Minggu, 24 Juli 2016

Mimpi Sarjana Hukum Jadi Pengacara

Mimpi Sarjana Hukum Jadi Pengacara
Sayangnya, kebanyakan alumnus Fakultas Hukum ini belum siap pakai. Mereka banyak menghafal, tapi kurang praktik.
Sejak sekitar 2000, terjadi peningkatan jumlah lulusan sekolah menengah umum (SMU) yang mendaftar ke Fakultas Hukum (FH). Penampilan berbagai pengacara yang bak selebriti di media cetak maupun elektronik tampaknya menjadi pemicu para mahasiswa itu.
Apalagi, para pengacara itu diperlihatkan bergaya hidup glamour dengan kendaran model terbaru dan penghasilan yang menggiurkan. Di Universitas Indonesia (UI) saja contohnya, sejak sekitar tiga tahun belakangan, Fakultas Hukum menduduki peringkat cukup tinggi dalam pilihan peserta Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Entah ada korelasinya atau tidak, kantor Adnan Buyung Nasution and Partner (ABNP), sejak beberapa tahun belakangan ini menerima 50 sampai 100 surat lamaran pekerjaan selama satu minggu. Bayangkan, artinya sekitar 200 sampai 400 surat lamaran per bulan. Tentu saja, jumlah lamaran di kantor ABNP ini tidak bisa dijadikan ukuran bagi seluruh law firm. Maklum, nama besar Abang -- panggilan Adnan Buyung -- tentu menjadi magnet tersendiri bagi lulusan FH di berbagai kota di Indonesia.
Menurut Pia R Akbar Nasution, managing partner di ABNP, lonjakan para pelamar ini dimulai setelah krisis moneter (krismon) sekitar lima tahun yang lalu. Selain karena krismon, menurut Pia, banyaknya pelamar mungkin dipengaruhi juga oleh image mengenai pengacara.
Di mana-mana, lawyer digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai penghasilan yang tinggi, mobil bagus, rumah mewah, dan penampilan yang gaya. Pia menduga, alasan ini pula yang menyebabkan lulusan SMA berbondong-bondong masuk FH. 
Walau FH kini menjadi salah satu primadona -- bersama fakultas-fakultas lain yang telah lama dianggap "berkelas", seperti fakultas bidang eksakta atau ekonomi -- ternyata pendidikan di FH masih belum terlalu berubah. Paling tidak, ini yang tercermin jika kita mendengar keluhan dari pengguna tenaga kerja lulusan FH.
Keluhan yang mereka kemukakan adalah keluhan klise yang sudah kita dengar sejak dahulu. Ternyata, lulusan FH tidak siap pakai dalam dunia kerja. Keluhan ini dikemukakan oleh beberapa law firm, perusahaan, kejaksaan, dan kehakiman yang diwawancarai oleh hukumonline.
Dari law firm yang diwawancara, keluhan mereka nyaris seragam. Pertama, lulusan FH tidak siap pakai karena hanya menguasai teori. Ketika mereka dihadapkan pada suatu kasus, mereka tidak tahu bagaimana mengaplikasikan teori yang telah mereka dapat untuk memecahkan sebuah kasus. Para lulusan FH itu juga lemah dalam melakukan analisa. Apalagi, analisa atas suatu kasus yang terdiri dari beberapa aspek hukum yang berbeda-beda.
Menurut Dhira Juzar dari Wiriadinata Widyawan, salah satu law firm papan atas di Jakarta, sepanjang pengalamannya melakukan rekruitmen, lulusan FH dapat lancar bercerita mengenai isi peraturan perundangan dan teori-teori hukum. "Tapi kalau kita sudah buat dalam kasus, mereka bingung bagaimana harus menerapkan peraturannya," ujar Dhira. Hal yang sama dikatakan oleh Pia R. Akbar dan Indria dari kantor hukum Frans Hendra Winata.
Dira, Pia, maupun Indira meyakini hal itu disebabkan oleh pola pengajaran di FH yang teoritis, kurang ke arah praktik, dan tidak merangsang mahasiswa untuk melakukan analisa, melainkan hanya menghapal. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Vini Siregar, bagian legal British Petroleum, perusahaan minyak internasional.
Praktisi hukum ini mengaku pola pengajaran seperti itu mereka alami saat duduk di bangku kuliah. Dan jika dilihat  dari kualitas kebanyakan lulusan FH saat ini, tampaknya pola pengajaran di FH masih sama dan belum banyak berubah. Mengenai  telah diajarkannya mata kuliah praktik di beberapa universitas, menurut Dhira, hal itu berpengaruh, tetapi tidak signifikan.
Ketika baru masuk, seorang lulusan FH harus dibimbing mulai dari nol. Hal sama dikatakan oleh Pia maupun Indria. Karena itu, biasanya lulusan FH harus mengalami masa magang atau masa penyesuaian lainnya yang lamanya bervariasi antara tiga bulan, enam bulan, sampai satu tahun. 
Akibat pola pengajaran yang hanya menghapal, penguasaan dasar-dasar ilmu hukum lulusan FH cenderung kurang. Misalnya, penguasaan terhadap seluk beluk hukum perdata atau perikatan yang sangat penting bagi seorang konsultan hukum. Juga kemampuan menulis secara baik, jelas dan sistematis, yang disebabkan karena mahasiswa tidak dibiasakan menulis di bangku kuliah.
Dari segi litigasi, Frans Hendra Winata -- pengacara yang sering berparaktek di pengadilan -- menyatakan bahwa FH hanya mengajarkan teori hukum, sedangkan hukum acara kurang intensif diajarkan. Apalagi, di FH tidak ada kuliah kerja atau praktik ke pengadilan.
Karena tidak siapnya lulusan FH untuk berpraktik itu pula, UU Advokat mewajibkan syarat magang selama dua tahun untuk sarjana hukum agar bisa menjadi calon advokat. Selain itu, juga ketentuan mengenai pendidikan khusus bagi calon advokat. Semrawutnya kondisi peradilan saat ini, kata Frans, dikarenakan tidak diajarkannya kode etik di bangku kuliah.  
Kualitas Rendah
Sementara, Muhammad Yamin, Kepala Pusat Pendidikan Latihan (Pusdiklat) Kejaksaan Agung menyampaikan keluhan bahwa selama ini lulusan FH yang masuk Pusdiklat Kejaksaan Agung, berkualitas rendah. Pasalnya, yang masuk Pusdiklat kebanyakan adalah mereka yang berada dibawah standar. "Jadi bagaimanapun ia ditempa selama enam bulan di Pusdiklat tidak akan berhasil, karena memang standarnya rendah," ujar Yamin. 

Rendahnya kualitas itu adalah akibat rekruitmen yang selama ini dilakukan oleh biro kepegawaian. Mengutip istilah Yamin, kadang-kadang yang lolos seleksi kejaksaan adalah sarjana hukum yang berasal dari Perguruan Tinggi yang namanya saja tidak pernah kedengaran. Karena itu, Kejaksaan merencanakan pada tahun depan rekruitmen akan dilakukan oleh lembaga independen, bukan lagi oleh Kejaksaan.
Namun, Wakil II Dekan FHUI, Kurnia Toha, punya pendapat lain. Menurut Kurnia, dalam kurikulum mahasiswa FHUI saat ini terdapat banyak mata kuliah Program Latihan dan Kemahiran Hukum (PLKH), seperti kontrak bisnis, praktik hukum acara perdata, pidana, PTUN, dan sebagainya.
Dalam mata kuliah ini tidak lagi diberikan teori, melainkan  langsung praktik membuat gugatan, replik, duplik, bagaimana bernegosiasi, dan sebagainya. "Mata kuliah ini muatan praktiknya sangat besar. Kalau kita melihat kurikulum yang ada, seharusnya mahasiswa lulusan kita harus lebih mampu dan dekat pada dunia praktik," papar Kurnia.
Dulu, menurut Kurnia, tidak pernah diajarkan bagaimana memberi pendapat hukum, melakukan due diligence. Namun, saat ini ilmu itu sudah diberikan oleh lawyer-lawyer terkenal. Kurnia menduga, mahasiswa yang mendaftar ke beberapa lawfirm dan perusahaan itu bukan mereka yang mengambil matakuliah PLKH. Pasalnya, tidak semua PLKH merupakan mata kuliah wajib dan sebagian merupakan mata kuliah pilihan. Walau pada jaman dahulu kuliah belum diajarkan cara membuat kontrak, ketika lulus mereka tidak mengalami kesulitan karena  mempunyai ilmu dasar yang kuat.
Menurut Kurnia, mahasiswa tidak bisa diharapkan menjadi pintar hanya dengan mendengar dosen memberikan kuliah. Alasannya, di mana saja orang tidak akan mendapat ilmu kalau ia tidak belajar di rumah". Justru kesulitannya, mahasiswa di Indonesia belum mempunyai budaya membaca. "Kadang, walau telah diberi tugas membaca, mahasiswa tetap enggan untuk membaca bahan kuliah," ujar Kurnia.
Di samping itu, fakultas juga telah mengadakan beberapa perbaikan. Seperti, memberi pelatihan bagi dosen mengenai cara mengajar yang lebih menarik. Juga setiap akhir semester, untuk setiap matakuliah, mahasiswa diminta mengisi kuesioner mengenai evaluasi terhadap dosen mata kuliah itu. Dari situ, pihak fakultas mendapat input mengenai kinerja dosen tersebut.
FHUI sedang berencana membangun perpustakaan yang direncanakan sebagai perpustakaan terlengkap di Indonesia. "Karena kami berprinsip, orang pintar itu modalnya harus buku. Buku dulu, praktik tambahan. Kalau bukunya kurang, bacanya kurang, ya susah," cetus Kurnia.
Menurut Kurnia, kelemahan ada di dua pihak. Dari pihak dosen, misalnya mengajarnya kurang menarik, atau jarang masuk. Dari pihak mahasiswa, malas membaca. Kurnia menuding Sistem Satuan Kredit Semester (SKS) yang saat ini berlaku sebagai salah penyebab juga.
Dengan sistem SKS, mahasiswa mengejar waktu, ingin cepat lulus, sehingga belajar hanya agar cepat selesai kuliah. Di satu sisi, ada keuntungan bahwa mahasiswa cepat selesai kuliah. Namun di sisi lain, persiapan mereka agak kurang. Sistem SKS  ini baru bisa jalan kalau ada ikutannya, yaitu harus berani membaca sendiri, tugas-tugas harus diselesaikan. "Ini yang kurang. Jangankan yang lain-lain, yang wajib saja susah," tutur Kurnia.
Bahasa Inggris
Hal lain yang juga seragam dikeluhkan oleh law firm dan perusahaan adalah kemampuan bahasa Inggris. Dhira bercerita tentang pengalamannya ketika mewawancarai seorang pelamar.

Setelah bertanya dalam bahasa Indonesia, Dhira berkata, "OK, mulai sekarang saya akan berbicara dalam bahasa Inggris, tolong dijawab dengan bahasa Inggris pula." Tak diduga, ternyata si pelamar langsung pamit pulang. "Sudah deh Bu, saya tidak akan bisa menjelaskan apa-apa pada Ibu dalam bahasa Inggris," ujar Dira menirukan. "Bahkan, ia tidak mau mencoba," cetusnya heran. 
Meskipun mahasiswa masa kini relatif lebih lancar berbahasa Inggris, agaknya banyak yang kesulitan menyampaikan terminologi hukum secara benar. "Walaupun anak sekarang lebih cas-cis-cus, tapi kalau di pekerjaan kan bahasa Inggrisnya formil, bukan bahasa Inggris gaul," kata Phia.
Dhira pun menyatakan keheranannya karena banyak lulusan FH tidak familiar dengan terminologi hukum dalam bahasa Inggris, termasuk untuk terminologi yang sangat sederhana, seperti Anggaran Dasar.  Bagi Vini, karena perusahannya adalah perusahaan asing, kemampuan bahasa Inggris menjadi lebih penting lagi. Dengan bahasa Inggris yang kurang baik, sulit diharapkan mereka dapat bekerja sama dengan para expatriat di kantor itu.    
Mengenai kemampuan bahasa Inggris, Kurnia menyatakan bahwa saat ini kemampuan bahasa Inggris mahasiswa sudah lumayan bagus. Banyak mahasiswa yang memiliki nilai TOEFL di atas 500. Namun, fakultas merencanakan agar lulusan FH mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang bagus. Untuk itu, diadakan program kursus bahasa Inggris bagi mahasiswa yang berminat. Jika mahasiswa itu tidak punya uang, kursus diberikan secara gratis. Kalaupun membayar, hanya Rp50 ribu per bulan.
Sayangnya, ternyata peminat kursus bahasa Inggris itu nyaris tidak ada. Fakultas keluar uang sampai Rp10 juta untuk membayar dosennya, tapi pesertanya tidak ada, hanya lima sampai sepuluh orang. "Saya akhirnya bilang kita keluar uang mau memajukan mahasiswa, kok dia nggak minat," kata Kurnia. Ia menduga, para mahasiswa itu sudah kursus bahasa Inggris di luar kampus atau sebagian dari mereka lebih tertarik untuk aktif dalam kegiatan mahasiswa daripada mengikuti kursus.
Menurut Abdul Bari Azed, Dekan FHUI, untuk mempertemukan dunia dunia praktik dan pasar dunia kerja bergantung kepada mahasiswa itu sendiri. "Ia harus tetap menggali ilmunya dengan membaca dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang sudah kami siapkan sebagai program untuk meningkatkan lulusan kita supaya siap pakai," ujar Bari.
Bari bercerita bahwa FHUI mempunyai Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (PPLIH) yang mengadakan kursus-kursus untuk menambah kesiapan lulusan FH, seperti legal drafting, legal english, dan lain-lain. Tentu saja, kursus ini tidak gratis. Namun, fakultas pernah pula bekerjasama dengan sebuah law firm untuk mengadakan pelatihan selama tiga minggu bagi mahasiswa.
Kurnia menyatakan sistem pendidikan di Indonesia juga berbeda bila dibandingkan dengan negara lain. Di Indonesia, FH merupakan pendidikanundergraduate. Sementara di negara lain, mahasiswa law school sudah menempuh pendidikan undergraduate. "Lulusan law school di sana lebih pintar bekerja karena dia memang sudah bekerja sebelum masuk law school, " cetusnya.
Padahal di Indonesia, anak ekstensi yang sudah bekerja, tentu lebih siap kerja. Sementara yang reguler, lulus SMA masuk lalu dididik. "Kalau diharapkan begitu keluar langsung bisa bekerja, tentu butuh waktu sedikit untuk penyesuaian dan penularan ilmu dari seniornya, baru bisa bekerja, " kata Kurnia.
Indeks Prestasi
Di FHUI, program kekhususan hukum bisnis menjadi primadona. Setelah itu, menyusul program kekhususan praktik hukum yang menjadi advokat, atau hukum internasional.

Menurut Bari, sangat jarang mahasiswa yang mau menjadi hakim atau jaksa. Karena itu, pihak kejaksaan sampai meminta nama-nama lulusan dari FHUI untuk mengikuti tes menjadi hakim dan jaksa. Sejak tahun lalu, sudah ada beberapa lulusan FHUI yang menjadi calon hakim. Termasuk, seorang lulusan terbaik FHUI yang memilih jadi hakim.
Dengan berbagai keluhan terhadap mutu lulusan FH, bagaimana law firm dan perusahaan menseleksi calon karyawannya? Dhira Juzar menyatakan bahwa dalam proses rekruitmen, kantornya biasanya melihat Indeks Prestasi (IP)  terlebih dahulu. Selama ini, di antara lulusan FH, Wiriadinata Widayawan memang  dikenal sebagai law firm yang merekrut mahasiswa ber IP tinggi.
Namun menurut Dhira, IP tinggi itu tetap masih dipertimbangkan lagi. Pasalnya, beberapa universitas cenderung mengobral memberikan IP tinggi. Sementara universitas lain lebih pelit dalam memberikan IP yang tinggi. "Seperti  dari Universitas Padjajaran (Unpad), semua yang mendaftar ke sini, semua IP-nya di atas tiga. Sementara UI, untuk mendapat tiga harus agak luar biasa," ujarnya.
Dhira berterus terang bahwa mereka mendahulukan lulusan Perguruan Tinggi Negeri ketimbang Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Lulusan PTS akan dipertimbangkan selama prestasi akademiknya sangat di atas rata-rata atau pengalaman kerjanya luar biasa. Dhira juga menyatakan bahwa sebagian besar mereka yang diterima di kantornya adalah mereka yang berasal dari Jakarta.  Namun, itu bukan karena anak Jakarta lebih pintar dibanding mereka yang dari daerah.
Dari segi intelektualitas, banyak anak-anak daerah yang sangat pintar. Hanya saja biasanya yang di Jakarta lebih unggul dalam bahasa Inggris dan mempunyai percaya diri yang besar. Apalagi, mereka mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengikuti seminar, workshop, atau pendidikan lainnya.
Sementara Pia mengaku, tidak terlalu percaya dengan IP. Karena dari beberapa kali pengalamannya mewawancarai anak yang ber-IP tinggi, begitu diajak berbicara, mereka hanya melongo. "Saya tidak tahu kenapa, mungkin mereka hanya menghapal. Tapi ketika kita tanya hal-hal yang aktual, misalnya kasus bank Lippo,  mereka tidak mengerti apa-apa. Bahkan, apa kasusnya saja tidak mengerti," ujar Pia. Karena itu, Pia melihat juga apa saja kegiatan mahasiswa itu semasa kuliah. Bahasa Inggris tentu saja merupakan hal yang menjadi perhatian pula.
Di ABNP, seleksi yang pertama dilakukan adalah berdasarkan CV pelamar. Setelah itu, dilakukan tes tertulis. Jika lulus, mereka akan diinterview olehsenior lawyer. Selanjutnya, interview lagi dengan partner. Tahap terakhir adalah interview dengan founder, yaitu si Abang. Keputusan final apakah seseorang diterima atau tidak, ada di tangan Abang.
Pia menyatakan, workshop yang diikuti pelamar, biasanya menjadi nilai plus. Karena, menurut Pia, mereka yang mengikuti workshop paling tidak  biasanya lebih berani mengemukakan pendapat dibanding lainnya. Bahkan, ABNP pernah bekerjasama membuat workshop dengan senat mahasiswa salah satu perguruan tinggi. Peserta workshop yang menonjol diberi tawaran untuk bekerja di law firm itu. Pia menyatakan, mencari kandidat potensial melalui workshop merupakan cara yang efektif, karena law firm melihat sendiri kualitas calon.
Sementara yang dilakukan oleh BP adalah langsung membuka pendaftaran di beberapa  universitas. Ada tiga universitas yang biasanya dituju, yaitu UI, Unpad dan Universitas Gajah Mada (UGM). Pilihan ini lebih karena mereka yang melakukan rekruitmen merupakan lulusan dari universitas itu. Dari tiap universitas, ada sekitar 100 orang yang mendaftar. Biasanya, ada lima yang dianggap memenuhi kualifikasi untuk nantinya dipilih satu.
Tampaknya, pasar sudah tahu ke mana mereka harus mencari bibit potensial. Dengan kemampuan pas-pasan, jangan harap alumnus FH bisa mendapatkan tempat yang bagus. Kalau masih juga berharap kerja di law firm bergaji dolar dengan fasilitas yang OK, itu cuma 'mimpi kali yee'.

1 komentar: