Senin, 14 Juli 2014

Sebelum Lapor Polisi Konsultasi dahulu pada Pengacara

Ada baiknya jika korban khususnya korban tindak pidana kejahatan khusus seperti masalah tanah, penipuan,  surat palsu, penggelapan dan sebagainya yang bersifat khusus (selain pencurian, penggelapan, pembunuhan, penganiayaan) sebelum melaporkan hal tersebut kepada Polisi Konsultasi dahulu pada Pengacara. Usahakan cari pengacara yang punya rekam jejak bagus dan referensi tersebut dapat diperoleh dari saudara, keluarga, dan teman teman.

Minggu, 06 Juli 2014

Sudahkah Anda Bersyukur?

Sudahkah Anda Bersyukur?

Jumat, 27 Juni 2014 | 09:01 WIB

Setiap harinya, Manusia mengalami dinamika kehidupan. Hidup tak selamanya indah dan menyenangkan. Ketidakpuasaan pada sesuatu menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Pernahkah Anda merasa hidup Anda berantakan karena sesuatu yang diharapkan tidak dapat terwujud? Misalnya saja, gaji dan karir yang tidak mengalami peningkatan, tetangga memiliki mobil baru yang telah lama Anda mau, dan kritikan atasan terhadap kinerja Anda. Lalu apakah Anda membandingkan hidup Anda dengan hidup orang lain, karena Anda merasa hidup mereka lebih baik dari Anda? Jika ya, bahaya yang dapat terjadi adalah Anda dapat terperangkap dalam perasaan tidak bahagia. Rasa iri dapat menyelimuti Anda pada kehidupan orang lain. Akhirnya, semua itu dapat membuat Anda menjadi mudah sedih, kecewa, bahkan marah. 
Karena itu, Anda harus memiliki kebesaran hati untuk dapat menerima segala kondisi yang ada. Sebenarnya, kebesaran hati bisa tercapai sendirinya, caranya dengan menerima segala keterbatasan diri dan bersyukur terhadap segala hal yang ada di sekitar Anda. Ingat, segala sesuatu yang Anda inginkan belum tentu merupakan terbaik buat Anda.
Bersyukurlah setiap hari terhadap apa yang telah berhasil Anda peroleh dari orang lain, maupun atas kerja keras diri sendiri. Mampu bersyukur dalam keadaan apa pun merupakan wujud dari kebesaran hati dan kekayaan jiwa.
Dengan bersyukur, Anda dapat menikmati hidup tanpa rasa iri yang berlebih terhadap kehidupan orang lain. Anda akan mecintai diri Anda sendiri, menerima segala kekurangan dan kelebihan pada diri Anda. Selain itu, Anda pun lebih terbuka dalam menerima segala pujian serta kritikan dari orang lain. Bersyukur dapat membuat hati lapang dan memberi kebahagiaan.
Bersyukur Setiap hari, Cermin Kebesaran Hati
Setiap tahunnya, sebagai bentuk konsistensi terhadap masyarakat Indonesia, PT Djarum menjalankan campaign ramadhan dan lebaran “Hikmah Puasa”.
Dengan mengusung tema Kebesaran Hati pada bulan Ramadhan 2014 ini, Hikmah Puasa ingin mengajak Anda bersyukur setiap hari atas apa yang telah Anda miliki. Rasa syukur tersebut dapat diungkapkan dalam bentuk foto dan tulisan, yang dibagikan pada sosial media. Sekecil apa pun itu, rasa syukur yang tulus bisa membawa berkah pada kehidupan Anda.
-
Hikmah puasa ingin menyebarkan semangat bersyukur kepada sebanyak mungkin orang, sehingga bersyukur dapat menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian kita, dan berlanjut seterusnya bahkan saat bulan Ramadhan telah berakhir.
Yuk, tunjukkan rasa syukur Anda di bulan Ramadhan ini, kunjungiwww.hikmahpuasa.com  untuk dapat memberikan inspirasi kepada orang lain dalam mensyukuri kehidupannya. (adv)

Senin, 30 Juni 2014

Cara untuk mengajukan konsultasi hukum ke hukumonline.com

Jika anda memiliki masalah hukum anda dapat menanyakan masalah hukum tersebut ke website hukumonline.com dengan gratis tanpa dipungut bayaran, dan harap baca terlebih dahulu disclaimer hukumonline.com. Berikut ini cara untuk mengajukan konsultasi permasalahan hukum ke hukumonline.com :

1.  Ketik http://www.hukumonline.com/ pada web browser lalu tekan enter
2.  Klik tombol masuk di Website hukumonline
3.  Klik Daftar di Website hukumonline
4.  Kemudian isi data pribadi di Website hukumonline
5.  Lalu Klik Daftar, Setelah itu klik awal lalu login dengan id dan password yang sudah didaftarkan

Fungsi konsultan Hukum

Fungsi konsultan Hukum


Sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) peranan dan fungsi seorang Advokat/Konsultan Hukum dalam suatu kegiatan bisnis yakni :
1.   SEBAGAI LEGAL ADVISOR ATAU CONSULTANT
Di dalam suatu kegiatan bisnis fungsi sebagai advisor atau Legal Consultant sangat diperlukan guna memberikan pendapat dan pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat berikut  jalan  keluar yang diperlukan dalam pemecahan suatu permasalahan yang dihadapi oleh pelaku bisnis, selain itu juga diperlukan masukan-masukan berharga untuk para pelaku bisnis tersebut atau suatu perusahaan untuk  menganalisa suatu permasalahan, membuat (drafting) suatu perjanjian dan memberikan ulasan  dari  peraturan perundang-undangan dan atau peraturan pemerintah lainnya yang dirasakan dapat berpengaruh langsung terhadap kegiatan bisnis berikut saran dan pendapatnya untuk mendapatkan solusi yang terbaik dari permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dan atau suatu perusahaan.

Agar Tidak Salah Memilih Advokat

Agar Tidak Salah Memilih Advokat

DIANA KUSUMASARI, S.H., M.H.
Mencari advokat untuk menyelesaikan perkara yang sedang kita hadapi atau memberikan jasa hukum lainnya memang memerlukan suatu proses. Kita sering mendengar klien-klien yang mengeluh (complain) mengenai advokat yang menangani perkara mereka. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kesalahan klien itu sendiri karena kurang cermat saat memilih advokat.

Di bawah ini kami sajikan beberapa hal yang perlu Anda perhatikan agar tidak salah memilih advokat. Berikut 10 kesalahan yang sering dilakukan orang-orang waktu memilih advokat yang kami sarikan dari situsAllbusiness.com :

1.     Tidak menelusuri bidang kekhususan/keahlian advokat.
Beberapa advokat dapat bekerja dengan baik di luar dari keahlian mereka, akan tetapi banyak yang tidak mengetahui dengan baik nuansa pada bidang hukum yang lain. Oleh karena itu, jika Anda membutuhkan advokat di bidang kontrak/perjanjian, jangan menggunakan jasa advokat perceraian.

2.     Tidak meninjau tarif advokat lebih awal.
Jangan mengeluh apabila Anda dikenakan tarif yang sangat besar jika Anda lalai untuk meninjau tarif/biaya jasa advokat ini sebelum menyetujui untuk menggunakan jasa advokat tersebut.

3.     Memilih advokat karena dia suportif/mendukung/bersimpati.
Ada perbedaan antara advokat yang bersimpati terhadap situasi Anda dengan advokat yang dapat memenangkan kasus Anda atau menangani perkara bisnis Anda. Jangan lebih melihat pada dukungan/simpati yang diberikan, tapi perhatikanlah keahlian advokat tersebut. Advokat yang benar seharusnya memiliki keduanya.

Bidang Non Litigasi (proses diluar Pengadilan)

Bidang Non Litigasi (proses diluar Pengadilan)

Adalah setiap bantuan dan nasehat hukum dalam rangka mengantisipasi dan mengurangi adanya sengketa, pertentangan dan perbedaan, serta mengantisipasi adanya masalah-masalah hukum yang timbul berkenaan dengan kegiatan bisnis sebagaimana ditentukan dibawah ini :
a.       Mengurus dan menangani setiap perijinan dan lisensi didaerah dan dipusat;
b.      Menangani dan mengurus pembelian dan pembebasan hak atas tanah termasuk pembebanannya sebagai jaminan dan pelepasan daripadanya;
c.       Melakukan penagihan dan menegosiasikan setiap kredit dan piutang-piutang dari perusahaan;
d.      Memberi  bantuan untuk menyelesaikan perselisihan, sengketa, perbedaan dan pertentangan atas ketenagakerjaan diperusahaan.


A.      KOMITMEN DAN KEPERCAYAAN
Selama dalam pengurusan dan penanganan setiap perkara klien baik didepan pengadilan maupun diluar pengadilan, kami wajib dan mengikatkan diri secara hukum untuk tidak memberikan bantuan dan konsultasi hukum sehubungan dengan perkara yang bertentangan kepentingan dengan perkara klien.
B.      KONSULTASI HUKUM
Memberikan konsultasi hukum kepada klien tentang kasus – kasus hukum yang terjadi di masyarakat.
C.      PEMBELAAN HUKUM / ADVOKASI
Menjadi Kuasa Hukum dari klien untuk meperjuangkan hak-hak klien.
D.      SURAT – MENYURAT HUKUM
Membantu klien dalam membuat dan menganalisa surat-surat yang berhubungan dengan aktifitas perusahaan.
E.       PENDAPAT & NASIHAT HUKUM
Membarikan Pendapat dan Nasihat Hukum terhadap kasus yang terjadi.
F.       PENYELESAIAN PERMASALAHAN
Membantu menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi secara nonlitigasi.
G.     PEMBUATAN DRAFT & ANALISA KONTRAK
Membantu klient dalam membuat dan menganalisa kontrak dan/atau dokumen hukum perusahaan lainnya.

H.      PENDAMPINGAN HUKUM
Mendampingi klien dalam berbagai aktifitas bisnisnya.
I.        PEMERIKSAAN HUKUM
Melakukan pemeriksaan hukum terhadap dokumen-dokumen perusahaan untuk kepentingan klien.
J.        PENGURUSAN PERIZINAN USAHA
Mengurus perizinan usaha perusahaan-perusahaan, seperti : SIUP – TDP – HO – NPWP – IMB – dan lain-lain.


Sabtu, 10 Mei 2014

4 Manfaat dalam penggunaan Internet :

4 Manfaat dalam penggunaan Internet :

a.Bidang akademis
Dengan adanya Internet, banyak informasi yang dimuat di situs resmi pemerintah, situs berita, blog, jurnal, majalah, e-book yang diupload melalui Internet tersedia dalam jumlah yang banyak.  Cukup dengan memanfaatkan google, materi pelajaran yang ditemukan di internet lebih update dengan perkembangan jaman. Penggunaan Internet juga memungkinkan diadakannya e-learning (belajar jarak jauh/ belajar secara otodidak).

b.Bidang ekonomi dan bisnis
Kegiatan bisnis jual beli dan sebagainya dapat dilakukan secara lintas wilayah lokal maupun mancanegara transaksi bisa dilakukan dalam jarak jauh menggunakan transfer bank atau e-banking.

c.Bidang keagamaan
Dalam bidang keagamaan, Internet dapat dipergunakan sebagai sarana mencari ilmu keagamaan, seperti http://reformed21.tv dan situs-situs keagamaan lainnya dan memberikan manfaat yang besar untuk umat.

d.Bidang komunikasi
Kehadiran teknologi chat messenger seperti yahoo, skype, line, bbm dan sebagainya yaitu pengguna smartphone tidak perlu mengeluarkan biaya telepeon interlokal yang mahal untuk menghubungi orang, teman teman, saudara di luar negeri.

Semoga informasi ini bermanfaat, terima kasih. :)

Senin, 24 Februari 2014

Mimpi Sarjana Hukum Jadi Pengacara

Mimpi Sarjana Hukum Jadi Pengacara
Sayangnya, kebanyakan alumnus Fakultas Hukum ini belum siap pakai. Mereka banyak menghafal, tapi kurang praktik.

Sejak sekitar 2000, terjadi peningkatan jumlah lulusan sekolah menengah umum (SMU) yang mendaftar ke Fakultas Hukum (FH). Penampilan berbagai pengacara yang bak selebriti di media cetak maupun elektronik tampaknya menjadi pemicu para mahasiswa itu.
Apalagi, para pengacara itu diperlihatkan bergaya hidup glamour dengan kendaran model terbaru dan penghasilan yang menggiurkan. Di Universitas Indonesia (UI) saja contohnya, sejak sekitar tiga tahun belakangan, Fakultas Hukum menduduki peringkat cukup tinggi dalam pilihan peserta Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Entah ada korelasinya atau tidak, kantor Adnan Buyung Nasution and Partner (ABNP), sejak beberapa tahun belakangan ini menerima 50 sampai 100 surat lamaran pekerjaan selama satu minggu. Bayangkan, artinya sekitar 200 sampai 400 surat lamaran per bulan. Tentu saja, jumlah lamaran di kantor ABNP ini tidak bisa dijadikan ukuran bagi seluruh law firm. Maklum, nama besar Abang -- panggilan Adnan Buyung -- tentu menjadi magnet tersendiri bagi lulusan FH di berbagai kota di Indonesia.
Menurut Pia R Akbar Nasution, managing partner di ABNP, lonjakan para pelamar ini dimulai setelah krisis moneter (krismon) sekitar lima tahun yang lalu. Selain karena krismon, menurut Pia, banyaknya pelamar mungkin dipengaruhi juga oleh image mengenai pengacara.
Di mana-mana, lawyer digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai penghasilan yang tinggi, mobil bagus, rumah mewah, dan penampilan yang gaya. Pia menduga, alasan ini pula yang menyebabkan lulusan SMA berbondong-bondong masuk FH.
Walau FH kini menjadi salah satu primadona -- bersama fakultas-fakultas lain yang telah lama dianggap "berkelas", seperti fakultas bidang eksakta atau ekonomi -- ternyata pendidikan di FH masih belum terlalu berubah. Paling tidak, ini yang tercermin jika kita mendengar keluhan dari pengguna tenaga kerja lulusan FH.
Keluhan yang mereka kemukakan adalah keluhan klise yang sudah kita dengar sejak dahulu. Ternyata, lulusan FH tidak siap pakai dalam dunia kerja. Keluhan ini dikemukakan oleh beberapa law firm, perusahaan, kejaksaan, dan kehakiman yang diwawancarai oleh hukumonline.
Dari law firm yang diwawancara, keluhan mereka nyaris seragam. Pertama, lulusan FH tidak siap pakai karena hanya menguasai teori. Ketika mereka dihadapkan pada suatu kasus, mereka tidak tahu bagaimana mengaplikasikan teori yang telah mereka dapat untuk memecahkan sebuah kasus. Para lulusan FH itu juga lemah dalam melakukan analisa. Apalagi, analisa atas suatu kasus yang terdiri dari beberapa aspek hukum yang berbeda-beda.
Menurut Dhira Juzar dari Wiriadinata Widyawan, salah satu law firm papan atas di Jakarta, sepanjang pengalamannya melakukan rekruitmen, lulusan FH dapat lancar bercerita mengenai isi peraturan perundangan dan teori-teori hukum. "Tapi kalau kita sudah buat dalam kasus, mereka bingung bagaimana harus menerapkan peraturannya," ujar Dhira. Hal yang sama dikatakan oleh Pia R. Akbar dan Indria dari kantor hukum Frans Hendra Winata.
Dira, Pia, maupun Indira meyakini hal itu disebabkan oleh pola pengajaran di FH yang teoritis, kurang ke arah praktik, dan tidak merangsang mahasiswa untuk melakukan analisa, melainkan hanya menghapal. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Vini Siregar, bagian legal British Petroleum, perusahaan minyak internasional.
Praktisi hukum ini mengaku pola pengajaran seperti itu mereka alami saat duduk di bangku kuliah. Dan jika dilihat  dari kualitas kebanyakan lulusan FH saat ini, tampaknya pola pengajaran di FH masih sama dan belum banyak berubah. Mengenai  telah diajarkannya mata kuliah praktik di beberapa universitas, menurut Dhira, hal itu berpengaruh, tetapi tidak signifikan.
Ketika baru masuk, seorang lulusan FH harus dibimbing mulai dari nol. Hal sama dikatakan oleh Pia maupun Indria. Karena itu, biasanya lulusan FH harus mengalami masa magang atau masa penyesuaian lainnya yang lamanya bervariasi antara tiga bulan, enam bulan, sampai satu tahun.
Akibat pola pengajaran yang hanya menghapal, penguasaan dasar-dasar ilmu hukum lulusan FH cenderung kurang. Misalnya, penguasaan terhadap seluk beluk hukum perdata atau perikatan yang sangat penting bagi seorang konsultan hukum. Juga kemampuan menulis secara baik, jelas dan sistematis, yang disebabkan karena mahasiswa tidak dibiasakan menulis di bangku kuliah.
Dari segi litigasi, Frans Hendra Winata -- pengacara yang sering berparaktek di pengadilan -- menyatakan bahwa FH hanya mengajarkan teori hukum, sedangkan hukum acara kurang intensif diajarkan. Apalagi, di FH tidak ada kuliah kerja atau praktik ke pengadilan.
Karena tidak siapnya lulusan FH untuk berpraktik itu pula, UU Advokat mewajibkan syarat magang selama dua tahun untuk sarjana hukum agar bisa menjadi calon advokat. Selain itu, juga ketentuan mengenai pendidikan khusus bagi calon advokat. Semrawutnya kondisi peradilan saat ini, kata Frans, dikarenakan tidak diajarkannya kode etik di bangku kuliah.
Kualitas Rendah
Sementara, Muhammad Yamin, Kepala Pusat Pendidikan Latihan (Pusdiklat) Kejaksaan Agung menyampaikan keluhan bahwa selama ini lulusan FH yang masuk Pusdiklat Kejaksaan Agung, berkualitas rendah. Pasalnya, yang masuk Pusdiklat kebanyakan adalah mereka yang berada dibawah standar. "Jadi bagaimanapun ia ditempa selama enam bulan di Pusdiklat tidak akan berhasil, karena memang standarnya rendah," ujar Yamin.
Rendahnya kualitas itu adalah akibat rekruitmen yang selama ini dilakukan oleh biro kepegawaian. Mengutip istilah Yamin, kadang-kadang yang lolos seleksi kejaksaan adalah sarjana hukum yang berasal dari Perguruan Tinggi yang namanya saja tidak pernah kedengaran. Karena itu, Kejaksaan merencanakan pada tahun depan rekruitmen akan dilakukan oleh lembaga independen, bukan lagi oleh Kejaksaan.
Namun, Wakil II Dekan FHUI, Kurnia Toha, punya pendapat lain. Menurut Kurnia, dalam kurikulum mahasiswa FHUI saat ini terdapat banyak mata kuliah Program Latihan dan Kemahiran Hukum (PLKH), seperti kontrak bisnis, praktik hukum acara perdata, pidana, PTUN, dan sebagainya.
Dalam mata kuliah ini tidak lagi diberikan teori, melainkan  langsung praktik membuat gugatan, replik, duplik, bagaimana bernegosiasi, dan sebagainya. "Mata kuliah ini muatan praktiknya sangat besar. Kalau kita melihat kurikulum yang ada, seharusnya mahasiswa lulusan kita harus lebih mampu dan dekat pada dunia praktik," papar Kurnia.
Dulu, menurut Kurnia, tidak pernah diajarkan bagaimana memberi pendapat hukum, melakukan due diligence. Namun, saat ini ilmu itu sudah diberikan oleh lawyer-lawyer terkenal. Kurnia menduga, mahasiswa yang mendaftar ke beberapa lawfirm dan perusahaan itu bukan mereka yang mengambil matakuliah PLKH. Pasalnya, tidak semua PLKH merupakan mata kuliah wajib dan sebagian merupakan mata kuliah pilihan. Walau pada jaman dahulu kuliah belum diajarkan cara membuat kontrak, ketika lulus mereka tidak mengalami kesulitan karena  mempunyai ilmu dasar yang kuat.
Menurut Kurnia, mahasiswa tidak bisa diharapkan menjadi pintar hanya dengan mendengar dosen memberikan kuliah. Alasannya, di mana saja orang tidak akan mendapat ilmu kalau ia tidak belajar di rumah". Justru kesulitannya, mahasiswa di Indonesia belum mempunyai budaya membaca. "Kadang, walau telah diberi tugas membaca, mahasiswa tetap enggan untuk membaca bahan kuliah," ujar Kurnia.
Di samping itu, fakultas juga telah mengadakan beberapa perbaikan. Seperti, memberi pelatihan bagi dosen mengenai cara mengajar yang lebih menarik. Juga setiap akhir semester, untuk setiap matakuliah, mahasiswa diminta mengisi kuesioner mengenai evaluasi terhadap dosen mata kuliah itu. Dari situ, pihak fakultas mendapat input mengenai kinerja dosen tersebut.
FHUI sedang berencana membangun perpustakaan yang direncanakan sebagai perpustakaan terlengkap di Indonesia. "Karena kami berprinsip, orang pintar itu modalnya harus buku. Buku dulu, praktik tambahan. Kalau bukunya kurang, bacanya kurang, ya susah," cetus Kurnia.
Menurut Kurnia, kelemahan ada di dua pihak. Dari pihak dosen, misalnya mengajarnya kurang menarik, atau jarang masuk. Dari pihak mahasiswa, malas membaca. Kurnia menuding Sistem Satuan Kredit Semester (SKS) yang saat ini berlaku sebagai salah penyebab juga.
Dengan sistem SKS, mahasiswa mengejar waktu, ingin cepat lulus, sehingga belajar hanya agar cepat selesai kuliah. Di satu sisi, ada keuntungan bahwa mahasiswa cepat selesai kuliah. Namun di sisi lain, persiapan mereka agak kurang. Sistem SKS  ini baru bisa jalan kalau ada ikutannya, yaitu harus berani membaca sendiri, tugas-tugas harus diselesaikan. "Ini yang kurang. Jangankan yang lain-lain, yang wajib saja susah," tutur Kurnia.
Bahasa Inggris
Hal lain yang juga seragam dikeluhkan oleh law firm dan perusahaan adalah kemampuan bahasa Inggris. Dhira bercerita tentang pengalamannya ketika mewawancarai seorang pelamar.
Setelah bertanya dalam bahasa Indonesia, Dhira berkata, "OK, mulai sekarang saya akan berbicara dalam bahasa Inggris, tolong dijawab dengan bahasa Inggris pula." Tak diduga, ternyata si pelamar langsung pamit pulang. "Sudah deh Bu, saya tidak akan bisa menjelaskan apa-apa pada Ibu dalam bahasa Inggris," ujar Dira menirukan. "Bahkan, ia tidak mau mencoba," cetusnya heran.
Meskipun mahasiswa masa kini relatif lebih lancar berbahasa Inggris, agaknya banyak yang kesulitan menyampaikan terminologi hukum secara benar. "Walaupun anak sekarang lebih cas-cis-cus, tapi kalau di pekerjaan kan bahasa Inggrisnya formil, bukan bahasa Inggris gaul," kata Phia.
Dhira pun menyatakan keheranannya karena banyak lulusan FH tidak familiar dengan terminologi hukum dalam bahasa Inggris, termasuk untuk terminologi yang sangat sederhana, seperti Anggaran Dasar.  Bagi Vini, karena perusahannya adalah perusahaan asing, kemampuan bahasa Inggris menjadi lebih penting lagi. Dengan bahasa Inggris yang kurang baik, sulit diharapkan mereka dapat bekerja sama dengan para expatriat di kantor itu.  
Mengenai kemampuan bahasa Inggris, Kurnia menyatakan bahwa saat ini kemampuan bahasa Inggris mahasiswa sudah lumayan bagus. Banyak mahasiswa yang memiliki nilai TOEFL di atas 500. Namun, fakultas merencanakan agar lulusan FH mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang bagus. Untuk itu, diadakan program kursus bahasa Inggris bagi mahasiswa yang berminat. Jika mahasiswa itu tidak punya uang, kursus diberikan secara gratis. Kalaupun membayar, hanya Rp50 ribu per bulan.
Sayangnya, ternyata peminat kursus bahasa Inggris itu nyaris tidak ada. Fakultas keluar uang sampai Rp10 juta untuk membayar dosennya, tapi pesertanya tidak ada, hanya lima sampai sepuluh orang. "Saya akhirnya bilang kita keluar uang mau memajukan mahasiswa, kok dia nggak minat," kata Kurnia. Ia menduga, para mahasiswa itu sudah kursus bahasa Inggris di luar kampus atau sebagian dari mereka lebih tertarik untuk aktif dalam kegiatan mahasiswa daripada mengikuti kursus.
Menurut Abdul Bari Azed, Dekan FHUI, untuk mempertemukan dunia dunia praktik dan pasar dunia kerja bergantung kepada mahasiswa itu sendiri. "Ia harus tetap menggali ilmunya dengan membaca dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sudah kami siapkan sebagai program untuk meningkatkan lulusan kita supaya siap pakai," ujar Bari.
Bari bercerita bahwa FHUI mempunyai Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (PPLIH) yang mengadakan kursus-kursus untuk menambah kesiapan lulusan FH, seperti legal drafting, legal english, dan lain-lain. Tentu saja, kursus ini tidak gratis. Namun, fakultas pernah pula bekerjasama dengan sebuah law firm untuk mengadakan pelatihan selama tiga minggu bagi mahasiswa.
Kurnia menyatakan sistem pendidikan di Indonesia juga berbeda bila dibandingkan dengan negara lain. Di Indonesia, FH merupakan pendidikan undergraduate. Sementara di negara lain, mahasiswa law school sudah menempuh pendidikan undergraduate. "Lulusan law school di sana lebih pintar bekerja karena dia memang sudah bekerja sebelum masuk law school, " cetusnya.
Padahal di Indonesia, anak ekstensi yang sudah bekerja, tentu lebih siap kerja. Sementara yang reguler, lulus SMA masuk lalu dididik. "Kalau diharapkan begitu keluar langsung bisa bekerja, tentu butuh waktu sedikit untuk penyesuaian dan penularan ilmu dari seniornya, baru bisa bekerja, " kata Kurnia.
Indeks Prestasi
Di FHUI, program kekhususan hukum bisnis menjadi primadona. Setelah itu, menyusul program kekhususan praktik hukum yang menjadi advokat, atau hukum internasional.
Menurut Bari, sangat jarang mahasiswa yang mau menjadi hakim atau jaksa. Karena itu, pihak kejaksaan sampai meminta nama-nama lulusan dari FHUI untuk mengikuti tes menjadi hakim dan jaksa. Sejak tahun lalu, sudah ada beberapa lulusan FHUI yang menjadi calon hakim. Termasuk, seorang lulusan terbaik FHUI yang memilih jadi hakim.
Dengan berbagai keluhan terhadap mutu lulusan FH, bagaimana law firm dan perusahaan menseleksi calon karyawannya? Dhira Juzar menyatakan bahwa dalam proses rekruitmen, kantornya biasanya melihat Indeks Prestasi (IP)  terlebih dahulu. Selama ini, di antara lulusan FH, Wiriadinata Widayawan memang  dikenal sebagai law firm yang merekrut mahasiswa ber IP tinggi.
Namun menurut Dhira, IP tinggi itu tetap masih dipertimbangkan lagi. Pasalnya, beberapa universitas cenderung mengobral memberikan IP tinggi. Sementara universitas lain lebih pelit dalam memberikan IP yang tinggi. "Seperti  dari Universitas Padjajaran (Unpad), semua yang mendaftar ke sini, semua IP-nya di atas tiga. Sementara UI, untuk mendapat tiga harus agak luar biasa," ujarnya.
Dhira berterus terang bahwa mereka mendahulukan lulusan Perguruan Tinggi Negeri ketimbang Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Lulusan PTS akan dipertimbangkan selama prestasi akademiknya sangat di atas rata-rata atau pengalaman kerjanya luar biasa. Dhira juga menyatakan bahwa sebagian besar mereka yang diterima di kantornya adalah mereka yang berasal dari Jakarta.  Namun, itu bukan karena anak Jakarta lebih pintar dibanding mereka yang dari daerah.
Dari segi intelektualitas, banyak anak-anak daerah yang sangat pintar. Hanya saja biasanya yang di Jakarta lebih unggul dalam bahasa Inggris dan mempunyai percaya diri yang besar. Apalagi, mereka mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengikuti seminar, workshop, atau pendidikan lainnya.
Sementara Pia mengaku, tidak terlalu percaya dengan IP. Karena dari beberapa kali pengalamannya mewawancarai anak yang ber-IP tinggi, begitu diajak berbicara, mereka hanya melongo. "Saya tidak tahu kenapa, mungkin mereka hanya menghapal. Tapi ketika kita tanya hal-hal yang aktual, misalnya kasus bank Lippo,  mereka tidak mengerti apa-apa. Bahkan, apa kasusnya saja tidak mengerti," ujar Pia. Karena itu, Pia melihat juga apa saja kegiatan mahasiswa itu semasa kuliah. Bahasa Inggris tentu saja merupakan hal yang menjadi perhatian pula.
Di ABNP, seleksi yang pertama dilakukan adalah berdasarkan CV pelamar. Setelah itu, dilakukan tes tertulis. Jika lulus, mereka akan diinterview oleh senior lawyer. Selanjutnya, interview lagi dengan partner. Tahap terakhir adalah interview dengan founder, yaitu si Abang. Keputusan final apakah seseorang diterima atau tidak, ada di tangan Abang.
Pia menyatakan, workshop yang diikuti pelamar, biasanya menjadi nilai plus. Karena, menurut Pia, mereka yang mengikuti workshop paling tidak  biasanya lebih berani mengemukakan pendapat dibanding lainnya. Bahkan, ABNP pernah bekerjasama membuat workshop dengan senat mahasiswa salah satu perguruan tinggi. Peserta workshop yang menonjol diberi tawaran untuk bekerja di law firm itu. Pia menyatakan, mencari kandidat potensial melalui workshop merupakan cara yang efektif, karena law firm melihat sendiri kualitas calon.
Sementara yang dilakukan oleh BP adalah langsung membuka pendaftaran di beberapa  universitas. Ada tiga universitas yang biasanya dituju, yaitu UI, Unpad dan Universitas Gajah Mada (UGM). Pilihan ini lebih karena mereka yang melakukan rekruitmen merupakan lulusan dari universitas itu. Dari tiap universitas, ada sekitar 100 orang yang mendaftar. Biasanya, ada lima yang dianggap memenuhi kualifikasi untuk nantinya dipilih satu.
Tampaknya, pasar sudah tahu ke mana mereka harus mencari bibit potensial. Dengan kemampuan pas-pasan, jangan harap alumnus FH bisa mendapatkan tempat yang bagus. Kalau masih juga berharap kerja di law firm bergaji dolar dengan fasilitas yang OK, itu cuma 'mimpi kali yee'.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8367/mimpi-sarjana-hukum-jadi-pengacara

Dosen Fakultas Hukum Malas, Mahasiswa Merana

Dosen Fakultas Hukum Malas, Mahasiswa Merana
Banyak mahasiswa FH yang merana dan tidak mendapatkan bekal ilmu yang cukup. Penyebabnya, dosen yang malas datang ke kampus dan fasilitas yang terbatas.

Raut wajah Budi -bukan nama sebenarnya- mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan 2000, terlihat panik sekaligus bersemangat ketika mengikuti pelatihan mengenai hukum kepailitan yang diadakan oleh sebuah lembaga penelitian di Jakarta. Dalam pelatihan itu, dijelaskan dasar-dasar dalam UU Kepailitan.
Kepanikan Budi bukan tanpa alasan. Usai pelatihan, Budi menyatakan ia telah lulus kuliah hukum kepailitan di kampusnya dan mendapatkan nilai B. Namun dalam pelatihan itu, ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa yang menjadi sebab sebuah perusahaan bisa dipailitkan. Ia merasa seperti baru memasuki dunia baru yang belum pernah dijamahnya.
Menurut Budi, selama ia mengambil mata kuliah tersebut, si dosen sangat sering tidak masuk. Celakanya ketika masuk, ia tidak mengajarkan materi perkuliahan, melainkan bicara 'ngalor-ngidul' ke sana kemari, tidak jelas ujung pangkalnya. Ujian dilakukan secara open book. Apa yang dilakukan oleh Budi hanya melihat pertanyaan, melihat daftar isi, dan kemudian menyalin isi buku ke kertas ujian.
Walau UU Kepailitan sudah berlaku sejak tahun 1998, ternyata pertanyaan pada saat ujian tengah semester dan akhir semester justru mengenai failissement, peraturan kepailitan pada zaman Hindia Belanda. Saat ujian akhir, hanya satu soal yang menanyakan mengenai UU Kepailitan. Pendapat Budi ini diamini oleh Dani, sesama mahasiswa FHUI angkatan 2000. "Kami nggak tahu, kami blank sama sekali tentang mata kuliah itu," cetus Budi.
Dari beberapa mahasiswa FHUI, FH Universitas Trisakti (Usakti) dan FH Unika Atmajaya yang diwawancarai oleh hukumonline, yang mereka sampaikan masih berupa keluhan klasik yang sudah dikeluhkan mahasiswa sejak dulu. Kemalasan dosen untuk mengajar misalnya, masih menduduki peringkat pertama dalam keluhan terhadap pendidikan di fakultas hukum.
Coba simak pengakuan Kapra, mahasiswa FH Usakti angkatan 2001. Kapra yang mengambil program kekhususan hukum bisnis tentu saja wajib mengambil mata kuliah hukum dagang. Tapi ternyata dari 14 kali pertemuan dalam mata kuliah itu, sang dosen hanya masuk tiga kali. "Itu pun ia tidak bisa dikatakan mengajar, melainkan hanya menceritakan pengalamannya dan bicara melantur," ungkap Kapra. Yang menarik, dosen Kapra itu ternyata adalah orang yang sama dengan dosen kepailitan Budi.
Untunglah tidak semua dosen separah bapak dosen Fulan, kita sebut saja begitu, tersebut. Walau banyak dosen yang sering tidak datang mengajar, frekuensinya tidak separah Fulan. Kapra menyatakan dari 14 kali pertemuan, biasanya dosen tidak masuk sekitar 5, 6, sampai 7 kali.
Sedangkan menurut Rudi, mahasiswa angkatan 2000 di FH Atmajaya, dahulu ketika ia berada di semester dua dan empat, frekuensi dosen tidak masuk bisa sampai 40 %. Saat ini, telah berkurang sampai 20 %. Namun, Rudy pernah mengikuti suatu mata kuliah, di mana dosen baru masuk satu minggu sebelum jadwal ujian tengah semester.  
Sebuah Cawan
Keluhan lain adalah cara mengajar dosen yang hanya membacakan materi dari buku (text book), sehingga sangat tidak menarik. Mahasiswa juga hanya diminta untuk mencatat dan menghafal apa yang disampaikan oleh dosen, kadang tanpa mereka mengerti inti serta maksud dan tujuan dari apa yang diajarkan itu. "Kami bagaikan sebuah cawan yang harus diiisi sampai penuh. Cawan yang mau dan dapat diisi paling penuh itulah mahasiswa yang paling baik," ujar Kapra bertamsil. "Tidak ada bedanya dengan SMA. Hanya ketika kuliah, kami dituntut lebih mandiri," tambahnya.
Komentar Dewi, senior Budi angkatan 1999, lebih sinis lagi, "Buat apa gua bayar, datang kuliah, duduk, temen-temen ngobrol. Sementara dosen hanya membaca hand out yang sudah jadi atau membaca yang di OHP. Mending ikut UT (Universitas terbuka) saja, kasih saja bahannya, gua belajar sendiri," cetusnya gemas.
Semua mahasiswa yang diwawancarai menyatakan hanya sedikit dosen yang mengajar dengan cara interaktif dan berdiskusi, sehingga merangsang mahasiswa untuk menggali lebih dalam ilmu tersebut. Hanya beberapa dosen yang memberikan soal kasus dan berupaya menerapkan apa yang diajarkan ke dalam praktik.
Menurut Dani, mahasiswa FHUI -- yang disetujui oleh rekan-rekannya -- biasanya dosen yang merupakan praktisi hukum cara mengajarnya lebih menarik, interaktif, dan memberi contoh-contoh yang up to date. Mereka pula yang memberi tugas dan soal ujian yang berbentuk kasus. Namun di sisi lain, dosen yang mempunyai pekerjaan di luar juga merupakan dosen yang jarang muncul di kampus untuk mengajar. Ini dikatakan oleh Budi, Dani, dan Rudy. Oh ya, semua mahasiswa dalam tulisan ini memilih untuk tidak ditulis nama aslinya dengan alasan takut dikenali oleh pihak kampusnya.
Dosen yang masih muda juga dianggap lebih menarik cara mengajarnya, banyak berdiskusi,  dan sering menyertakan contoh yang up to date dibanding dosen-dosen yang sudah tua. Namun, mereka menggarisbawahi juga bahwa tidak semua dosen muda lebih baik cara mengajarnya dan tidak semua dosen tua tidak menarik dalam mengajar.
Para mahasiswa itu juga mengeluh tidak menguasai pelajaran dasar yang diberikan pada tahun-tahun awal kuliah. Padahal, pelajaran dasar itu akan diperlukan untuk menguasai mata kuliah selanjutnya dan menjadi dasar dari ilmu hukum. Misalnya, mata kuliah hukum perdata atau perjanjian, yang menjadi dasar dari hukum bisnis dan lain-lain.
Dosen Mangkir
Menanggapi soal dosen yang mangkir mengajar atau cara mengajarnya yang tidak menarik, Dekan Fakultas Hukum UI, Abdul Bari Azed, menyatakan bahwa pihaknya telah menempuh upaya untuk mengatasi hal itu. Caranya, dengan memberikan kuesioner untuk setiap mata kuliah yang harus diisi oleh mahasiswa pada akhir semester.
Dalam kuesioner itu, mahasiswa mengisi secara bebas pendapatnya mengenai dosen dan mata kuliah bersangkutan. Hal ini sudah diterapkan selama tiga tahun belakangan. "Ada yang menyebutkan dosen itu kalau memberi kuliah membuat ngantuk, ada yang ngelantur, di luar konteks, dosennya  terlalu otoriter, macam-macam," kata Bari.
Kuesioner itu kemudian diberikan kepada masing-masing kepala bagian, seperti perdata, pidana dan lain-lain, untuk diketahui dan ditindaklanjuti. Tindak lanjutnya itu bisa berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat, dan berbagai sanksi lain. Namun, menurut Bari, kelas kosong tidak jamak terjadi karena setiap dosen memiliki asisten untuk menggantikannya mengajar dan juga setiap kelompok mata kuliah mempunyai koordinator dan penanggung jawab.
Kurnia Toha, Wakil II Dekan FH UI mempunyai pendapat lain. Menurut Kurnia, sebenarnya yang jarang datang itu adalah dosen senior yang top-top. "Tapi biasanya mahasiswa kalau yang topnya tidak datang, dianggap dosennya tidak datang. Padahal yang di bawah topnya ini sebenarnya datang terus, dan kuliah kelas selalu terisi," katanya. Sedang mengenai penguasaan ilmu dasar yang kurang, menurut Kurnia, mahasiswa tidak bisa diharapkan menjadi pintar hanya dengan mendengar dosen memberikan kuliah.
Mahasiswa Terlalu Banyak
Semua mahasiswa FH UI yang diwawancarai menuding jumlah murid yang terlalu banyak dalam satu kelas sebagai penyebab tidak efektifnya mata kuliah dasar. Satu kelas biasanya diisi oleh satu angkatan yang terdiri dari 200 sampai 250 orang. Mereka menyadari, dosen tidak bisa diharapkan mengajar dengan menarik apabila satu orang harus mengajar 250 orang. Belum lagi sound system yang buruk, sehingga mahasiswa yang duduk di belakang kadang tidak dapat menyimak.
Untuk mahasiswa FH UI yang mengambil program kekhususan hukum ekonomi, penderitaan masih lebih panjang lagi. Pasalnya, mayoritas mahasiswa memilih Program Kekhusussan (PK) tersebut. Karena itu, ketika mereka mengambil mata kuliah lanjutan, kelas tetap disi oleh jumlah murid yang banyak. Ini berbeda dengan program kekhususan lain yang peminatnya tidak sebanyak hukum ekonomi.
Untungnya, di FH Usakti maupun Atmajaya, pelajaran hukum dasar dibagi dalam beberapa kelas. Satu kelas hanya berisi 60 sampai 70 murid. Walau kelas hanya berisi 60 sampai 70 murid, menurut Kapra, tidak terjadi diskusi ataupun dialog antara dosen dan mahasiswa. Dosen hanya menerangkan dan kadang-kadang  berbicara dengan mahasiswa yang duduk di depan.
Rudy mengatakan untuk mata kuliah dasar, ia justru diajar oleh dosen yang kurang bagus mengajarnya. Ketika mengambil matakuliah yang merupakan program kekhususan, baru dosen-dosen yang mengajar relatif lebih bagus. Rudy juga menyatakan bahwa belakangan ini di Atmajaya terjadi perbaikan-perbaikan.
Beberapa dosen, yang menurut penilaian Rudy tidak bagus, sudah diganti. Misalnya, dosen-dosen berusia lanjut yang mengajarnya tidak jelas, diganti dengan dosen muda yang umumnya menarik cara mengajarnya. Penyebabnya, mahasiswa menyampaikan keluhan tentang beberapa dosen kepada lembaga kemahasiswaan. Lembaga mahasiswa itu meneruskan keluhan itu kepada pihak dekanat. Oleh dekanat, beberapa dosen diberi teguran dan ada pula yang diganti.
Soal  jumlah mahasiswa yang terlalu banyak dalam satu kelas, Bari mengatakan telah ada beberapa mata kuliah yang dibuat dengan kelas paralel. Namun, memang ada kendala mengenai ruangan kelas dan jumlah dosen. "Tapi terus kami usahakan untuk mengurangi jumlah mahasiswa dengan perbandingan jumlah dosen dalam satu kelas. Juga terus kami upayakan penambahan fasilitas ruangan," kata Bari.
Menurutnya, di FHUI terdapat 150 tenaga pengajar tetap dengan dan 100 pengajar tidak tetap, sedangkan mahasiswa dari segala program berjumlah sekitar 3.000 rang.
Sementara menurut Kurnia, jumlah tenaga pengajar FHUI sudah mencukupi. Pasalnya, jumlah dosen yang hampir 300 orang, belum ditambah dosen pasca sarjana. Dengan jumlah mahasiswa 3.000 orang, perbandingannya masih sangat ideal. Masalahnya, menurut Kurnia, ada beberapa dosen yang tidak mau mengadakan kelas paralel dengan alasan kalau kelas dibuat paralel, tingkat pengetahuan mahasiswa akan berbeda karena dosennya juga berbeda.
Kurnia mengaku, sebagai pimpinan juga tidak boleh memaksa dosen untuk memaralelkan kelasnya. "Lebih kami imbau mereka untuk silakan di paralel, soal tempat nanti kita lihat. Tapi itu sepenuhnya pada penangungjawab mata kuliah tersebut untuk melakukan paralel atau tidak," ujarnya. Meski menurut Kurnia, sudah banyak juga mata kuliah dasar yang sudah diberikan dalam kelas paralel.
Dengan berbagai keluhan dari mahasiswa itu, tidak heran mahasiswa FH banyak "menyerbu" workshop, pelatihan atau kursus, baik yang diseleggarakan oleh universitas, organisasi advokat, atau pihak-pihak lain. Dani menceritakan ketika diadakan suatu workshop di kampusnya, yang mendaftar membludak sampai 100 orang, padahal kursi yang tersedia hanya 30.
Dani membandingkan kursus mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang diikutinya dengan pelajaran yang sama di kampus. "Dibanding kuliah, jauh sekali. Di situ diberi pengertian, basic-nya, diskusi, membahas kasus. Yang di kelas tidak pernah ngomong, di situ ia terpaksa berdiskusi". Walaupun seperti yang diakui Dewi, tujuan mengikuti workshop bukan hanya untuk mendapatkan ilmu, melainkan juga kesempatan magang, networking, dan untuk menambah CV.
Di sisi lain, Amir menggugat workshop yang selama ini diselenggarakan oleh mahasiswa. Menurutnya, selama ini mahasiswa FH UI haus akan ilmu, tapi ternyata fakultas tidak bisa memfasilitasi itu. "Misalnya kegiatan seperti carrier days, itu seharusnya diselenggarakan oleh fakultas. Tetapi, kenapa malah mahasiswa yang  menyelenggarakan dan pihak kampus tidak mau memfasilitasi," katanya. Bahkan untuk menggunakan ruangan di fakultas untuk kegiatan mahasiswa, seperti workshop, mahasiswa harus membayar ke fakultas.
Yang konyol, menurut cerita Amir, pernah suatu kali sebuah mata kuliah yang diikutinya mengadakan kuliah tambahan. Padahal, waktu itu perkuliahan sudah libur. Penyebabnya, dosen mata kuliah itu belum menyelesaikan materi perkuliahan yang harus diajarkan. Untuk mengikuti kuliah tambahan itu, mahasiswa harus membayar uang sewa gedung karena menggunakan gedung di luar waktu perkuliahan. Selain itu, Amir dan kawan-kawan mengaku kasihan terhadap rekan-rekannya yang tidak mampu. Karena untuk mengikuti sebuah workshop, diperlukan biaya sekitar Rp150 ribu.  
Dani yang sering browsing membuka website-website sekolah hukum di luar negeri menyampaikan rasa irinya dengan mahasiswa hukum di luar negeri. Di manca negara, pihak fakultas sering bekerjasama dengan law firm untuk mengadakan program magang, workshop, atau kelas diskusi pada saat summer.
Jalur Khusus
Budi, Amir, Dewi, dan Dani juga menyatakan kekhawatirannya akan rencana FH UI membuka jalur khusus untuk penerimaan mahasiswa baru di luar Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPN). Kabarnya, akan ada 150 mahasiswa baru yang akan diterima dengan membayar uang masuk sebesar Rp25 sampai Rp70 juta.
Padahal tanpa ada jalur khusus ini, mahasiswa baru yang masuk melalui jalur UMPTN sudah berjumlah 250 orang. "Ini akan menjadi problem baru. Bagaimana menjaga mutu dengan tambahan mahasiswa sebanyak itu, sementara jumlah dosen tampaknya tidak akan ditambah," ungkap Dani.
Namun, kekhawatiran mereka ditepis oleh Kurnia. Menurut Kurnia, justru dengan adanya program jalur mandiri, diharapkan dosen yang selama ini terpencar, entah karena sibuk mengajar di tempat lain atau menjadi praktisi hukum, akan semakin banyak meluangkan waktunya ke fakultas. Karena dengan jalur mandiri, akan ada peningkatan kesejahteraan baik bagi karyawan maupun dosen.
Kurnia juga membantah bahwa pihak fakultas tidak memfasilitasi kegiatan mahasiswa untuk menambah ilmu. Ia mengatakan, pihak fakultas pernah mengadakan semacam kegiatan workshop selama tiga minggu dengan law firm ABNR. Selain itu, banyak pula kegiatan riset dan penelitian yang melibatkan mahasiswa, seperti kegiatan-kegiatan Lembaga Kajian Persaingan Usaha (LKPU), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT), dan Sentra Informasi HAM FHUI.
Soal sewa gedung, Kurnia mengatakan hanya dua gedung di fakultasnya yang disewakan, untuk balai sidang, misalnya sewanya Rp750 ribu. Uang sewa itu pun hanya sekadar untuk ongkos pemeliharaan dan membayar tenaga kerja. Peraturan itu pun tidak ketat.
Kewajiban untuk menyewa gedung lebih bertujuan sebagai proses belajar bagi mahasiswa untuk berusaha mencari uang sendiri ketika membuat suatu kegiatan. "Ini untuk sekadar cuci karpet gedung, sekaligus memberi tanggungjawab pada mahasiswa. Jangan mentang-mentang ada, dipakai seenaknya. Kalau mereka benar-benar usaha dan mentok, baru kami akan beri kebijakan," kata Kurnia.
Sayang, pimpinan Fakultas Hukum Usakti dan Atmajaya tidak bisa diminta komentarnya. Dekan FH Usakti, Endar Pulungan, melalui sekretarisnya menyatakan tidak bersedia diwawancarai dengan alasan sibuk. Sementara Dekan FH Atmajaya tidak juga memberikan jawaban, walaupun surat permohonan wawancara sudah dilayangkan beberapa minggu sebelumnya.
Bagi banyak perguruan tinggi, FH bisa jadi tambang uang. Peminatnya banyak dan mudah untuk mencari dosen. Cuma, soal kualitas dosen tunggu dulu. Karena itu, jangan heran kalau banyak lulusan FH cuma melongo ketika ditanya masalah hukum. Jika para alumnus ini harus bersaing di bursa kerja, akhirnya ya kedodoran.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8595/dosen-fakultas-hukum-malas--mahasiswa-merana

Saatnya Fakultas Hukum Terapkan Problem-based Learning Metode Problem-based Learning terbukti menarik minat mahasiswa.

Dr Yuswanto SH, MH:
Saatnya Fakultas Hukum Terapkan Problem-based Learning
Metode Problem-based Learning terbukti menarik minat mahasiswa.

Untuk kali kedua, www.hukumonline.com berkolaborasi dengan www.kaskus.co.id menggelar Melek Hukum Award. Seperti tahun sebelumnya, Melek Hukum Award didedikasikan untuk dosen fakultas hukum terfavorit di Republik ini. Untuk Melek Hukum Award 2013 ini, sosokyang terpilih sebagai dosen terfavorit adalah Dr Yuswanto SH, MH.
Dosen asal Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) ini berarti menjadi dosen kedua yang menerima Melek Hukum Award. Pendahulu Yuswanto adalah M Idwan Ganie, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Acara penyerahan Melek Hukum Award telah dilakukan pada 24 Oktober 2013, dimana tim hukumonline mendatangi langsung Yuswanto di tempat beliau mengajar, Kampus FH Unila. Usai acara penyerahan, hukumonline berkesempatan mewawancarai Dr Yuswanto SH, MH.

Senin, 17 Februari 2014

PERMA Gratiskan Gugatan Warga Miskin - Harus Ditopang Kehadiran Pengacara Profesional

PERMA Gratiskan Gugatan Warga Miskin - Harus Ditopang Kehadiran Pengacara Profesional


JAKARTA –Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan peraturan terbaru mengenai aturan beperkara bagi warga miskin. Dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2014 tersebut, lembaga peradilan tertinggi ini pun membebaskan biaya beperkara di pengadilan bagi warga miskin.

Peraturan yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 9 Januari 2014 itu dinilai sebagai sebuah terobosan hukum karena membantu perjuangan warga miskin dalam memperoleh keadilan. Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir mengatakan, perma itu merupakan kebijakan yang positif.

Namun, ujarnya, perma tidak dapat diimplementasikan dengan baik jika warga miskin yang memerlukan pembelaan tidak didampingi oleh pengacara yang profesional.“Tapi (warga miskin) jika didampingi pengacara tidak profesional justru akan berbahaya. Sebab itu membuka peluang bagi si pengacara untuk bekerja sama dengan pihak lain yang beperkara,” tandas Muzakkir kepada KORAN SINDOkemarin. 

Prosedur Bantuan Hukum di Pengadilan Dipermudah

SEMA 10/2010 Diganti dengan Perma 1/2014, Prosedur Bantuan Hukum di Pengadilan Dipermudah

Surat Edaran MA Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum kini sudah tidak berlaku. Ini setelah pada 9 Januari 2014 lalu Ketua MA Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H. menetapkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Perma ini berlaku sejak diundangkan, yaitu 16 Januari 2014.

“MA dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya harus memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh keadilan, termasuk akses untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu,” demikian salah satu pertimbangan Ketua MA menetapkan Perma tersebut.

Selasa, 11 Februari 2014

Fungsi Konsultan Hukum

Fungsi Konsultan Hukum

Sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) peranan dan fungsi seorang Advokat/Konsultan Hukum dalam suatu kegiatan bisnis yakni :
  1. Sebagai legal advisor atau consultant. Di dalam suatu kegiatan bisnis fungsi sebagai advisor atau Legal Consultant sangat diperlukan guna memberikan pendapat dan pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat berikut  jalan  keluar yang diperlukan dalam pemecahan suatu permasalahan yang dihadapi oleh pelaku bisnis, selain itu juga diperlukan masukan-masukan berharga untuk para pelaku bisnis tersebut atau suatu perusahaan untuk  menganalisa suatu permasalahan, membuat (drafting) suatu perjanjian dan memberikan ulasan  dari  peraturan perundang-undangan dan atau peraturan pemerintah lainnya yang dirasakan dapat berpengaruh langsung terhadap kegiatan bisnis berikut saran dan pendapatnya untuk mendapatkan solusi yang terbaik dari permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dan atau suatu perusahaan.
  2. Sebagai legal attorney. Sebagai legal attorney fungsinya dalam perusahaan yaitu untuk mengemban tugas-tugas tertentu dan mampu berperan sebagai yang mewakili perusahaan seperti menerima kuasa dalam menyelesaikan persoalan khusususnya yang menyangkut permasalahan hukum dan atau melakukan upaya penyelesaian sengketa baik melalui badan peradilan (litigasi), maupun upaya hukum di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution) seperti melakukan negoisiasi, mediasi, konsiliasi dan Arbitrase melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang dihadapi oleh perusahaan. Kuasa yang mewakili perusahaan ini dapat saja diberikan pada saat awal proses pengenalan, dapat juga pada saat penjajakan kesepakatan awal, saat negosiasi maupun dalam kepentingan untuk mengimplementasikan setiap kegiatan yang bersifat hukum maupun pengurusan-pengurusan dokumen tertentu.
  3. Sebagai Legal Auditor. Seorang Konsultan Hukum juga akan melakukan fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan  ketentuan  (hukum)  yang  berlaku di perusahaan, dan tentunya dalam melaksanakan fungsinya dituntut harus memiliki kecermatan dan ketelitian yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat terlupakan atau terlewati satu aspek pun dalam perusahaan. Sebagai Konsultan Hukum tidak saja dituntut memeriksa setiap ketentuan perusahaan apakah telah dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan, akan tetapi juga harus memberikan jalan dan langkah-langkah pelaksanaan ketentuan perusahaan tersebut. Untuk mencapai tingkat yang optimal dalam fungsi pengawasan ini tentunya diperlukan kerjasama dengan team, dimana team ini saling memberikan “sharing”, berdasarkan disposisi-praktis yang terarah dalam penyelesaian masalah, berdasarkan hukum positif tertentu, dengan tetap memperhitungkan akibat dan dampaknya yang sekecil-kecilnya terhadap pelaksanaan program atau marketing perusahaan .
sumber : http://npp-law.com/fungsi-konsultan-hukum/

Anotasi Perkara HKI Terkendala Aksesibilitas Putusan

Anotasi Perkara HKI Terkendala Aksesibilitas Putusan
Kalangan perguruan tinggi menyambut baik tawaran Mahkamah Agung untuk melakukan anotasi atas putusan-putusan perkara HKI.

Tawaran Mahkamah Agung kepada kalangan perguruan tinggi untuk membuat anotasi putusan HKI dimaksudkan untuk mendorong semakin berkualitasnya putusan-putusan pengadilan, khususnya di bidang hak kekayaan intelektual. Maklum, masih banyak hakim yang kurang menguasai perkara HKI. Tidak terkecuali hakim-hakim di level Mahkamah Agung, yang tak pernah mengikuti pelatihan khusus bidang HKI. Saya khawatir apakah mereka nanti mampu menangani perkara-perkara HKI dengan benar, pengamat dan dosen bidang HKI, Insan Budi Maulana.

Namun, Brian A. Prastyo mengkhawatirkan aksesibilitas putusan akan menjadi hambatan dalam melakukan anotasi. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu masih merasa kesulitan untuk mendapatkan putusan-putusan terbaru dari pengadilan yang menangani HKI, bukan saja perkara perdata di Pengadilan Niaga, tetapi juga aspek pidana HKI di peradilan umum. Untuk bisa melakukan anotasi, setiap orang perlu putusannya dulu. Dan saat ini, sulit sekali untuk bisa memperoleh putusan pengadilan yang terbaru, ujarnya.

Perkara perdata HKI memang terbatas di lima pengadilan niaga, yaitu di Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Sebaliknya, perkara pidana tersebar di semua peradilan umum atau Pengadilan Negeri. Bisa jadi kebanyakan perkara bermuara ke Mahkamah Agung. Tetapi bagaimana dengan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap di level Pengadilan Negeri? Tidak ada jaminan putusan tersebut bisa diakses dengan cepat.

Kalau aksesibilitas terhadap putusan terhambat, kalangan kampus akan kesulitan melakukan anotasi. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memasukkan putusan-putusan ke dalam laman peradilan atau Mahkamah Agung. Dengan kata lain, putusan bisa dimuat secara online. Cara ini sebenarnya sudah mulai dilaksanakan Mahkamah Agung. Beberapa laman pengadilan sudah memuat informasi putusan meskipun belum lengkap. Yang memuat materi putusan adalah laman putusan.net. Tetapi di sini, putusan perkara perdata HKI yang sudah di-upload baru 21 putusan, terdiri dari desain industri 11 perkara dan hak cipta 10 perkara.

Menurut Nurhadi, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, laman yang memuat putusan ini sejalan dengan langkah MA dalam menjalankan keterbukaan agar MA bisa lebih akuntabel terhadap publik. Ke depan, kata Nurhadi, situs putusan.net bisa menjadi rujukan dan sumber acuan, termasuk oleh kalangan akademisi dan peneliti bidang hukum.

Rujukan lain yang memuat salinan putusan HKI adalah beberapa buku terbitan PT Tata Nusa. Tetapi, jumlah putusan yang dimuat masih sedikit, dan bukan perkara yang benar-benar baru. Demikian halnya pada buku yuridprudensi yang diterbitkan Mahkamah Agung. Pada buku Yurisprudensi MA Tahun 2006 �yang terbit setahun kemudian�hanya memuat dua putusan perkara HKI, yaitu pembatalan hak cipta (tentang logo sejahtera) dan pembatalan merek Boncafe.

Dukungan kerjasama membuat anotasi putusan datang dari sejumlah akademisi perguruan tinggi dan praktisi HKI. Anotasi penting mengingat putusan hakim tisak seratus persen benar. Selain karena persoalan hukum berbagai jenis HKI relatif baru di Pengadilan Niaga, penanganan perkara ini juga tak bisa semata-mata mengandalkan aspek hukum. Menurut Rizki Adiwilaga, dosen desain produk industri Institut Teknologi Bandung (ITB), hakim juga perlu memahami teori, filosofi dasar dan praktik hak kekayaan intelektual. Dengan memahami praktik di berbagai negara misalnya, sang hakim bisa mengetahui apakah suatu merek yang dimohonkan pembatalan merupakan merek terkenal atau bukan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20551/anotasi-perkara-hki-terkendala-aksesibilitas-putusan


Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability

Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability
Lebih dari sepuluh tahun Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku, nyaris tak ada terdengar putusan pengadilan yang menghukum korporasi.

Padahal, hubungan hukum konsumen dan produsen begitu dinamis. Keluhan konsumen terus muncul baik lewat media massa maupun lembaga konsumen swadaya masyarakat. Apakah ada yang salah dalam sistim peradilan kita sehingga korporasi selalu lolos dari jerat pidana? Persoalan inilah yang coba dijawab Yusuf Shofie. Pengalaman pria kelahiran 13 Mei 1968 ini bekerja di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuatnya berhadapan dengan banyak keluhan konsumen. Tak mengherankan sejak pendidikan magister hingga doktor ilmu hukum, ia memfokuskan diri pada hukum perlindungan konsumen.

Dalam disertasi yang dipertahankan 19 Juni lalu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yusuf Shofie mengupas tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen di Indonesia. Ada 36 perkara yang diteliti ayah dua anak ini. Banyak pelanggaran pidana yang kasat mata, namun UU Perlindungan Konsumen tidak dijalankan secara konsisten. Ia berpendapat bahwa asas societas delinquere non-potest (korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana) yang selama ini dianggap berakar pada budaya peradilan dan kesadaran masyarakat tidak dapat lagi dipertahanan.

Hukumonline berkesempatan mewawancarai pria kelahiran Yogyakarta ini di kampus Yarsi Jakarta Pusat bebepa hari setelah ia mempertahankan disertasi doktoral. Ia bercerita tentang strict liability dan vicarious liabity dalam perlindungan konsumen. Berikut petikannya:

Apa yang mendasari Anda melakukan riset tentang perlindungan konsumen?
Perhatian saya adalah pelaku, pada pelaku tindak pidana. Semua dalam riset saya, termasuk tesis saya terdahulu, fokusnya pada korban, dalam hal ini konsumen sebagai korban tindak pidana. Dari situ saya melihat ada sesuatu yang tidak beres. Korban sudah bicara banyak, respons penegak hukum masih seperti ini. Saya mencoba mencari tahu dan melihat bagaimana aparat penegak hukum itu memperlakukan pelaku usaha. Pelaku usaha bisa perorangan, bisa badan hukum. Dalam UU Perlindungan Konsumen (UUPK) ada korporasi. Korporasi itu kan kumpulan orang-orang. Dia bisa berbentuk badan hukum, bisa juga bukan badan hukum. Betapapun sederhananya proses produksi, selalu ada kumpulan orang. Siapa pengambil keputusan, siapa yang sekedar pelaksana, menjalankan perintah. Kalau dalam kasus biskuit kan kepala produksi hanya menjalankan perintah.

Artinya, saya mau melihat lebih jauh lagi bagaimana korporasi dipertanggungjawabkan. Saya telusuri kasus-kasus dari sebelum dan setelah adanya UUPK. Saya ingin melihat apakah dengan UUPK kita sudah memperbaiki posisi tawar konsumen. Terus apakah sudah mendidik pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Seandainya pun dengan UUPK sudah membuat pelaku usaha bertanggung jawab, apakah mereka tetap dipertanggungjawabkan. Sebelum UUPK ada kekeliruan dalam penjatuhan putusan. Kita maklumi. Kan pengadilan tidak boleh menghukum sebelum ada undang-undangnya. Apalagi jika para pihak tidak mengajukan upaya hukum. Karena pidana ini pidana percobaan. Kalau enam bulan percobaan, atau setahun ya terima saja daripada kasasi nanti malah diperberat.

Dalam semua kasus yang saya kaji, pada umumnya menyebut kapasitas tertentu. Jadi terdakwa kapasitasnya apa dalam tahun 1950-an. Misalnya Ketua Pengusaha Industri Rokok. Berarti kan kapasitasnya disebutkan. Sampai di situ saya melihat bahwa pendirian pengadilan di Indonesia.  Pengadilan lebih ingin menunjukan ada hubungan atasan dengan bawahan. Hubungan atasan dengan bawahan terlihat pada doktrin vicarious liability. Vicarious liability ini doktrin dalam hukum perdata, untuk diaplikasi di dalam hukum pidana. Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan hukum pidana adalah hukum pidana, hukum perdata, hukum perdata, hukum administrasi negara ya hukum administrasi negara. Itu pembedaan. Sarjana hukum kan tidak dibeda-bedakan. Coba lihat hukum perlindungan konsumen. Unsur pidana ada, administrasi negara juga ada. Sekarang ini kan harus tegas, mana yang administrasi negara. Di UUPK memang ada kekeliruan. Sanksi administrasi, bentuknya kok ganti rugi.

Dari perspektif hukum pidana saya melihat bahwa pengadilan di Indonesia tidak terbiasa dengan strict liability. Selama ini kan wacana yang berkembang adalah strict liability dalam perlindungan konsumen. Jadi kalau pelaku usaha mau dipertanggungjawabkan, pakai prinsip strict liability. Saya ingin mengkaji lebih jauh lagi. Apakah strict liability dipakai dalam praktik? Ternyata tidak.

Sebenarnya yang tepat apa, strict liability atau vicarious liability?
Semua teori dan doktrin punya kelebihan dan kelemahan. Teori untuk menjawab persoalan. Saya mengkombinasikan antara vicarious liability dan doktrin agregasi. Kenapa bukan strict liability? Menurut saya itu belum dipakai. Kalau di bidang lingkungan hidup sudah dipakai. Walaupun katakanlah dalam kasus Newmont itu diputus bebas. Tapi doktrin yang dianut adalah strict liability.

Saya tidak tahu apakah UUPK mengambil over doktrin hukum lingkungan. Kalau hukum lingkungan kan dikenal polluter pay principle. Kalau saya boleh pinjam prinsip itu, saya akan bilang manufacturer pay liability. Jadi si manufacturer punya kewajiban untuk membayar. Strict liability itu fokusnya bukan pada pelaku tapi pada prilaku. Prilakunya yang  berbahaya. Kalau di lingkungan hidup itu semuanya berhubungan dengan proses. Kalau dalam perlindungan konsumen, apakah ketika seseorang memproduksi satu produk untuk manusia, apakah di pikirannya ditujukan untuk mencelakakan konsumen? Kan tidak.

Bahwa ada terjadi dimana sistim dan prosedur tidak dipatuhi. Bahaya jika ada penggunaan bahan tambahan, misalnya pasta gigi. Semua pasta gigi ada pemutihnya, plus bahan lain. Seperti itulah strict liability diterapkan karena ada risiko. Menurut saya, strict liability terbatas pada prilaku-prilaku tertentu. Kalau UUPK kan seolah-olah ingin mengatakan semua. Di dalam UUPK ada 21 kejahatan di bidang konsumen, mulai proses produksi, kemudian, promosi, transaksi, sampai pasca transaksi. Semuanya ada 21 norma. Normanya norma pidana. Sanksinya adalah penjara lima tahun dan denda 2 miliar rupiah.

Harus disamaratakan tidak? Ada yang dimaksud klausul baku. Apakah klausul baku itu selalu berbahay? Lain dengan penggunaan yang saya sebut tadi. Saya ingin mengkritisi bahwa sebenarnya UUPK tidak mengandung prinsip strict liability. Walaupun disebutkan dalam pasal 19 ayat (1), pelaku usaha yang menyebabkan kerugian, celaka, wajib memberikan ganti rugi pada konsumen. Seolah-olah dengan seperti itu semua persoalan selesai. Tapi ayat selanjutnya menyebutkan dalam waktu paling lambat 7 hari setelah transaksi, dibayarkan ganti rugi. Pasal itu menurut saya omong kosong. Pengalaman saya ketika memediasi perkara di YLKI, tidak ada tujuh hari ditepati. Kemudian riset saya di BPSK, putusan BPSK saja lebih dari 21 hari. Padahal di UUPK disebutkan, penyelesaian sengketa perlidungan konsumen itu 21 hari.

Apa perilaku dengan kesalahan?
Memang kalau dalam hukum pidana, ajaran kesalahan selalu dijunjung tinggi. Tidak boleh orang dipidana, pelaku dipidana, tanpa kesalahan. Ada tindak pidana, ditelusuri ada pelaku, kalau pelaku tidak punya kesalahan, tidak bisa dipidana. Makanya dalam kesimpulan disertasi, saya tidak menggunakan doktrin strict liability. Ada dua argumentasi. Pertama, kita memperhatikan kebiasaan hakim di Indonesia. Hakim di Indonesia sudah terbiasa dengan doktrin vicarious liability. Dan dalam semua kasus yang saya kaji, relasi itu disebut. Terdakwa kedua hanyalah sebagai karyawan. Yang bertanggung jawab adalah direktur. Pelaku fisiknya dia yang nyata. Dia kan yang mengedarkan edaran ke semua kantor cabang supaya label kadaluarsa diganti. Sampai di situ ada lebih dari satu, tiga, empat, lima pelaku. Jaksa menempatkan sebagai terdakwa 1 itu direktur, dirutnya, terdakwa dua karyawan, padahal di atas karyawan ada manajer. Manajernya tidak diminta tanggungjawab.  Pengadilan hanya menyatakan karyawan yang bersalah padahal dia hanya melaksanakan tugas. Pelakunya kan perusahaan.

UUPK juga mengakui badan hukum sebagai pelaku tindak pidana kan. Tetapi mengapa kok sekian lama tidak pernah ada proses untuk itu. Apa memang tidak ada, atau pengadilan tidak biasa. Ternyata apa? Pengadilan pun juga kesulitan. Karena yang menetukan siapa terdakwa itu bukan pengadilan. Jaksa penuntut umum kan.

Bentuk hukuman dari tindak pidana korporasi?
Sanksi pidana yang dimungkinkan bagi korporasi bentuknya adalah pidana financial. Ga mungkin korporasi dipenjara. Makanya hukumannya hukuman financial.

Bagaimana dengan denda?
Denda masuk ke negara kan. Kalau ganti rugi diberikan kepada korban. Kalau dalam rangka perlindungan konsumen, ada sanksi pidana ganti rugi. Yang keliru menurut saya adalah kalau sanksi adminstratif yang bentuknya ganti rugi. Keliru itu. Kalau pidana bentuknya ganti rugi dimungkinkan. Sampai hari ini belum ada satu pun yang menjatuhkan pidana ganti rugi.

Mengapa belum ada korporasi yang dipidanakan, padahal pemidanaan korporasi diatur dalam UUPK?
Itu tergantung pada sumber daya manusia dari penyidik dan penuntut umum. Kita harus apresiasi dalam kasus Newmont. Saya melihatnya sebagai tindak pidana perlindungan konsumen, tetapi cara penegakannya tidak dengan pidana perlindungan konsumen. Penyidik menggunakan UU Lingkungan Hidup.

Kita tidak boleh fanatik dengan UUPK, karena akan menyebabkan kesalahan dalam penegakan hukum. Yang namanya tindak pidana perlindungan konsumen tidak hanya ada did ala UUPK. Di KUHP juga ada.

Jadi salah satu hambatannya adalah masalah perspektif?
Saya juga melihat hambatan yuridis di dalam UUPK. Karena apa? Tata cara prosedur untuk menuntut korporasi akhirnya kembali pada KUHAP. Tetapi KUHAP tidak menyebutkan kata korporasi. Kata terdakwa, tersangka itu orang. Tetapi sudah ada terobosan. Dalam kasus, putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jawa Timur, ada dalam kasusnya disebutkan, PT sebagai pihak ketiga yang boleh mengajukan praperadilan. Tapi putusan itu dibatalkan di tingkat kasasi. Dalam temuan saya itu tidak semua putusan PN yang baik-baik itu bisa eksis karena ternyata dibatalkan di proses kasasi. Tidak selalu putusan kasasi itu lebih baik daripada putusan PN.

Sejauh pentingnya korporasi yang dipidanakan?
Satu proses produksi itu bukan proses sederhana. Di dalam penentuan pertanggungjawaban itu dia mengunakan doktrin vicarious liability. Kalau dalam strict liability fokusnya adalah kepada pelaku, kemudian siapa yang menyebabkan pelaku itu. Di perusahaan banyak lini. Di lini itu nanti ada yang lempar batu sembunyi tangan. Dalam doktrin vicarious liability, diperhatikan satu persatu. Memang di 1367 KUH Perdata disebut majikan bertanggung jawab atas tindakan orang-orang di bawahnya. Saya ingin tunjukan, di dalam vicarious liability tidak sepenuhnya demikian. Kalau ini tanggung jawab karyawan, karyawan; kalau tanggung jawab manajer, ya manajer. Demikian pula tanggung jawab direksi. Kalau harus dipertanggungjawabkan pada korporasinya sendiri, ya korporasi.

Makanya saya lebih memilih vicarious liability. Pertama, saya berargumen hakim sudah terbiasa. Kedua saya juga tidak ingin masyarakat kita seperti ini seolah tidak mengerti. Masyarakat sudah teredukasi.

Di perusahaan, korporasi sudah memastikan proses untuk itu, kemudian ada karyawannya yang iseng, bisa saja ya. Kalau kita mau membangun pelaku usaha yang bertanggung jawab, kita harus telusuri siapa pelaku usaha, ada korporasinya, kemudian di dalam korporasi itu kan berlapis-lapis mulai pemegang saham hingga karyawan biasa. Ini kan satu kesatuan.

Sejauh apa bargaining position konsumen menghadapi korporasi?
Kalau berhubungan dengan produk cacat, cacat sederhana, mereka sudah menyediakan fasilitas purnajual. Itu sudah ada di Undang-undang dan tanpa ada undang-undang pun pelaku usaha yang beriktikad baik sudah melakukan itu. Yang jadi problem, kalau cacat produksi itu menyebabkan kematian atau luka. Dalam kasus seperti ini konsumen tidak punya akses masuk. Yang bisa masuk ke situ penyidik.

Korporasi tidak dikecualikan di dalam UUPK. UUPK menyebut BUMN, BUMND. Sekarang berapa jauh Pertamina –dalam kasus ledakan tabung gas, misalnya, mendapatkan keuntungan. Kalau Pertamina terbukti mendapatkan keuntungan dari tindakan itu bisnis elpiji, ya Pertamina harus dihukum. Bukan santunan, seolah-olah konsumen perlu dikasihani, bukan. Pelaku usaha harus bertanggung jawab.

Jadi korporasi baru bisa dipidana kalau memperoleh keuntungan?
Itu kriteria yang menjadi dasar uhntuk menjatuhkan tindak pdana korporasi. Tapi kan korporasi tidak akan dijatuhi pidana kalau tidak dituntut. Kuncinya lagi-lagi pada penyidik dan penuntutu umum. Mungkin penyidik sudah siapkan tapi penuntut umum tidak, kewenangan itu kan secara dominis litis ada di tangan penuntut umum.

Kenyataannya memang banyak kasus dimana korporasi diuntungkan?
Diuntungkan atau tidak kan harus dibuktikan. Kita juga tidak bisa hanya sumsi-asumsi, katanya-katanya. Yang punya akses untuk itu adalah korporasi. Kasus BLBI, saya tidak setuju kalau korporasinya dipidana. Itu yang dilakukan penuntut umum sudah benar. Bank menjadi sarana untuk berbuat jahat. Korporasi sebetulnya sebagai korban dari kejahatan untuk membobol uangnya bank itu sendiri, uangnya bank.

Dalam tindak pidana korporasi hanya dimungkinkan untuk dibuktikan melalui yang namanya medeplegen. Ajaran penyertaan tindak pidana yang bentuknya medeplegen, turut serta melakukan tindak  pidana. Medeplegennya siapa? Korporasinya itu sendiri.

Harapannya ke depan?
Saya sederhana saja. Kita harus mengapresiasi apa yang sudah dilakukan aparat kita ya. Penyidik, penuntut umum, hakim, kita harus apresiasi. Dengan 36 kasus yang saya kaji, ternyata kalau dibilang pengadilan kita bobrok, tidak juga. Dia juga punya peran. Ada proses tahapan-tahapan. Kalau kita ingin pertanggungjawaban pidana korporasi, pengadilan kita itu baru sampai pada tahap menggunakan ajaran kepelakuan fungsional. Ajaran kepelakuan fungsional itulah yang memungkinkan pada lompatan berikutnya, yaitu memidanakan korporasi, dalam hal korporasinya memperoleh keuntungan.

Satu lagi yang tadi keluapaan, doktrin agregasi. Doktrin agregasi adalah karya dari para ahli hukum di Belanda. Diagregasikannya kesalahan. Misalnya kesalahannya dari level mana, karyawan punya kesalahan, kepala bagian, manajer. Ini diagregasikan untuk apa, dimintakan pertanggungjawabannya kepada agregasi.

Kalau korporasi sudah bertanggung jawab, apakah direksi atau karyawan masih bisa kena sanski?
Itu bisa. Dalam sistim kita bisa. Tingal dilihat seberapa porsinya, danagaimana suatu tindak pidana itu utuh terjadi.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c5fb73bd473b/yusuf-shofie-pengadilan-indonesia-belum-terbiasa-dengan-istrict-liabilityi

Profesor FH USU Bedah Definisi Asas “Iktikad Baik”

Profesor FH USU Bedah Definisi Asas “Iktikad Baik”
Asas iktikad baik sudah dikenal sejak zaman Romawi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mariam Darus membedah asas “iktikad baik” yang merupakan salah satu asas di dalam Hukum Indonesia.

Profesor di bidang hukum perdata ini menjelaskan hal tersebut pada orasi ilmiah Dies Natalis FH USU ke-60 di Medan, Sumatera Utara. "Sebagai asas, maka iktikad baik berfungsi untuk menilai hukum positif yang bertujuan untuk mencari keadilan," ujar Mariam, Sabtu (11/1).

Dalam orasi yang berjudul ‘Perkembangan Prinsip Iktikad Baik Sebagai Asas Umum Di Dalam Hukum Indonesia’, Mariam menyebutkan Iktikad baik berada di bidang hukum perdata, khususnya di dalam harta kekayaan.

Lebih lanjut, Mariam menuturkan sejarah iktikad baik ini lahir pada Zaman Romawi. Kala itu, para pakar hukum menyebutkan bahwa iktikad baik direfleksikan dalam perjanjian adalah bonafides, yang artinya adalah perbuatan seseorang dilakukan secara wajar dan patut.

"Jadi, perbuatan tersebut dilakukan tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain dan para pihak dipercaya," ujar Mariam.

Mariam menambahkan iktikad baik diatur di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Ketentuan ini menyatakan bahwa setiap perjanjian atau persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Selain itu, Mariam juga merujuk ke putusan Mahkamah Agung Belanda pada 9 Februari 1923 yang merumuskan atau memperjelas apa yang dimaksud dengan iktikad baik. Putusan ini menyatakan perjanjian harus dilaksanakan menurut syarat-syarat kewajaran (redelijkheid) dan kepatutan (billijkheid).

Mariam juga mengutip pendapat Prof Mr Wery yang menjelaskan bahwa kewajaran ialah yang dapat dimengerti oleh intelek dan akal sehat, dengan budi pekerti. Sedangkan, kepatutan adalah yang dapat dirasakan sebagai sopan, patut dan adil.

"Jadi rumus kewajaran dan kepatutan meliputi semua yang dapat ditangkap, baik dengan intelek maupun perasaan," jelasnya.

Mariam menambahkan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menunjuk pada norma tidak tertulis yang disebut objektif, sebab esensinya bukan kewajaran dan kepatutan menurut para pihak masing-masing tanpa sesuai pendapat umum. Dengan demikian, para pihak bukan hanya terikat pada kata-kata perjanjian itu saja, tetapi juga pada iktikad baik.

Disamping itu, lanjutnya, dikenal juga iktikad baik yang bersifat subjektif. Iktikad baik subjektif terletak dalam ranah hukum benda. "Yang dimaksud dengan iktikad baik disini adalah kejujuran yang berkaitan dengan sikap bathin seseorang," ujar staf pengajar pada Fakultas Hukum USU itu.

Sejumlah hadirin mendengarkan orasi Mariam ini dengan seksama. Acara dies natalis FH USU ke-60 ini dihadiri oleh Sekda Pemprov Sumut H Nurdin Lubis, Rektor USU Prof Syahril Pasaribu, Dekan Fakultas Hukum USU Prof Runtung Sitepu, para dosen dan alumni Fakultas Hukum USU.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d150ceef12a/profesor-fh-usu-bedah-definisi-asas-iktikad-baik

Perlu Ada Kepastian Hukum Soal Iktikad Baik

Perlu Ada Kepastian Hukum Soal Iktikad Baik
Kebanyakan praktisi hukum memperhatikan bahwa penyelesaian sengketa menghendaki “brain power”.

Itikad baik seharusnya menjadi ruh dalam memahami, melahirkan dan melaksanakan perjanjian. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lain saat ini menjadi dinamika yang berkembang di Indonesia. Banyak pihak berharap penyelesaian sengketa melalui jalur ini akan membawa angin segar bagi dunia hukum dan bisnis.
Sayang, pada kenyataannya praktik penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan ini sering terkendala dengan iktikad baik masing-masing pihak maupun pihak lain yang terkait. Akibatnya, muncul persoalan hukum.
“Persoalan hukum yang muncul terkait dengan iktikad baik mulai dari masalah internal dalam perilaku manjalankan usaha. Selain itu, juga ada akibat bertautnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbasis pada kepentingan lokal. Di sisi lain, juga perlu memperhatikan peraturan dan acara arbitrase internasional maupun negara-negara lain,” jelas Felix Ontoeng Sobagjo, mantan Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), di Jakarta, Sabtu (28/9).
Padahal, menurut Felix, dengan menerapkan iktikad baik dalam melaksanakan suatu kontrak, akan lebih memberikan nuansa kenyamanan. “Itikad baik akan memberi kenyamanan dalam praktik arbitrase karena para pihak akan lebih cermat dan berhati-hati dalam berargumen,” tuturnya.
Pendiri Kantor Hukum MDC Law Office Mariam Darus melihat, perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai iktikad baik. Menurutnya, perlu ada penjelasan apakah itikad baik hanya memprhatikan hukum tertulis saja, atau juga hukum tidak tertulis.
“Untuk kepastian hukum, pengertian iktikad baik di dalam undang-undang Arbitrase dan prosedur BANI perlu dikaji lebih lanjut,” tuturnya.
Lebih lanjut, Mariam menjelaskan selama ini iktikad baik sudah diatur dalam beberapa ketentuan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Selain itu, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa juga sudah memasukan pengaturan iktikad baik dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (6). Sayangnya, tidak ada penjelasan tentang pengertian iktikad baik dalam semua peraturan itu.
“Dalam pengaturan mengenai pengertian dan sifat iktikad baik yang diatur di UU Arbitrase dan Peraturan BANI, tidak ada pengaturan tentang pengertian iktikad baik tersebut,” tandas Mariam.
Merujuk pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yurisprudensi dan doktrin pada umumnya mengartikan iktikad baik bersifat objektif jika berada dalam ranah perikatan. Sementara itu, dalam ranah hukum benda, iktikad baik diartikan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif. Kemudian, dalam perkembangannya iktikad baik tak hanya muncul dalam bidang hukum perdata saja melainkan juga dalam hukum publik.
“Iktikad baik dalam peraturan perundang-undangan kita merupakan Das Sollen yang harus direflesikan dalam hukum positif,” tambah Mariam.
Menurut pengamatan Ketua BANI Priyatna Abdurrasyid, selama ini kebanyakan praktisi hukum di Indonesia kurang memerhatikan bahwa penyelesaian sengketa menghendaki apa yang disebut “brain power”. Priyatna menjabarkan, arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, mensyaratkan penguasaan positif di bidang hukum terkait sengketa.
“Maksudnya, jangan sekali-sekali memanfaatkan kemampuan dengan tata cara yang tercela dan negatif,” tambahnya.
Priyatna menekankan, penggunaan tata krama dalam arbitrase sangat penting. Ia juga menambahkan, seyogianya pelaksanaannya dibarengi dengan prinsip-prinsip kooeratif dan non-konfrontatif. “Penggunaan tata krama iktikad baik seyogianya dibarengi prinsip-prinsip kooperatif dan non-konfrontatif,” ucapnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524946679eefe/perlu-ada-kepastian-hukum-soal-iktikad-baik

Ayo Belajar Memahami Struktur Putusan Pengadilan

Ayo Belajar Memahami Struktur Putusan Pengadilan!
Belum banyak diajarkan di fakultas hukum.

Kebanyakan orang beranggapan membaca putusan pengadilan merupakan suatu hal yang rumit. Ada yang mengaku pusing, cepat capek ketika membaca atau bahkan harus memakan waktu yang cukup lama untuk memahami isi putusan. Kendala ini bukan hanya dialami oleh orang awam, tetapi juga dialami oleh sebagian besar mahasiswa hukum.

Inilah alasan mengapa Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MAPPI FHUI) menyelenggarakan “Workshop Analisis Putusan Pengadilan” 22-23 Januari 2014 mendatang.

Koordinator MAPPI FHUI, Dio Ashar mengatakan workshop ini bertujuan untuk membiasakan mahasiswa untuk membaca putusan pengadilan. Setelah biasa membaca dan memahami struktur putusan pengadilan, para mahasiswa hukum ini diharapkan bisa menganalisa putusan-putusan tersebut.

“Kami ingin mendorong kampus untuk lebih banyak lagi menganalisa putusan-putusan pengadilan di Indonesia,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (20/1).

Dio mengungkapkan sebenarnya MAPPI FHUI telah berulangkali menyelenggarakan seminar pentingnya membaca putusan pengadilan. Apalagi, saat ini, mencari putusan pengadilan tak sesulit dahulu, yakni cukup membuka website direktori putusan MA sebagai salah satu wujud hasil dari pembaharuan peradilan.

“Kami melihat putusan-putusan yang sangat banyak di direktori putusan MA itu belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pihak kampus,” tambahnya.

Dio mengatakan sayang sekali bila fakultas hukum tak memanfaatkan ini. Ia menuturkan penerapan dan pelaksanaan hukum juga bisa dilihat atau dikaji melalui putusan pengadilan, bukan hanya menggunakan teori atau undang-undang.

Kebiasaan pengajaran yang hanya mengandalkan teori ini, lanjut Dio, membuat banyak mahasiswa hukum yang tak bisa membaca putusan dengan baik. “Mereka sering salah ketika membaca putusan. Ada yang tak tahu apa itu anotasi putusan, ada juga yang tak paham struktur putusan. Bahkan, ada juga yang salah atau memakan waktu lama ketika membaca putusan,” sambungnya.

Lebih lanjut, Dio berharap agar para mahasiswa yang mengikuti workshop ini bisa belajar banyak bagaimana membaca dan menganalisa putusan MA yang baik dan benar. Ia mengaku senang dengan antusiasme mahasiswa yang ingin ikut workshop ini walau pesertanya hanya diikuti oleh 30 orang. “Bahkan yang daftar lebih dari 30, ya cuma kami batasi pesertanya 30 orang,” tambahnya.

Berdasarkan pengumuman panitia, syarat untuk mengikuti workshop ini cukup sederhana; yakni, mahasiswa hukum yang sudah lulus mata kuliah Hukum Acara Perdata (Haper) dan Hukum Acara Pidana (Hapid). “Kami menyebarkan informasi ini ke beberapa fakultas hukum di Jakarta, tapi para peserta workshop yang mendasar kebanyakan berasal dari UI dan Unpad,” ungkapnya.

Dio ‘membocorkan’ beberapa materi yang akan dibahas dalam workshop ini. Pertama, materi ‘Bagaimana Sejarah Keterbukaan Peradilan Indonesia’ yang dibawakan oleh Dosen FH Al Azhar yang juga anggota Tim Pembaharuan Peradilan Nisa Istiani. Kedua, materi “Pembacaan Struktur Putusan Pengadilan” yang dibawakan oleh peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil.

Ketiga, materi yang dibawakan oleh seorang jaksa dan pengajar FH UI, Narendra Jatna yang bertajuk ‘Metodologi Analisa Putusan’.

Salah seorang peserta workshop, Adery Saputro mengatakan motivasinya mengikuti workshop ini karena ingin belajar lebih dalam apa sebenarnya tujuan adanya putusan pengadilan, bagaimana mencari putusan, hingga bagaimana memahami struktur putusan. Ilmu-ilmu seperti ini tak didapatkannya di bangku kuliah.

“Di kampus itu kan yang dipelajari hanya teori-teori saja, kami jarang diajarkan mengenai putusan pengadilan,” ungkap mahasiswa FHUI angkatan 2010 ini.

Adery yang mengambil program kekhususan hukum pidana di FHUI mengakui bila selama ini ia jarang sekali membaca putusan sebagai tugas kuliah. “Jarang sekali membaca putusan. Saya mungkin membaca putusan hanya di mata kuliah Hukum Acara Pidana atau Praktek Hukum Acara Pidana,” ujarnya.

Lebih lanjut, Adery menjelaskan bahwa tujuannya mengikuti workshop ini hanya semata-mata untuk mengasah ketrampilannya di bidang hukum. Ini berbeda dengan beberapa temannya yang mengikuti workshop karena memang ingin ikut lomba mencari putusan yang diselenggarakan oleh MA dan beberapa fakultas hukum.

“Saya nggak ikut lomba, hanya karena ingin belajar bagaimana memahami putusan saja,” pungkasnya melalui sambungan telepon.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52dd32650fe15/ayo-belajar-memahami-struktur-putusan-pengadilan

Utang budi coba dikesampingkan.

Teguh Satya Bhakti:
Hakim Muda, Pembatal SK Dua Hakim Konstitusi
Utang budi coba dikesampingkan.

Dari segi popularitas, nama hakim yang satu ini mungkin tidak sementereng figur Artidjo Alkostar. Usianya masih terbilang muda, jalan kariernya pun belum begitu panjang. Apalagi, tempat dia berkarier adalah PTUN yang relatif 'kering' perkara dibandingkan pengadilan umum.

Namun, beberapa pekan lalu, Teguh Satya Bhakti tiba-tiba menjadi sentral pemberitaan ketika dia menjadi ketua majelis hakim yang membatalkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan dua hakim konstitusi, Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati.

Hukumonline pertama kali menemuinya dalam sebuah seminar Forum Hakim Progresif di Universitas Sebelas Maret (UNS) pada akhir 2011 lalu. Ya, Teguh memang aktif dalam komunitas hakim yang mengaku beraliran progresif itu. Kala itu, Teguh menjadi hakim PTUN Semarang, Jawa Tengah. Lama tak bersua, Teguh kini bertugas di PTUN DKI Jakarta.

Dihubungi melalui sambungan telepon, Teguh mengaku tak memiliki perasaan apa-apa ketika pertama kali diserahkan tugas menangani perkara gugatan Keppres pengangkatan Patrialis dan Maria Farida ini. Pun, ketika dia harus ‘naik pangkat’ menjadi ketua majelis menggantikan Bambang Heriyanto yang dimutasi.

Bagi Teguh, perkara ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan perkara-perkara lain yang pernah ditanganinya. “Perasaan saya sih pada prinsipnya sama saja. Hakim kan terikat pada asas tak boleh menolak suatu perkara, walau tak ada hukumnya. Apalagi, (perkara,-red) ini ada hukumnya, masa’ saya tolak,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (7/1).

Lebih lanjut, Teguh mengaku tak setuju bila ada yang mengkualifikasi perkara itu kecil atau besar. Ia lebih setuju bila kategorinya adalah kasus besar (hard case) atau kasus ringan (soft case). “Saya akui ini hard case karena bersinggungan dengan sistem ketatanegaraan kita,” ujarnya.

“Pada prinsipnya sama saja. Tapi, karena ini kasus yang agak berat, maka kami harus berpikir lebih dalam,” tambahnya.

Salah satu yang dipikirkan adalah kondisi Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini. Pasca ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK, maka jumlah hakim MK hanya tinggal enam orang bila SK ini dibatalkan. “Itu kan faktor-faktor non yuridis yang menjadi bahan pertimbangan kita juga sebagai pisau analisis untuk melihat kasus konkret,” ujarnya.

Namun, toh, Teguh dan Hakim Anggota Tri Cahya Indra Permana -salah seorang hakim anggota Elizabeth Tobing menyatakan dissenting opinion- tetap berpendapat bahwa Keppres itu harus dibatalkan.

Perjalanan Karier Teguh
No. Penugasan Tahun
1 Cakim di PTUN Bandung Desember 2003
2 Hakim di PTUN Banjarmasin 2007 – 2010
3 Hakim di PTUN Semarang 2010 – Awal 2013
4 Hakim di PTUN Jakarta Awal 2013 – sekarang
Utang Budi
Posisi Teguh dalam perkara ini memang tergolong unik. Ia dulu pernah berperkara di MK sebagai pemohon pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hakim.

Ketika hakim-hakim lain ‘berteriak’ ingin melakukan demonstrasi dan bahkan ada yang mengancam mogok sidang, Teguh memilih jalur yang konstitusional, yakni dengan mengajukan ‘upaya hukum’ ke MK. Alhasil, MK mengabulkan judicial review itu yang menjadi pintu masuk perbaikan kesejahteraan hakim, dan dinikmati para hakim hingga kini.

Lalu, berutang budikah Teguh ketika mengadili gugatan Keppres Pengangkatan Patrialis dan Maria?

Teguh tegas menyatakan, tidak. Sesuai namanya, pendiriannya teguh. Bahwa keadilan harus dikedepankan. “Dalam memutus, saya selalu mengutip Sabda Nabi: Hati-hatilah terhadap tiga hal yang dapat merusak keadilan: yaitu penguasa dan rakyat miskin; kekayaan dan kemiskinan; kemuliaan dan kehinaan,” ujarnya.

“Berdasarkan prinsip itu, gara-gara yang saya adili peguasa, lalu saya jadi mengabaikan keadilan, saya tak mau seperti itu. Utang budi atau apa itu semua, saya coba kesampingkan,” pungkasnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cbc4d025b88/teguh-satya-bhakti--brhakim-muda--pembatal-sk-dua-hakim-konstitusi

Pola Pikir Mahasiswa Hukum Daerah Perlu Diubah

Toar Palilingan:
Pola Pikir Mahasiswa Hukum Daerah Perlu Diubah
Jangan hanya mengandalkan orang tua. Harus berani melihat peluang.

Kehidupan seorang Toar Palilingan amatlah unik. PengajarHukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado Sulawesi Utara (Sulut)ini cukup dikenal sebagai pengamat hukum dan pemerintahan di Sulawesi Utara. Media lokal, seperti Tribun Manado pernah mewawancarainya terkait isu hukum dan pemerintahan di Sulut.
Terlahir dari pasangan Dr. FN Palilingan danDra. YC. Pangemanan, Toar memang terlahir dari keluarga pendidik. Sang ayah merupakan mantan Rektor Unsrat sedangkan ibunya seorang dosen di universitas yang sama.
Makanya, selepas tamat pendidikan S-1 Ilmu Hukum di Unsrat pada pada Januari 1986, tak pikir panjang setahun kemudian, Toar muda langsung memilih profesi sebagai dosen. Tak hanya itu, istrinya sendiri Cilia Damopolii (almh) juga seorang dosen hukum pidana di Fakultas Hukum (FH) Unsrat.
“Pilihan profesi dosen mengikuti jejak kedua orang tua,” kata Toar saat berbicang dengan hukumonline, Rabu (3/7) di Manado.
Pria kelahiran Malang 53 tahun lalu itu menamatkan pendidikan S2-nya di FH Unsrat pada 2008 dengan spesialisasi hukum tata negara. Ternyata, pilihan menekuni hukum tata negara merupakan pilihan tepat. Soalnya, selain sebagai dosen dia kerap diminta menjadi tenaga ahli di pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Utara.
“Saya sering diminta untuk membantu menyusun kebijakan-kebijakan daerah, termasuk menyusun rancangan peraturan daerah (perda),” tutur pria yang tercatat sebagai Ketua Kajian Otonomi Daerah dan Kawasan Perbatasan FH Unsrat ini.
Kiprahnya menjadi dosen selama hampir 26 tahun, Toar mengungkapkan kegundahannya terhadap fenomena mahasiswa hukum yang ada di Manado. Dia menilai jika membandingkan mahasiswa hukum daerah khususnya yang ada di Manado masih tertinggal dengan mahasiswa hukum di pulau Jawa. Dinamika mahasiswa hukum di Sulawesi Utara, dianggap tidak menantang.
“Mahasiswa hukum daerah tidak kompetitif jika dibandingkan mahasiswa hukum dari pulau Jawa, mungkin budaya dan suasananya sangat berbeda. Mahasiswa hukum di Pulau Jawa, umumnya kuliahnya benar-benar dengan memanfaatkan peluang yang ada,” ujar pria yang pernah menjadi dosen teladan 1 tingkat FH Unsrat pada 1995 ini.
Menurut mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Sulut 2004 ini kuliah bagi mahasiswa hukum di Sulawesi Utara cenderung untuk mencari pekerjaan dan memenuhi harapan orang tua, sehingga pola pikir mahasiswanya masih sempit. Inimempengaruhi pola mengajar dosen di FH Unsrat, sambil terus menyesuaikan dan membangun pola pikir mahasiswa yang ideal. “Pola pikirnya, kerja atau tidak kerja sudah bisa hidup (mengandalkan orang tua), yang penting sarjana dulu. Paradigma pola pikir seperti itu harus diubah,” harapnya.
Meski begitu, dari segi intelektualitas mahasiswa hukum daerah tak kalah dengan mahasiswa hukum dari pulau Jawa. Terutama dalam merespon dan menyikapi wacana kebijakan-kebijakan hukum nasional. Saat ini saja tak sedikit mahasiswa hukum di Manado bergelar S-2 dan S-3. “Ada sekitar 30-an doktor hukum umumnya diambil dari luar Sulawesi Utara, seperti dari FH Universitas Hasanuddin, FH Unpad, FH Undip karena program doktor hukum di Unsrat baru 1 tahun berdiri,” katanya.
Keluarga pancasila
Di luar aktivitasnya sebagai akademisi, kehidupan keluarga Toar terbilang unik. Soalnya dia memiliki keluarga yang disebutnya sebagai keluarga “Pancasila”. Toar sendiri pemeluk Nasrani, almarhumah istri seorang muslimah yang taat. Dari perkawinannya, mereka dikarunia seorang anak yang bernama Toar Palilingan, Jr yang beragama Yahudi. Toar sendiri memiliki seorang anak angkat, bernama Chrisinda Damopolii yang beragama Katolik.
Kini, Toar Palilingan, Jr (30) yang juga berstatus sebagai dosen hukum tata negara dan hukum internasional di FH Unsrat, dikenal sebagai tokoh komunitas Yahudi di Indonesia, dengan nama Yahudi rabbi Yaacov Baruch.Dia dikenal sering melakukan diskusi dengan komunitas lintas agama di Indonesia. Bahkan, Wakil Menteri Luar Negeri AS pernah mengajak Yaacov Baruch untuk berdiskusi saat kedatangan ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Seperti dikutip darijppn.com 2011 lalu, Rabbi Yaakov Baruch yang dikenal sebagai pemimpin ibadah Yahudi di Manado bersama komunitas penganut Yahudi lainnya di Indonesia tengah berupaya agar Yahudi diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Yaakov menuturkan masa pemerintahan Belanda di Indonesia agama Yahudi diakui sebagai agama resmi.
Demikian pula, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, penganut agama Yahudi sama halnya dengan agama lainnya, seperti Islam, Kristen, Katolik. Yaakov lantas menunjukan copy surat lawas Menteri Agraria yang dirilis pada 1961. Surat itu mengakui kaum agama Israelit (sebutan kaum Yahudi masa itu) diakui sebagai agama d Indonesia. “Kenapa sekarang tidak, kami memiliki hak yang sama,” klaim Yaakov.
Sang ayah pun mengakui Yaakov itu pimpinan komunitas Yahudi di Indonesia baik warga ekspatriat maupun warga lokal.Tetapi Yaakov hanya mengurusi ritual ibadahnya (yudaism)dantidak mengurusi politik yang berbau ekstrim, konfrontasi/provokasi umat beragama.
“Banyak wartawan asing yang sering mewawancarai dia karena namanya sempat terangkat dalam dialog mahasiswa di Amerika. Din Syamsuddin pernah menemui dia, tetapi hal positif,” akunya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520b421d2c453/toar-palilingan--brpola-pikir-mahasiswa-hukum-daerah-perlu-diubah