahwa orang normal itu atau orang paling cerdas pun untuk konsentrasi lebih dari 10 menit. Jadi, diantaranya harus ada intermezzo-nya supaya untuk yang berikutnya bisa konsentrasi lagi.

Metode mengajar dengan cara memberikan insentif ini mulai diterapkan kapan?

Mungkin sekitar tahun 2000-an cara mengajar saya berubah, kalau insentif lebih belakangan lagi. Tetapi kalau bicara soal kelas saya penuh, sebenarnya sudah terjadi sebelum model insentif diterapkan. Jadi, sejak kita membicarakan hukum bukan sekadar peraturan-peraturan, karena dulu saya juga seperti itu (mengajar hanya soal peraturan, red.), termasuk yang konvensional.

Sebagai dosen, bagaimana penilaian anda terhadap kualitas pendidikan tinggi hukum di Indonesia?

Ilmu hukum itu sebenarnya gampang. Artinya, dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah. Itu-itu saja. Ilmu hukum itu adalah ilmu tentang logika dan cara berpikir. Dan itu dibarengi dengan beberapa skill, bukan ilmu. Yang dari dulu sampai sekarang juga sama. Seperti ahli matematika, kita pakai otak kiri. Tidak menggunakan otak kanan, yang kreatif. Mungkin itu yang membuat ilmu hukum itu tidak menarik.

Saya juga sering bercanda “setuju nggak kalau kita nggak usah lulus SMA, kita dari SMP kelas 2-3 langsung fakultas hukum pun bisa”. Tidak ada satu hal penting pun di SMA yang kita perlukan untuk belajar hukum. Karena hukum sejak 6000 tahun yang lalu there’s nothing new. Tidak ada inovasi di dalam ilmu hukum, tetapi dalam cara mempraktikkannya. Makanya, tidak ada penghargaan Nobel untuk hukum.

Yang penting itu skill, kalau skill itu tidak ada bakal sulit. Kalau dia hafal peraturan tetapi begitu lulus peraturannya sudah diganti oleh DPR. Bagaimana mau bersaing di tingkat global, atau regional? Idealnya, sebanyak mungkin skill diberikan di fakultas. Nanti, sebagian lagi penyempurnaan di dunia praktik. Kalau bicara kurikulum ya standar-standar saja, porsi keterampilannya yang kurang.

Skill di dunia hukum kan di seluruh dunia sudah baku. Pertama, kita harus bisa memecahkan masalah. Kalau tidak ada masalah, mungkin tidak perlu pengacara. Kedua, kita harus bisa negosiasi. Anehnya, mata kuliah negosiasi justru ada di fakultas psikologi. Ketiga, kita harus bisa counselling. Klien itu datang pada dasarnya kepentingannya cuma satu yaitu “dengerin cerita saya”. Setelah itu, dia baru bertanya “apa yang harus saya lakukan?” klien tidak akan bertanya “pasal berapa”, tetapi “apa yang harus saya lakukan?”

Integritas sepertinya menjadi masalah besar di dunia hukum, sejauh mana peran kampus dalam membentuk integritas lulusannya?

Biasanya, hal pertama yang saya bahas di kuliah itu soal integrity. Saya selalu kasih contoh, misalnya anda bekerja di lawfirm, lalu di hari pertama langsung mendapat tugas mengambil putusan. Sebenarnya ini pekerjaan mudah, tetapi ketika mau ambil anda harus bayar Rp10 ribu. Pertanyaannya, “apa yang anda akan lakukan?” Pulang tanpa hasil atau bayar untuk dapat putusan itu?

Kita harus hati-hati sama yang Rp10 ribu itu. Jadi, kuncinya saat pertama kali itu. Begitu melakukan, selanjutnya hanya menjadi rutinitas. Saya berpikir kalau pengacara melakukan korupsi, maka suatu saat nanti dia juga bisa di-bribe. Prinsipnya kita harus tough (tangguh) tetapi tidak boleh rough (kasar). Saya pikir, kampus masih bisa mengajarkan integritas. Setidaknya di kampus, masih bisa damage control (mengendalikan kerusakan).