Mahasiswa Harus Diajari Filsafat Hukum Sejak Dini
"Bukan sekedar pasal dalam undang-undang,
tetapi apa yang ada di balik itu. "
Cara belajar
mengajar di kebanyakan fakultas hukum di Indonesia menuai kritikan. Ada yang
menilai cara belajar masih berdimensi satu arah, ada juga yang menilai proses
belajar yang terlalu legalistik. Kritikan ini terkuak dalam sebuah konferensi
internasional tentang pendidikan hukum Asia Tenggara di Universitas Airlangga,
Surabaya, pekan lalu.
Dosen Filsafat Hukum Universitas Binus, Sidarta
mengatakan selama ini mahasiswa hukum hanya diajari teks atau isu
undang-undang, bukan apa konteks undang-undang itu dibuat dan apa latar
belakangnya.
Ia mencontohkan UU Penanaman Modal yang diajarkan di
fakultas-fakultas hukum. Mahasiswa hanya dituntut memahami apa isi dalam UU
tersebut. “Mereka tak diajari kenapa undang-undang itu dibuat, cerita apa di
balik kelahiran undang-undang tersebut. Itu yang nggak pernah diajar di kelas.
Padahal, itu yang harus mereka tahu,” ujarnya.
Sidarta mengatakan proses belajar mengajar yang
terlalu ‘legalistik’ yang akhirnya membuat para sarjana hukum hanya memakai
“kaca mata kuda” ketika terjun ke masyarakat. Ia mengaku yakin bila pemahaman
sejarah undang-undang dan filsafat hukum diajarkan sejak dini, maka wajah
penegakan hukum Indonesia akan berbeda seperti sekarang ini.
“Ketika hakim mengadili kasus KDRT atau Narkoba, dia
tahu filosofi UU itu. Jadi, tak hanya pakai kacamata kuda. Karena ketika dia
kuliah dulu, dosennya menyampaikan dan mengajarkan hal tersebut,” tambahnya.
Karenanya, menurut Sidarta, paradigma para dosen
yang hanya mengajarkan pasal-pasal kepada para mahasiswa hukum harus mulai
diubah. “Dia harus mengajarkan pesan-pesan yang ada di dalam pasal itu,”
tuturnya.
Sidarta mengakui perubahan cara mengajar di fakultas
hukum ini bukan hal yang gampang. Pasalnya, dosen yang berminat kepada filsafat
hukum semakin hari semakin berkurang. Bahkan, ada anekdot bahwa pengajar
filsafat hukum harus dosen yang sepuh. “Di kampus kita biasanya yang mengajar
fisafat hukum itu seiring dengan usianya,” seloroh Sidarta.
Bukan Fakultas Legislasi
Dalam makalahnya, Dosen Hukum Indonesia di
Universitas Leiden, Adriaan Bedner berpendapat fakultas hukum di Indonesia
harus benar-benar kembali menjadi ‘fakultas hukum’, bukan sebagai ‘fakultas
legislasi’ yang hanya mempelajari pasal-pasal dalam undang-undang. Menurut dia,
dosen hukum berperan besar dalam hal ini.
Adriaan menuturkan bahwa dosen hukum harus menjejali
para mahasiswanya dengan bahan-bahan hukum yang kaya dengan “pertimbangan
hukum’, daripada menawarkan analisa secara tekstual. Caranya, mahasiswa harus
dibiasakan bagaimana menyelesaikan sebuah kasus.
“Mereka harus dibiasakan mendiskusikan kasus-kasus
baik yang nyata maupun fiktif dan bagaimana menyelesaikannya secara hukum,”
sebutnya.
Adriaan menjelaskan untuk melakukan ini maka
dibutuhkan materi-materi hukum yang layak daripada hanya sekadar undang-undang
yang sering digunakan. Ini mengharuskan para dosen untuk lebih sering melihat
kasus-kasus hukum yang relevan terhadap subjek mata kuliah yang diajarkannya.
Tugas terpenting para dosen hukum saat ini adalah mulai menginventarisir putusan-putusan
MA yang sudah tersedia di website dan mulai membahas dan mengomentari
putusan-putusan tersebut, sebelum akhirnya dibawa ke mahasiswa untuk
didiskusikan.
Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Guru Besar HTN
Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie berpesan agar para mahasiswa hukum
harus menggali ilmu-ilmu hukum yang bertebaran di internet. Ia berpendapat
suatu saat kehadiran dosen bisa tak diperlukan lagi bila mahasiswa sudah bisa
memanfaatkan internet secara maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar