Rabu, 11 Januari 2017

Sri Indrastuti Hadiputranto: Berkah Kepatuhan Kepada Bapak

Senin, 03 Januari 2011
Edsus Akhir Tahun 2010:
Sri Indrastuti Hadiputranto: Berkah Kepatuhan Kepada Bapak
Tuti mengaku tak senang bersengketa di pengadilan. Sepanjang kariernya sebagai pengacara, perkara litigasi yang ditanganinya pun bisa dihitung dengan jari.

Siapa tak kenal dengan Sri Indrastuti Hadiputranto atau sering dipanggil Tuti Hadiputranto? Bila anda orang yang berkecimpung di dunia hukum tentu mengenal atau minimal pernah mendengar nama ini. Ya, dia adalah salah seorang pendiri sekaligus partner Hadiputranto Hadinoto and Partner (HHP). Konon, katanya lawfirm ini termasuk salah satu tujuan utama para sarjana hukum yang ingin berprofesi sebagai pengacara.
 
Bersama dengan (almarhumah) Tuti Dewi Hadinoto, ia mendirikan lawfirm ini sejak 21 tahun yang lalu. Sebelumnya, ia pernah mendirikan lawfirm Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS) dan memimpin kantor cabang LHGS di Seattle, Washington, Amerika Serikat pada periode 1986-1989. Setelah ditinggal Tuti, kantor hukum ini berubah nama menjadi Lubis, Ganie, dan Surowidjojo (LGS).
 
Tuti yang telah berpuluh tahun malang melintang di dunia pengacara memang termasuk lawyer perempuan di bidang commercial law yang top di Indonesia. Beberapa klien dari perusahaan-perusahaan besar pernah merasakan tangan dinginnya dalam memberikan opini hukum. Namun, siapa sangka bila Tuti justru tak pernah terpikir akan berkecimpung di bidang ini.
 
“Sebetulnya agak aneh ya. Sejak dulu, saya tak memiliki cita-cita menjadi pengacara atau advokat. Sama sekali. Saya inginnya jadi insinyur, atau dokter, atau ekonom,” ungkapnya kepada hukumonline, Selasa (28/12).
 
Impian Tuti menjadi insinyur tak didukung oleh ayahnya. Kala itu, ayahnya mengatakan telah ada seorang insinyur perempuan di dalam keluarga, yaitu kakak Tuti. “Dia bilang kita tak perlu dua insinyur wanita di keluarga,” ungkapnya. Lalu, ketika ia ingin masuk jurusan kedokteran dan ekonomi sudah terlambat.
 
Tuti mengingat pada saat itu ia sempat enggan melanjutkan sekolah. “Jadi, saya akhirnya nggak mau sekolah,” tuturnya sambil tertawa kecil. Namun, ayahnya meminta ia untuk mencoba masuk sekolah hukum dan kelak menjadi lawyer, karena ayahnya melihat Tuti memiliki kemampuan untuk menganalisa.    
 
“Lalu, bapak saya bilang jadilah lawyer karena lawyer paling fleksibel; mau kerja di mana pun bisa,” jelasnya menceritakan alasan ayahnya itu.
 
Singkat cerita, masuklah Tuti ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia (dahulu bernama Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial). “Terus terang, masuk sekolah hukum di dua tahun pertama sama sekali nggak enjoy. Tapi saya paksakan, ya sudahlah ini kan kemauan orangtua, sampai saya bilang kalau saya lulus, sertifikatnya buat bapak,” selorohnya.
 
Tuti mengantongi titel Sarjana Hukum pada 1970. “Setelah lulus, bingung, mau kemana ya. Kerja nggak ada bayangan. Awalnya, saya ingin jadi notaris aja deh,” ujarnya. Namun, akhirnya guratan takdirlah yang mengantarnya bekerja di kantor Konsultan Hukum milik Adnan Buyung Nasution. Di kantor ini, perkara yang ditangani memang fokus pada hukum bisnis.  
 
“Karena bidangnya benar-benar sangat baru di Indonesia. Bagi saya sangat menantang. Very interesting. Dan tidak berhubungan dengan sengketa. Ini hubunganya dengan bisnis,” ujarnya. Impian awalnya yang ingin berkecimpung di dunia Ekonomi pun tersalurkan. Disinilah titik awal yang membuat Tuti semakin mantap menekuni profesi sebagai commercial lawyer.    
 
Tak Suka Pengadilan
Tuti menuturkan satu alasan mengapa ia memilih dunia non-litigasi. “Saya nggak senang ke pengadilan. Kalau sengketa itu saya memang tak senang. Meskipun di sini kerjanya berdebat juga. Tapi kalau beradu mulut di pengadilan, ah bukan saya lah,” ujar perempuan yang tercatat sebagai Leading Lawyer oleh Majalah International Financial Law Review (IFLR) pada 2010 ini.
 
 
Sepanjang hidupnya, Tuti menuturkan hanya sedikit menangani perkara-perkara litigasi. Itu pun hanya sebagai asisten. “Sekedar datang ke pengadilan. Ya hanya melihat-lihat,” ujarnya. Beberapa kasus yanng pernah ditangani di bidang litigasi adalah kasus pidana, adopsi anak sampai perkara merek.
 
“Saya memimpin tim (dalam litigasi,-red) secara langsung nggak pernah. Nggak kepingin aja. Orang kok sengketa atau ribut aja. Jadi, saya memilih bidang hukum yang bukan mengenai sengketa. Yang lebih menggairahkan keadaan ekonomi. Karena dari dulu senangnya memang itu,” jelasnya.
 
Senang Klien Keren
Tuti memang sangat menyukai pekerjaannya ini. Salah satu alasannya karena, bekerja di bidang capital market, mereka biasanya bekerja dalam satu tim. Tidak ada pekerjaan yang hanya dikerjakan oleh satu orang. “Sukanya karena bisa bekerja erat dengan mereka-mereka ini, jadi kita nggak sendirian,” jelasnya.
 
Apalagi, bila kadang-kadang klien suka rewel. Namun, bila klien yang dihadapi cukup keren, para anggota di tim itu biasanya saling berebut. “Kalau kliennya keren, meetingnya balapan. Kalau kliennya nggak keren, orang-orang bilang mbak Tuti aja deh,” seloroh wanita yang cukup hangat dan humoris ini.
 
Inti bekerja dalam satu tim, bagi Tuti adalah terbaginya beban yang harus dipikul. Itu yang ia alami ketika menangani Telkom pada saat melaksanaakan penawaran umum perdana pada 1995-an. “Telkom dan satu-satunya perusahaan Indonesia yang listing di bursa Surabaya, bursa Jakarta, bursa new york, bursa London, dan penawaran umum tanpa listing di Jepang. Itu lima sekaligus pada saat yang sama,” jelasnya.
 
Ia mengungkapkan ada 17 orang, termasuk dirinya, yang mengerjakan ini selama enam bulan di Bandung. “Waktu dibuka itu, rasanya saya mau nangis,” ujarnya. Ia menuturkan pekerjaan selama enam bulan ini dilakukan tanpa henti. Saling debat dan beradu argumentasi harus dijalani siang-malam. Bahkan, ia menyediakan vitamin khusus kepada para anggota tim agar tidak ada yang sakit. “Ini pekerjaan paling menarik yang saya lakukan sejak 1989,” ungkapnya.
 
“Bukan main rasanya saat itu. Saya senang melihat perkembangan Telkom saat ini. Saya sangat bangga,” ujarnya.
 
Tak Pindah Profesi
Di usia yang tak muda lagi ini, Tuti masih konsisten menekuni pekerjaan yang dicintainya ini. Ia pun mengatakan tak akan beralih profesi meski beberapa rekannya kerap memintanya terjun ke Mahkamah Agung (MA). Dan Lev, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, bahkan berulang kali bilang “Tuti, kamu harus menjadi hakim agung”. 
 
Tuti beralasan hidup yang dijalaninya sangat terbatas. Ia mengaku tak akan mampu melawan arus ketika berkiprah di sana. Pun ketika ada orang yang menawarinya menjadi calon legislatif. “Kalau membantu untuk diskusi, saya sih ok-ok saja. Nanti terlalu banyak yang saya tak setuju,” ujarnya.
 
Demikian sekelumit kisah kilas balik perjalanan karier seorang Tuti Hadiputranto. Membincangkan sejumlah pengalamannya ini memang cukup membuat Tuti tersenyum. Apalagi, ketika harus mengungkapkan fakta bahwa ia tak mengerti apa-apa ketika masuk fakultas hukum.
 
“Saya suka kasihan kalau interview anak-anak yang baru sekarang. Ada pertanyaan, apa yang membuat anda ingin menjadi pengacara? Masya Allah, dulu kalau aku ditanya begitu, nggak bakalan lulus aku,” pungkasnya sambil tertawa lebar. 

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d211b2047c00/sri-indrastuti-hadiputranto-berkah-kepatuhan-kepada-bapak

Semangat Si Jambul Putih: Pusaka, Perkara, dan Wanita

Senin, 13 Agustus 2007
Semangat Si Jambul Putih: Pusaka, Perkara, dan Wanita
Buku yang menelanjangi sang ikon hukum.

"Untuk menjaga keputihan rambutnya, Buyung sekali seminggu menggunakan toning Kleur vessteviger zilver vit tot grijs merek Andrelon, sedangkan untuk keramas memakai shampo antiketombe Resdan."
Itulah secuil unrevealed information (informasi rahasia) seputar kehidupan pribadi advokat senior Adnan Buyung Nasution yang dibeberkan dalam buku Semangat Si Jambul Putih: Pusaka, Perkara, dan Wanita. Buku setebal 104 halaman yang ditulis oleh Bunga Kejora tersebut diluncurkan secara resmi bertepatan dengan acara perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-73 Buyung yang diselenggarakan secara meriah di Hotel Borobudur Jakarta, Senin (23/7).
Selintas informasi yang diungkapkan penulis di atas terkesan tidak penting. Apa pentingnya rahasia di balik rambut rapi berwarna putih Buyung dibandingkan komentar atau analisa tajam khasnya yang biasa menghiasi halaman media-media nasional. Tetapi di situ justru kelebihan dari buku ini. Penulis terkesan ingin mengalihkan pandangan para ‘fans’ Buyung dari hal-hal yang berat dan serius.
Dalam buku yang diterbitkan dan didistribusikan oleh Andal Krida Nusantara (AKOER) ini, penulis justru tidak mengangkat analisa kritis Buyung tentang hukum tata negara, dunia advokat, atau perkembangan hukum lainnya. Alih-alih menyebut tokoh-tokoh hukum seperti Montesquieu atau John Locke, buku ini justru memunculkan nama Stewart Granger.
Buat kalangan ABG, nama Stewart mungkin sangat asing. Tapi tidak untuk generasi bapak-ibu atau kakek-nenek kita, karena Stewart adalah artis Hollywood yang melejit pada era 1960-an. Stewart yang aslinya kelahiran London, Inggris adalah insprasi bagi tatanan rambut Buyung. “Dulu saya kagum pada film star Stewart Granger. Orangnya tinggi ganteng, very impressive and dignified,” demikian alasan yang dikemukakan Buyung dalam buku tersebut.
Histori tentang tatanan rambut bukan satu-satunya informasi menarik tentang kehidupan pribadi Buyung yang disajikan oleh buku ini. Penulis juga mengungkapkan rahasia di balik 'keperkasaan' pria kelahiran Mandailing, Sumatera Utara, 20 Juli 1934 ini dalam menjalankan aktivitasnya. Kegiatan Buyung setiap harinya memang sangat padat. Mulai dari menjadi pembicara seminar, memenuhi undangan dari berbagai instansi dan organisasi, dan berpraktik di pengadilan.
Rahasia stamina Buyung ternyata ada di pola hidup yang terbilang sehat atau dibahasakan penulis 'cara hidup positif'. Salah satu resepnya adalah super hati-hati dalam menyantap makanan dan minuman. Penggemar masakan padang ini bahkan memiliki prinsip sendiri soal makan yakni "berhentilah makan di saat lidahmu merasa paling enak". Buyung berpandangan makan hanya untuk kebutuhan hidup, bukan untuk dinikmati sepuasnya. Pola hidup sehat yang diterapkan Buyung semakin lengkap dengan sejumlah dokter pribadi.
Di sisi lain, rasanya hambar kalau berbicara tentang Buyung tanpa menyinggung Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Lembaga pembela rakyat yang didirikan pada 1970 itu merupakan karya monumental dari 'rahim' Buyung. Bak hubungan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, Buyung memperlakukan LBH seperti seorang anak kecil sehingga kadang terkesan terlalu posesif. Dia rela mendedikasikan seluruh waktu, tenaga, dan bahkan hidupnya demi LBH.
“Ya, saya otoriter dalam hal menjaga LBH tetap dalam garis yang sesuai dengan konsep yang dicita-citakan,” tegas Buyung menjawab pandangan sebagian kalangan yang menilai dirinya otoriter untuk urusan LBH. Dia berdalih, LBH harus tetap konsisten pada visi dan misinya, sebagai lembaga hukum yang harus berpijak pada hukum, proses hukum, dan cita-cita negara hukum.
Tidak kurang dari mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan salut atas pengabdian seniornya ini kepada LBH. Bagi Arman -sapaan akrab Abdul Rahman Saleh- pendirian LBH merupakan torehan tinta emas Buyung dalam sejarah perkembangan hukum di negeri ini. "Kalau ada hal yang patut dicatat dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka pendirian YLBHI merupakan momen yang sangat penting," puji Arman ketika memberikan sambutan dalam perayaan HUT Buyung.
Walaupun tidak secara tegas menyatakan diri sebagai sebuah buku biografi, buku ini terbilang sukses membeberkan rekaman perjalanan hidup seorang Buyung. Isu terhangat yakni 'kenekatan' Buyung menerima pinangan Presiden SBY untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pun tak luput dibeberkan.
Lelah berteriak, demikian kira-kira alasan yang dikemukan buku ini terkait keputusan Buyung menerima tawaran tersebut. Buyung menginginkan hasil yang lebih konkret untuk menyelamatkan negara yang diibaratkan kapal yang sedang karam. Maka dari itu, dia merasa perlu mendekat ke pusat kekuasaan.
Lebih dari itu, buku ini bahkan juga mengajak pembaca menyelami pemikiran-pemikiran pemilik tubuh dengan postur 166cm/67kg ini. Mulai dari isu ringan seperti bagaimana berinteraksi dengan kolega sampai isu kontroversial sekalipun, soal poligami. Buyung yang selalu bersikap hangat terhadap semua wanita ini, berpandangan poligami berpotensi merusak keutuhan keluarga karena sulit bagi seorang laki-laki untuk bertindak adil jika memiliki lebih dari satu pasangan.
Kemampuan buku ini merekam secara detil perjalanan hidup Buyung tidak bisa dilepaskan dari faktor pribadi penulis. Bunga bisa dibilang adalah penulis yang tepat yang dapat 'menelanjangi' kehidupan Buyung. Pasalnya, wanita kelahiran Jakarta, 2 November 1959 ini tidak hanya menjadi salah satu orang kepercayaan, tetapi juga menjadi bayangan diri Buyung sejak berkiprah di KPU pada 1999 silam.
Kemana saja Buyung beraktivitas, Bunga selalu mendampinginya. Dia bahkan pernah ditunjuk Buyung untuk menggantikannya dalam rapat-rapat tim penasehat hukum kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Sebuah kepercayaan yang sangat besar mengingat kasus ini merupakan kasus yang cukup sensitif dan menarik perhatian kala itu.
Hubungan yang begitu dekat diakui penulis bisa menjadi keuntungan sekaligus kerugian. Dikatakan keuntungan karena ini bisa menjadi modal yang lebih dari cukup bagi Bunga untuk menjadi saksi hidup sepak terjang bosnya ini. Situasi ini secara tidak langsung juga memberikan akses kepada penulis untuk mengorek segala informasi dari orang-orang terdekat Buyung. Mulai dari anggota keluarga, sahabat, atau bahkan penata rambut pribadi sekalipun.
Namun di sisi lain, faktor kedekatan diakui penulis juga berpotensi menjebak dirinya dalam pandangan subyektif. Demi menyiasatinya, penulis terpaksa merelakan beberapa halaman kepada dua 'orang luar' untuk menorehkan pandangan mereka tentang Buyung. “Syukur-syukur tercapai niat saya sejak awal, menginspirasi semangat manusia untuk menjadi orang lebih berguna sebagai dicontohkan si Jambul Putih Adnan Buyung Nasution,” tutur penulis dalam rangkaian kata pengantar.
Selamat membaca, selamat menelanjangi kehidupan sang ikon hukum.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17355/semangat-si-jambul-putih-pusaka-perkara-dan-wanita

Coretan Kisah Yap Thiam Hien dari Sahabat

Senin, 07 Mei 2012
Coretan Kisah Yap Thiam Hien dari Sahabat
Biografi yang ditulis oleh sahabat Yap, Daniel S Lev sebelum meninggal dunia.

Siapa advokat atau pengacara di Indonesia yang Anda anggap berani menentang sebuah rezim? Mungkin jawabannya tak banyak. Yap Thiam Hien adalah salah satunya. Advokat yang malang melintang sejak era Kemerdekaan, Orde Lama, hingga Orde Baru ini kerap berhadapan dengan pemerintah, terutama dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Saking getolnya memperjuangkan HAM di masa lalu, nama Yap saat ini dijadikan sebagai bentuk penghargaan untuk pejuang HAM di Indonesia setiap tahunnya, melalui Yap Thiam Hien Award. Bahkan, sejumlah lawyer menilai sosok Yap sebagai sosok lawyer hero yang patut ditiru dan diteladani. Sayangnya, masih banyak advokat muda yang belum terlalu akrab dengan sosok pria keturunan Tionghoa ini.

Bila Anda ingin berkenalan dengan Yap, mungkin buku karya mendiang Daniel S Lev perlu menjadi salah satu koleksi Anda. Daniel S Lev, Indonesianis asal Amerika Serikat, menceritakan sosok sahabatnya ini secara paripurna dalam buku bertajuk "No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer". Buku berbahasa Inggris ini menjadi spesial karena inilah salah satu karya terakhir Dan Lev sebelum dia dipanggil yang kuasa.

Buku yang diterbitkan pada 2011 oleh University of Washington Press ini terdiri dari 13 Bab. Dimulai dari kisah Yap yang lahir dari orangtua keturunan Tionghoa dan tumbuh di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Pada Bab I yang bertajuk Aceh, penulis cukup sukses menggambarkan silsilah keluarga Yap dan kehidupannya selama di daerah yang kental nuansa Islamnya itu.

Setelah mengupas kehidupan Yap kecil di Aceh, Dan Lev lalu mengisahkan petualangan Yap ketika menempuh Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)-nya di Pulau Jawa. Bab III membahas kehidupan Yap di Batavia yang sudah mengenal dunia pergerakan dan mengisahkan Yap yang tumbuh sebagai seorang Kristen yang taat.

Yap mengasah ilmu hukumnya dengan berguru ke Leiden, Belanda. Universitas Leiden memang sudah terkenal sebagai penghasil sarjana-sarjana hukum jempolan pribumi sejak zaman Hindia Belanda. Di Universitas Leiden, Yap bukanlah sosok mahasiswa yang luar biasa. Nilainya pun tidak terlalu tinggi. “Mungkin karena dia juga memilih untuk aktif di berbagai kegiatan selama studinya di Belanda,” tulis Dan Lev dalam bukunya tersebut.

Usai menyelesaikan studinya, Yap kembali ke Jakarta pada 1949. Masa-masa itu bukanlah masa yang mudah bagi seorang Yap. Baru kembali dari luar negeri, Yap harus berhadapan kondisi bahwa Indonesia negara yang baru, dan revolusi yang dipimpin oleh Soekarno masih berjalan. Pada masa ini juga, Yap merasakan politik warga Tionghoa di Jakarta (Halaman 139).

Di bidang dunia organisasi advokat, jasa Yap juga tak sedikit. Di era demokrasi terpimpinnya Soekarno, para advokat akhirnya memilih untuk bersatu menggalang kekuatan. Di mulai dari organisasi kecil di daerah, hingga lahirnya Persatuan Advokat Indonesia (PAI) yang menjadi organisasi advokat pertama di Indonesia.

“Hanya empat belas advokat setuju untuk mendirikan Persatuan Advokat Indonesia berkumpul di cafetaria Universitas Indonesia (UI). Yap adalah salah satu di antara mereka,” jelas Dan Lev. Kemudian, PAI ini akhirnya sukses mengumpulkan advokat seluruh Indonesia di Solo untuk menggelar kongres dan mendirikan PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) sebagai organisasi advokat di Indonesia.

Tak hanya mengenai kiprah Yap di publik yang berhasil direkam oleh Dan Lev. Kedekatan Dan Lev dengan Yap sedikit banyak tentu bisa mengupas sisi dalam kehidupan Yap. Dalam buku ini, Dan Lev bahkan berhasil merekam ‘pertengkaran’ Yap dengan istrinya karena Yap tak kapok membela para pencari keadilan meski harus keluar masuk penjara.

Buku ini semakin menarik dengan keterlibatan Sebastian Pompe (pengamat peradilan Indonesia asal Belanda) dan Ibrahim Assegaf (eks Managing Director Hukumonline) yang mengumpulkan kasus-kasus bersejarah yang pernah ditangani oleh Dan Lev semasa Orde Baru. “Kami hanya melengkapi buku yang telah rampung ditulis oleh Pak Dan,” ujar Ibrahim kepada hukumonline.

Jadi, bila Anda ingin mengenal sosok Yap Thiam Hien, maka buku yang tersedia di Daniel S. Lev Library ini adalah literatur wajib yang harus Anda baca.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa72a2e1e06d/coretan-kisah-yap-thiam-hien-dari-sahabat

Dicari, Figur Lawyer Hero

Sabtu, 20 November 2010
Dicari, Figur Lawyer Hero
Mahasiswa lulusan fakultas hukum cenderung memilih karir advokat ketimbang pejabat publik penegak hukum. Materi masih menjadi faktor dominan.

Puluhan tahun yang lalu ketika baru saja lulus dari sekolah menengah atas, Tony Budidjaja muda terkesima dengan sepak terjang Yap Thiam Hien. Integritas Yap dalam menjalankan profesi advokat di mata Tony tidak ada duanya di negeri ini. Atas dasar itulah, Tony lalu memutuskan untuk mengenyam pendidikan di fakultas hukum. 
Kini, setelah lebih dari 15 tahun berkecimpung di dunia praktisi hukum, Tony belum melihat ada sosok yang mampu menandingi, apalagi menggantikan Yap. Dunia advokat, kata Tony, tengah mengalami kelangkaan figur yang benar-benar dapat dimuliakan dan dihormati serta dapat menjadi teladan bagi advokat generasi muda. 
“Saya lihat ada lubang yang cukup besar, kita kehilangan sosok lawyer hero yang benar-benar konsisten dalam upaya penegakan hukum,” ujar Tony dalam acara lokakarya "Crafting Indonesia's Future Lawyers for Tomorrow's World" di Jakarta, Jumat (19/11). 
Keresahan Tony diamini oleh Frans Hendra Winarta. Menurut advokat senior yang juga alumnus LBH ini, kondisi yang sekarang terjadi di antaranya disebabkan oleh minimnya kesadaran advokat akan makna officium nobile. Dia menjelaskan advokat disebut sebagai profesi terhormat atau officium nobile berarti advokat harus memiliki sikap dan tindakan yang senantiasa menghormati hukum dan keadilan. 
Profesi advokat, tegas Frans, bukan semata-mata mencari keuntungan finansial belaka, tetapi di dalamnya juga terdapat idealisme yang harus terus dijunjung tinggi. Kenyataan yang ada di lapangan, advokat cenderung melupakan statusnya sebagaiofficium nobile karena tuntutan kerja yang begitu tinggi seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat atas jasa hukum. 
“Di samping penguasaan keahlian mengenai materi hukum, advokat harus dituntut memiliki karakter officium nobile dalam menjalankan fungsi dan perannya,” tukas Frans mengingatkan.   
Untuk mewujudkan profesi advokat yang officium nobile maka dibutuhkan beberapa faktor pendukung. Menurut Frans, salah satu faktor itu adalah organisasi profesi yang solid. Sayang, kondisi organisasi advokat Indonesia tengah terpuruk lantaran perseteruan yang tak kunjung selesai. Soal ini, Frans memandang DPR harus segera melakukan legislative reviewyang salah satu tujuannya adalah mengkaji ulang urgensi wadah tunggal organisasi advokat atau single bar. 
“Apakah masih relevan (single bar, red.)? karena kalau terus terjadi perpecahan maka pada akhirnya yang rugi adalah para pencari keadilan, mereka tidak mendapatkan jasa hukum yang berkualitas,” paparnya. 
Pendidikan Hukum
Dalam acara yang sama, Prof Hikmahanto Juwana menyoroti lemahnya sistem pendidikan hukum di Indonesia. Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengkritik kurikulum pendidikan hukum yang terlalu menjejali mahasiswa dengan teori. Menurut Hikmahanto, porsi teori-teori hukum seharusnya seimbang dengan praktik serta pembekalan etika dan integritas.
 “Untuk dapat berjalannya Rule of Law maka profesi hukum menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas,” ujar Hikmahanto yang juga dikenal sebagai pakar hukum internasional ini. 
Masalahnya, sumber daya manusia yang berkecimpung di dunia hukum saat ini memiliki kualitas seadanya. Hal ini terjadi “berkat” perlakuan hukum era Soekarno dan Soeharto yang menjadikan profesi hukum tidak mendapatkan tempat yang terhormat. Di era Soeharto yang mengagungkan pembangunan ekonomi, misalnya, pendidikan hukum kalah populer di mata calon mahasiswa dibandingkan ekonomi, teknik, atau kedokteran. 
“Dengan sumber daya manusia yang biasa-biasa saja maka ketika hukum diharapkan menjadi panglima pasca lengsernya Soeharto ternyata tidak mampu,” kata Hikmahanto. 
Makanya, harapan perbaikan sumber daya manusia kini digantungkan pada generasi muda. Menyadari hal ini, Hikmahanto mengaku ketika masih menjabat Dekan, telah berupaya menjaring individu-individu terbaik untuk masuk fakultas hukum. Usahanya berhasil, tetapi sayang begitu lulus, mahasiswa terbaik itu memilih untuk menjadi advokat yang lebih menjanjikan secara materi ketimbang menjadi pejabat publik seperti hakim, jaksa, atau polisi. 
Situasi ini, menurut Hikmahanto, tidak sepenuhnya salah mahasiswa. Negara juga memiliki andil cukup besar sehingga profesi hakim dan pejabat publik penegak hukum lainnya kalah populer. Mahasiswa fakultas hukum tidak bisa dipaksakan untuk memilih karir sebagai hakim jika kesejahteraan serta sistem karir tidak dibenahi.    
Pembenahan sistem pendidikan serta perbaikan kesejahteraan dan sistem karir pejabat publik penegak hukum, menurutnya, menjadi faktor penting yang perlu segera dilakukan. Jika hal ini terwujud, Hikmahanto punya mimpi suatu saat nanti Indonesia akan mengikuti jejak sejarah Amerika Serikat. 
“Dimana orang-orang hukumlah yang memimpin negeri ini,” ujar Hikmahanto seraya menyebut contoh Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat saat ini yang berlatarbelakang pendidikan hukum.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ce6bc38c8110/dicari-figur-lawyer-hero

Yap Thiam Hien: Pelita Bantuan Hukum yang tak Kunjung Padam

Jumat, 13 Agustus 2004
Yap Thiam Hien: Pelita Bantuan Hukum yang tak Kunjung Padam
Salemba, 14 Maret 1963. Ruang kafetaria kampus Universitas Indonesia. Sebanyak 14 tokoh dari beberapa daerah bertemu. Para tokoh advokat itu saling bertukar pikiran di sela-sela Seminar Hukum Nasional I. Meski berlangsung rileks di kafetaria, ajang pertemuan itu justeru berhasil mengusung sebuah ide besar pendirian Persatuan Advokat Indonesia (PAI), yang kemudian menjadi Peradin.

Salah seorang advokat yang hadir dalam pertemuan di kafetaria itu adalah Yap Thiam Hien. Ia mewakili pengacara dari Jakarta bersama-sama AZ Abidin, Harsubeno, Padmo Soemasto dan Loekman Wiriadinata.
Pertemuan di Salemba itu merupakan sepenggal kisah dan kiprah Yap Thiam Hien di dunia advokat Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa nama Yap tak bisa dipisahkan dari ranah hukum, keadilan dan hak asasi manusia, termasuk masalah bantuan hukum. Di bidang bantuan hukum, Yap dikenal sebagai advokat yang sebagian besar hidupnya diabdikan untuk membela kaum tertindas.
Sudah banyak tulisan dan cerita yang mengungkapkan kiprah Yap di bidang hukum, keadilan dan hak asasi manusia. Tidak mengherankan kalau nama besarnya diabadikan sebagai nama penghargaan di bidang penegakan hak asasi manusia: Yap Thiam Hien Award.
Yap lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Ia dibesarkan di lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik itulah agaknya yang menempa pribadi Yap untuk membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan. Tetapi, menurut Daniel S. Lev, seorang pemerhati hukum yang sedang menulis biografi Yap, komitmen Yap terhadap hukum, keadilan dan hak asasi manusia banyak ditempa suasana pendidikan hukum di Negeri Belanda.
Ia memang mendapatkan gelar Mesteer in de Rechten dari Universitas Leiden pada 1947 dan doktor kehormatan dari Vrije University, Amsterdam. Setahun setelah bergelar Mr, Yap kembali ke tanah air, lantas menjalankan profesi sebagai advokat.
Semula ia mengkhususkan diri sebagai pengacara di kalangan warga Tionghoa di Jakarta. Tetapi sejak 1950, ia bergabung bersama John Karuwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka lawfirm. Pengalamannya di dunia advokasi makin bertambah setelah membuka kantor pengacara sendiri sejak 1970.
Tak pandang bulu
Semua orang yang bergelut dalam pemberian bantuan hukum mengakui ketokohan seorang Yap Thiam Hien. Bahkan oleh orang di luar komunitas hukum. Tokoh pers dan pendiri LBH Mochtar Lubis begitu terkesima dengan sikap dan prilaku Yap sehingga ia menyebutnya sebagai �pembela dan anak manusia yang kejujurannya 24 karat'.
Tidak sedikit pengacara yang mengumbar janji kemenangan kepada kliennya padahal ia tahu akan kalah jika dilihat dari ilmu hukum. Tidak sedikit pengacara yang sewaktu menerima klien semata-mata mempertimbangkan imbalan uang. Dan, Mochtar Lubis ingat kata-kata Yap Thiam Hien yang terkenal:
Apa yang hendak Saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak meletakkan kebenaran saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara Anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi (jika) saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran saudara, maka saya mau menjadi pembela saudara.
Begitulah Yap mengungkapkan prinsip hidupnya dalam menjalankan profesi advokat. Dalam memilih klien tak pernah pilih-pilih. Bukan hanya tokoh-tokoh politik, tetapi juga membela seorang pedagang di Pasar Senen yang tergusur. Saat perkara ini masuk pengadilan, Yap melabrak pengacara pemilik gedung yang menyebabkan pedagang tergusur. Bagaimana Anda bisa membantu seorang kaya menentang orang miskin?
Dalam memberi bantuan hukum tidak harus selalu kepada orang yang sepaham atau seideologi. Itu pula yang ditunjukkan Yap saat membela Dr Subandrio dan sejumlah tokoh PKI yang dituding melakukan tindak pidana subversi. Pembelaan Yap yang serius dan teliti terhadap Subandrio kala itu membuat hakim-hakim Mahmilub jengkel. Apalagi selama ini Yap dikenal sebagai advokat yang anti-komunis. Ia malah bersedia membela Siauw Gok Tjan yang mendepaknya dari Baperki.
Setelah tragedi Tanjungpriok 1984 terjadi, Yap juga tampil ke depan membela para tersangka. Demikian pula ketika Pemerintah menangkapi mahasiswa yang diduga terlibat peristiwa Malari pada 1974.
Dari penjara ke penjara
Membela klien secara pro bono memang butuh pengorbanan dan pengabdian. Berjalan di jalan lurus pasti ada resikonya. Yap Thiam Hien telah membuktikan itu, meskipun ia harus mendekam di penjara.
Lantaran kegigihannya menyerang dan menentang korupsi di lembaga pemerintah, Yap harus mendekam di balik jeruji penjara selama seminggu pada 1968. Saat peristiwa Malari terjadi, advokat berperawakan kecil ini juga ditahan tanpa proses peradilan karena pembelaannya dinilai telah menghasut mahasiswa melakukan demo besar-besaran.
Salah satu kasus bersejarah yang menyebabkan Yap dihukum penjara adalah tuduhan pencemaran nama baik. Lantaran membela secara lurus kliennya Tjan Hong Lian di pengadilan, Yap dituduh mencemarkan nama baik seorang jaksa tinggi Jakarta bernama BRM Simanjuntak dan Irjen Polisi Drs Mardjaman. Berdasarkan dakwaan jaksa, Yap diseret ke pengadilan karena menuduh kedua pejabat negara tadi melakukan pemerasan terhadap kliennya. Pada 14 Oktober 1968, PN Jakarta Raya akhirnya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Yap.
Meski keluar masuk penjara Yap tak mengurungkan niatnya untuk membela kaum tertindas. Ia tetap menjalankan politik jalan lurus di dunia advokasi sampai ia merasa lingkungan peradilan mulai tercemari oleh tangan-tangan mafia.
Pasca pengesahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986, mafia peradilan kian terasa  merasuk dan membuat Yap geram. Yap yang dikenal sebagai advokat berpolitik jalan lurus mulai �tereliminasi' dari dunia litigasi. Kantornya mulai sepi dikunjungi klien. Seorang advokat menyindir keadaan itu dengan kalimat: kalau klien mau kalah berperkara silahkan datang ke kantor Yap.
Dalam kata pengantar  buku Yap Thiam Hien Pejuang Hak Asasi Manusia, Todung Mulya Lubis menggambarkan kondisi tersebut dengan baik. Praktek yang dikenal sebagai mafia pengadilan telah membuatnya setengah putus asa untuk terus berjuang di forum pengadilan karena dia mulai melihat bahwa kebenaran dan keadilan bisa diputarbalikkan. Yap pada akhirnya tinggal sebagai advokat model lama yang menunjunjung tinggi etika profesi, idealisme dan aturan main. Dia menolak untuk jadi calo hukum, dan untuk itu ia bersedia kesepian tanpa dikunjungi banyak klien.
Meski sepi klien, Yap pantang menyerah untuk berkiprah menegakkan hukum di tanah air. Di dunia internasional, kiprahnya juga terus berkibar termasuk di International Commission of Jurists. Politik jalan lurus dalam beradvokasi telah mematrikan diri Yap sebagai seorang figur yang memegang prinsip, konsisten dan demokratis. Prinsip hidup yang terus ia tunjukkan hingga maut menjemputnya di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel pada 25 April 1989.
Bak pelita yang tak kunjung padam, nama Yap akan selalu dikenang dalam ranah bantuan hukum di Indonesia. Di sinilah ia hidup, bekerja dan mengabdikan diri. Jalur pengabdian di bidang hukum seperti telah menjadi pilihan hidup yang ditentukan Tuhan kepada Yap.
Seperti yang ia tulis dalam pledoinya di PN Jakarta Raya pada 16 September 1968. Tuhan Allah yang Rahmani dan Rahimi dalam cinta kasih-Nya yang ajaib itu, telah mengkaruniakan bumi dan negara Indonesia ini sebagai tempat lahir dan besar saya, sebagai ruang hidup dan kerja saya. Ia telah menganugerahkan cinta kasih kepada bangsa dan negara Indonesia.
Oleh karena itu, dalam segala ketaatan dan rendah hati, saya bersyukur kepada Yang Maha Besar dan berdoa kiranya diperkenankan menjadi hamba yang setia hal apapun yang dikehendaki-Nya bagi saya.
Seperti firman Tuhan yang ia kutip, Yap berharap diperkenankan menjadi �suatu pelita yang ditaruhkan di atas kaki pelita, maka ia memberi terang kepada segala orang yang berada di dalam rumah'. Dan seorang Yap Thiam Hien telah membuktikan dirinya menjadi salah satu pelita yang tak kunjung padam di dunia hukum.
Meskipun kini dunia peradilan yang telah ditinggalkan Yap kian semrawut. Meskipun prinsip fiat justitia ruat coelum telah terpendam bersama pusaranya di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tapi, kami akan tetap mengenangmu, Mr Yap...(Muhammad Yasin)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10940/yap-thiam-hien-pelita-bantuan-hukum-yang-tak-kunjung-padam