Rabu, 12 Oktober 2016

Menjaga Tradisi Menghimpun Putusan Pengadilan

Rabu, 31 Agustus 2011
Menjaga Tradisi Menghimpun Putusan Pengadilan
Pada awalnya putusan-putusan pengadilan dibahas dan dimuat dalam jurnal hukum. Kemudian, putusan-putusan terpilih dibukukan. Era internet menjadi tantangan.

Kalau ada penerbit yang rajin menerbitkan putusan-putusan pengadilan, Tata Nusa layak disebut. Perusahaan yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, ini sudah menghasilkan berjilid-jilid buku kumpulan putusan. Dari lingkungan Pengadilan Niaga saja, Tata Nusa sudah menerbitkan himpunan putusan dalam perkara kepailitan, merek, paten, dan hak kekayaan intelektual. Buku “Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan”, hingga 22 jilid.

Tata Nusa bukan satu-satunya perusahaan atau lembaga yang menerbitkan putusan pengadilan. Pada umumnya, buku yang ada merupakan kompilasi berdasarkan isu khusus. Bisa mengenai perburuhan, misalnya “Kompilasi Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Terseleksi 2006-2007” terbitan TURC Jakarta, atau bisa pula mengenai hak asasi manusia.

Upaya Tata Nusa dan penerbit lain telah meneruskan tradisi lama mendokumentasikan putusan-putusan pengadilan. Putusan pengadilan penting sebagai bahan perbandingan dan case-study bagi akademisi, praktisi, dan pemerhati hukum. Putusan pengadilan memperlihatkan kecocokan teori dengan kasus riil di masyarakat.

Tim Redaksi Tata Nusa baru memulai tradisi menerbitkan putusan pengadilan sejak 1992. Lalu, apakah upaya membukukan atau mendokumentasikan putusan pengadilan sudah ada sejak dulu? Mari kita telusuri dokumen-dokumen klasik, atau kunjungi perpustakaan hukum. Coba telusuri dokumen hukum yang terbit setelah Indonesia merdeka. Ternyata, mendokumentasikan putusan pengadilan sudah lazim dilakukan, meskipun dengan format berbeda dari apa yang dilakukan Tata Nusa. Bahkan sebelum merdeka, sudah dikenal sumber hukum primer berupa Tijdschrift van het recht voor Nederlandsch Indie, semacam kumpulan yurisprudensi.

Penelusuran bukan hanya mengenalkan kita pada dokumen, tetapi juga pada nama-nama mereka yang berpartisipasi dalam publikasi putusan tersebut. Mari kita mulai dari nama Sahardjo. Warga Jakarta yang sering melewati Pancoran menuju Manggarai akan melewati Jalan Sahardjo. Sahardjo adalah mantan Menteri Kehakiman yang namanya kini diabadikan menjadi nama sebuah jalan.

Nama Sahardjo pernah tercatat sebagai Sekretaris Redaksi Majalah Hukum yang diterbitkan Persatuan Ahli Hukum Indonesia. Pada edisi No 1 Tahun 1953, halaman depan majalah ini mencantumkan nama sederet ahli hukum yang mewarnai sejarah hukum Indonesia awal kemerdekaan. Mereka yang menjadi Panitia Redaksi adalah Mr Soepomo, Mr Hoesein Tirtaamidjaja, Prof Moeljatno, Mr Soenarjo Kolopaking, Prof Djokosoetono, Mr Koentjoro Poerbopranoto, dan Mr Djody Gondokoesoemo.

Majalah Hukum merupakan salah satu media tempat mendokumentasikan putusan pengadilan. Obituari, karangan lepas, atau agenda hukum adalah jenis konten lain. Desain majalahnya pun sangat sederhana.

Dalam perkembangannya, majalah ini berganti nama menjadi “Hukum dan Masyarakat”. Organisasi penerbitnya pun berubah menjadi Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi). Seperti tercantum pada bagian tengah bawah cover, majalah ini terbit atas izin dari Peperda SWIDR. Edisi No 2 Tahun 1960 misalnya memuat putusan Mahkamah Agung tentang perikatan demi kemanusiaan, dan pembuktian.

Seiring dengan perubahan komposisi pengurus, penerbit Hukum dan Masyarakat berpindah-pindah. Awalnya beralamat di Jalan Segara 17. Pernah pula berkantor di Jalan Cendana 19, dan pernah pindah alamat ke Jalan Jenggala II Jakarta.

Jika “Hukum dan Masyarakat” diterbitkan organisasi sarjana hukum Persahi, Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) menerbitkan Varia Pengadilan. Tebalnya hanya sekitar 30 halaman, Varia Peradilan terbitan pada dekade 1960-an belum memuat putusan, beda dengan Varia Peradilan yang terbit dekade 1990-an hingga sekarang. Varia Peradilan tetap jalan dan ditangani Mahkamah Agung. Untuk kumpulan putusan terpilih, Mahkamah Agung menerbitkan Yurisprudensi RI secara berkala, satu kali dalam setahun. Kementerian Kehakiman juga pernah menerbitkan Himpunan Putusan Pengadilan.

Selain dalam bentuk media ‘majalah’, kita juga bisa menemukan buku kumpulan putusan yang diterbitkan perseorangan, baik oleh hakim dan mantan hakim, jaksa, akaemisi atau advokat. Pada tahun 1967, L Suryadarmawan, seorang jaksa pada Kejaksaan Agung, mengumpulkan dan menerbitkan dua jilid “Himpunan Keputusan-Keputusan dari Mahkamah Agung”. Satu jilid mengenai hukum acara pidana, jilid lain tentang hukum pidana materiil.

Memasuki dekade 1980 hingga 1990-an, buku kumpulan putusan semakin banyak tersedia dan tema yang diangkat kian variatif. Kuneng Mulyadi, misalnya, menerbitkan “Himpunan Yurispudensi Hukum Waris” (Setio Acness, 1996).

Dokumen yang tidak bisa diabaikan adalah belasan jilid buku putusan-putusan terpilih yang ditulis Mr Soedargo Gautama. “Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions) Berikut Komentar” telah menjadi salah satu rujukan penting akademisi dan praktisi hukum. Diterbitkan Citra Aditya Bakti Bandung (1997), buku ini tak dibedakan atas bidang kajian. Tetapi sebagian besar merupakan putusan perkara perdata. Dari sisi substansi, banyak informasi penting yang bisa dipelajari dari kumpulan yurisprudensi. Misalnya, apakah kedutaan besar asing di Indonesia bisa digugat.

Tentu saja menerbitkan buku kumpulan putusan pada era internet dan keterbukaan informasi sekarang punya tantangan tersendiri. Dulu putusan pengadilan sulit diperoleh. Kini, Undang-Undang justru mewajibkan putusan pengadilan dibuka ke publik. Masyarakat dapat mengakses putusan-putusan Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya melalui laman resmi.

Subandi Martha, Presiden Direktur Tata Nusa, mengakui maraknya publikasi putusan melalui internet baik yang gratis maupun berbayar, turut mempengaruhi minat orang terhadap buku kumpulan putusan pengadilan. Selain karena faktor kecepatan akses, buku memiliki keterbasan konten putusan. Dalam satu buku tak mungkin dimuat ratusan putusan sekaligus. Membukukan dalam puluhan jilid membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Tata Nusa pun, kata Subandi, tak tertarik untuk mencetak ulang buku kumpulan putusan yang pernah diterbitkan. Penerbit mungkin bisa menyiasati dengan putusan bertema sangat khusus. Tetapi ini juga tak menjamin buku tersebut laku keras. Publikasi putusan melalui internet tampaknya memang lebih menarik karena lebih praktis, cepat, dan murah.

Meskipun era internet telah berkembang, literatur klasik putusan pengadilan tak mungkin diabaikan. Sebab, literatur-literatur tersebut telah menjadi bagian dari dinamika hukum di Tanah Air. Sebagian memperlihatkan ‘keagungan’ hakim ketika memutuskan suatu perkara. Sebagian lagi menjadi yurisprudensi yang akan terus dikenang sebagai putusan yang berani atau melampaui masanya.


Senin, 03 Oktober 2016

Hotman Paris Hutapea Lulus Cum Laude di Sidang Doktor FH Unpad

Hotman Paris Hutapea Lulus Cum Laude di Sidang Doktor FH Unpad

[Unpad.ac.id, 21/06/2011] 
Kasus hukum tentang permohonan kepailitan berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) disebut sebagai kasus hukum niaga yang paling sering muncul.  Tujuan penerbitan Obligasi Dijamin untuk tujuan menghindari pembayaran pajak atas bunga ke pemerintah ternyata adalah perbuatan melanggar, sehingga batal demi hukum atau tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian (pasal 1320 KUH Perdata).
Hotman mengatakan bahwa penerbitan Obligasi Dijamin tersebut memakai perangkat perjanjian dan dokumen hukum yang tunduk pada hukum asing bahkan ada yang belum diatur atau tidak dikenal di Indonesia. Sehingga dalam eksekusi di pengadilan Indonesia menimbulkan masalah hukum dan perbedaan pendapat mengenai legal standing dari pemegang obligasi tersebut sebagai kreditor.Hal tersebut yang menjadi salah satu hasil penelitian Hotman Paris Hutapea yang dipaparkannya dihadapan Sidang Terbuka Promosi Doktor di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Selasa (21/06). Hotman yang juga pengacara terkenal itu menyampaikan disertasinya yang berjudul “Kepailitan Berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang Diterbitkan oleh Perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) di Luar Negeri serta Dijamin oleh Perusahaan Indonesia”.
Dalam prakteknya pecahan obligasi itu seringkali telah berpindah tangan, sehingga menimbulkan masalah hukum. Apakah asas pembuktian sederhana (sumir) merupakan syarat mutlak untuk membuktikan kedudukan hukum atau legal standing dari pemohon pailit.
“Temuan lain dari penelitian saya ini yaitu sering terjadi kesalahan dan atau penyalahgunaan asas pembuktian sederhana untuk kasus utang-utang kepailitan yang didasarkan pada Obligasi Dijamin,” ujarnya.
Berkaitan dengan SPV, Hotman mengutarakan bahwa dari segi pendirian perusahaan SPV memang tidak melanggar hukum akan tetapi perusahaan SPV siring dipergunakan untuk melanggar hukum, sehingga yang perlu diatur adalah penggunaan SPV per segmen usaha tertentu.
“Pemakaian SPV tersebut dimaksudkan untuk menghindari atau menghemat pembayaran pajak atas bunga obligasi (withholding tax) kepada pemerintah Indonesia,” tambah pria kelahiran Tapanuli, 20 Oktober 1959 itu.
Pada dasarnya tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Hotman adalah untuk menemukan format keabsahan dari jual beli Obligasi Dijamin yang diterbitkan SPV di negara asing. Kemudian untuk menemukan penerapan asas pembuktian sederhana atas piutang kepailitan dan untuk menemukan konsep kepailitan dengan objek piutang yang timbul dari Obligasi Dijamin berdasarkan asas keadilan dalam pengembangan perekonomian Indonesia.
Hotman akhirnya berhasil lulus dalam sidang doktor dengan yudisium cum laude. Tim Promotor dan Tim penguji pada sidang serta seluruh tamu undangan memberikan selamat dan apresiasi kepada Hotman dan keluarga atas keberhasilannya tersebut. Hadir juga beberapa pejabat negara, teman-teman sesama pengacara, rekan-rekan dari Mahkamah Agung dan juga teman-teman artis seperti Ahmad Dhani, Mulan Jamela, Cut Tari, Manohara, Anang dan Ashanty.
“Senang dan bangga atas keberhasilan Papa lulus menjadi doktor. Ini menginspirasiku untuk cepat lulus dari kuliahku di London,” ujar Frank, anak tertua Hotman yang juga berencana mengikuti jejak ayahnya itu. *

Hotman Paris Usulkan UU Kepailitan Direvisi

Hotman Paris Usulkan UU Kepailitan Direvisi
Hakim jangan lagi menolak perkara hanya karena perkara tidak bersifat sederhana.
Selasa, 21 Juni 2011

Pengadilan Niaga dan pengadilan umum harus konsisten menyatakan batal demi hukum setiap Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang diterbitkan oleh perusahan Special Purpose Vehicle (SPV) di luar negeri serta dijamin oleh perusahaan Indonesia. Pasalnya, tujuan pendirian SPV itu dinilai hanya sebagai upaya untuk menghindari atau mengurangi pembayaran pajak ke Pemerintah Indonesia.
Usulan ini disampaikan oleh Advokat Hotman Paris Hutapea dalam disertasi doktoralnya yang berhasil dipertahankan dalam sidang di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/6). “Obligasi dijamin itumempunyai causa yang tidak halal sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata. Oleh karenanya batal demi hukum dan tidak sah,” ujarnya.
Sayangnya dalam praktik, jelas Hotman, hakim atau pengadilan kerap menolak permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atas utang kepailitanAtauutang PKPU yanng didasarkan pada pecahan obligasi tanpa warkat termasuk obligasi dijamin yang diterbitkan oleh perusahaan SPV di negara lain serta dijamin oleh perusahaan Indonesia itu.   
“Hakim kerap menolak perkara itu dengan alasannya perkara tidak bersifat sederhana,” ujar Hotman.
Menurutnya, para hakim seakan berlindung di balik Pasal 8 ayat (4) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Ketentuan ini berbunyi Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi
Padahal, lanjut Hotman, maksud pasal ini tidak seperti itu. Ia menuturkan, dalam UU Kepailitan tidak ada ketentuan yang menyatakan secara tegas pengadilan niaga tidak berwenang mengadili perkara tidak sederhana (sumir). “Penolakan untuk mengadili perkara kepailitan seperti itu bertentangan dengan azas kepastian hukum dan keadilan,” jelasnya.
Karenanya, agar Pasal 8 ayat (4) ini tidak ditafsirkan secarasembarangan lagi oleh hakim, Hotman mengusulkan agar pasal ini dihapuskan saja dari UU Kepailitan. “Perlu dipertimbangkan untuk dihapuskan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan yang sering dalam praktik ditafsirkan secara salah seolah-olah merupakan ketentuan normatif bagi pengadilan niaga untuk menolak mengadili perkara yang tidak sederhana,” jelasnya.
Salah seorang penguji, An An Chandrawulan menentang ide Hotman untuk menghapus Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan ini. Ia meminta Hotman perlu mengetahui terlebih dahulu apa latar belakang dan filosofi UU Kepailitan. Menurutnya, pasal yang diusulkan untuk dihapuskan itu merupakan salah satu unsur filosofi UU Kepailitan.
Filosofi dari kepailitan adalah upaya terakhir. Sehingga, perkaranya harus bersifat sederhana. Jadi, sulit untuk menghapus pasal yang menjadi filosofi UU Kepailitan itu,” ujar An An.
Hotman bersikukuh mempertahankan argumentasinya. Menurutnya, hakim pengadilan niaga kerap salah menafsirkan pasal ini sehingga sering menolak perkara. Padahal, Pasal 299 UU Kepailitan memberikan hak kepada semua pihak untuk mengajukan semua alat bukti yang diakui menurut HIR, termasuk menghadirkan saksi.

Bahas Kepailitan, Sidang Doktor Hotman Paris Penuh Tawa

Bahas Kepailitan, Sidang Doktor Hotman Paris Penuh Tawa  

SELASA, 21 JUNI 2011 | 19:10 WIB

TEMPO InteraktifBANDUNG  - Seperti apa sidang promosi doktor pengacara kondang Hotman Paris Hutapea? Di hadapan 11 penguji Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung , Selasa 21 Juni 2011 itu, Hotman Paris mempertahankan disertasinya dengan penuh gelak tawa. Beberapa kali, Hotman menjawab pertanyaan tim penguji dalam sidang ilmiah itu dengan lugas, seperti layaknya dia menghadapi sidang di pengadilan.
Lelaki kelahiran Tapanuli 1959 ini membahas kemajuan teknologi menimbulkan masalah hukum baru bagi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Umum di Indonesia.

Disertasi itu berjudul  "  Kepailitan Berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) di Luar Negeri Serta Dijamin Oleh Perusahaan Indonesia"
Dalam disertasi itu,  Hotman menyebutkan perdagangan obligasi tanpa warkat dengan sistem  book entry system   sebagai masalah utama. Sistem itu, kata   Hotman,  sering dilakukan di berbagai lembaga  depository dan clearing clearstream ."Akibatnya, sering  menimbulkan masalah hukum baru dan dualisme di berbagai putusan di pengadilan," papar Hotman.
Hotman juga memaparkan pengalamannya saat mewakili klien mengajukan permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada hari pertama Pengadilan itu resmi dibuka. Dia mengaku telah lama mengamati kesalahan dan penyalahgunaan penerapan asa pembuktian sederhana (sumir) dalam putusan pengadilan niaga.
Menurut Hotman, Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung banyak mengeluarkan putusan yang menolak permohonan kepailitan dan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan alasan pasal 8 ayat (4) UU nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Dari hasil penelitiannya, Hotman menilai Obligasi Dijamin yang diterbitkan dengan tujuan menghindari pembayaran pajak atas bunga ke pemerintah Indonesia merupakan obligasi yang dibuat dengan dasar perbuatan melanggar, atau batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Kedua, sering terjadi kesalahan atau penyalahgunaan asas pembuktian sederhana untuk kasus-kasus utang kepailitan yang didasarkan pada Obligasi Dijamin. Ketiga, pendirian Perusahaan SPV tidak melanggar hukum, namun perusahaan SPV sering dipergunakan untuk tujuan melanggar hukum, sehingga yang perlu diatur adalah penggunaan SPV per segmen usaha tertentu
Keempat, menurut Hotman, pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan tahun 2004 dihapus. Selain itu, pengadilaan Niaga juga tidak boleh menolak mengadili dengan alas an bukan perkara sumir (tidak sederhana) dan harus memutus berdasarkan substansi kasus. Kelima, agar pengadilan Indonesia menerapkan doktrin stare decisis
Dalam disertasinya, Hotman juga menuliskan beberapa saran, diantaranya, menyarankan pengadilan Niaga dan pengadilan umum secara konsisten menyatakan batal demi hukum setiap Obligasi Dijamin yang diterbitkan perusahaan SPV di negara asing yang memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan pemerintah Indonesia.
Selain itu, dia juga menyarankan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyempurnakan syarat-syarat kepailitan di dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 222 UU Kepailitan 2004, khususnya tentang pengertian dan unsur dari kata “dapat ditagih” dari suatu utang.
Hotman, resmi menyandang titel doktor setelah sukses mempertahankan disertasi tersebut dalam sidang di hadapan tim penguji di Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran Bandung, Selasa 21 Juni 2011. Dia meraih predikat cum laude atau lulus dengan nilai sangat memuaskan.
Tim Promotor Hotman terdiri dari Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, Prof. Dr. Yudha Bhakti, dan Prof. Dr. Ahmad Ramli. Sementara itu, tim penguji terdiri dari Lili Rasjid, Rukmana Amanwinata, Nindyo Pramono, Lastuti Abubakar, dan An An Chandrawulan. Mewakili guru besar, hadir Prof. Huala Adolf.



Disertasi Hotman Paris Bahas Kepailitan

Disertasi Hotman Paris Bahas Kepailitan
Selasa, 21 Juni 2011 - 12:31 wib

BANDUNG - Dalam disertasinya, Hotman Paris Hutapea membahas, kemajuan teknologi menimbulkan masalah hukum baru bagi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Umum di Indonesia.
Pria kelahiran Tapanuli 1959 ini menyebutkan, perdagangan obligasi tanpa warkat dengan sistem book entry system sebagai masalah utama dalam disertasinya.
"Sistem tersebut sering dilakukan berbagai lembaga depository danclearing clearstream hingga menimbulkan masalah hukum baru dan dualisme di berbagai putusan di pengadilan," ungkap Hotman, dalam presentasi sidang promosi doktor di Gedung Pascasarjana Universitas Padjdjaran (Unpad), Jalan Dipati Ukur, Bandung, Selasa (21/6/2011).
Disertasi Hotman Paris Hutapea berjudul Kepailitan Berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) di Luar Negeri Serta Dijamin Oleh Perusahaan Indonesia.
Masalah hukum tersebut diteliti Hotman dengan Teori Negara Kesejahteraan sebagai grand theory, Teori Keadilan sebagai middle theory dan teori hukum pembangunan sebagai applied theory.
Hasilnya, Obligasi Dijamin yang diterbitkan dengan tujuan untuk menghindari atau mengurangi pembayaran pajak atas bunga ke pemerintah Indonesia merupakan obligasi yang dibuat dengan dasar perbuatan melanggar atau mempunyai causa yang tidak halal.
"Oleh karenanya batal demi hukum atau tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata," kata pendiri dan Senior Partner Law Firm Hotman Paris & Partners itu menjelaskan.
Sidang tersebut dijalani Hotman untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu hukum Unpad dengan wibawa Prof. Dr. Ganjar Kurnia, Ir. DEA. Tim penguji terdiri dari Prof. Dr. Lili Rasjidi, Prof. Dr. Rukmana Amanwinata, Prof. Dr. Nindyo Pramono, Dr. Lastuti Abubakar, dan Dr. An An Chandrawulan, dengan Guru Besar Prof. Huala Adolf.
Tim Promotor promosi doktor Hotman dipimpin Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, dengan anggota Prof. Yudha Bhakti dan Prof. Dr. Ahmad M Ramli. Putusan sidang menyatakan bahwa Hotman lulus dengan yudisium cum laude.
"Saya berhasil kemukakan teori yang tidak disangka-sangka. Saya minta bahwa putusan Mahkamah Agung mengikat bagi putusan pengadilan yang di bawahnya. Jadi harapannya ada perbaikan bagi sistem hukum di Indonesia," ungkap Hotman, usai sidang yang berlangsung sekira dua jam itu.
(rfa)