Rabu, 11 Januari 2017

Sri Indrastuti Hadiputranto: Berkah Kepatuhan Kepada Bapak

Senin, 03 Januari 2011
Edsus Akhir Tahun 2010:
Sri Indrastuti Hadiputranto: Berkah Kepatuhan Kepada Bapak
Tuti mengaku tak senang bersengketa di pengadilan. Sepanjang kariernya sebagai pengacara, perkara litigasi yang ditanganinya pun bisa dihitung dengan jari.

Siapa tak kenal dengan Sri Indrastuti Hadiputranto atau sering dipanggil Tuti Hadiputranto? Bila anda orang yang berkecimpung di dunia hukum tentu mengenal atau minimal pernah mendengar nama ini. Ya, dia adalah salah seorang pendiri sekaligus partner Hadiputranto Hadinoto and Partner (HHP). Konon, katanya lawfirm ini termasuk salah satu tujuan utama para sarjana hukum yang ingin berprofesi sebagai pengacara.
 
Bersama dengan (almarhumah) Tuti Dewi Hadinoto, ia mendirikan lawfirm ini sejak 21 tahun yang lalu. Sebelumnya, ia pernah mendirikan lawfirm Lubis, Hadiputranto, Ganie, Surowidjojo (LHGS) dan memimpin kantor cabang LHGS di Seattle, Washington, Amerika Serikat pada periode 1986-1989. Setelah ditinggal Tuti, kantor hukum ini berubah nama menjadi Lubis, Ganie, dan Surowidjojo (LGS).
 
Tuti yang telah berpuluh tahun malang melintang di dunia pengacara memang termasuk lawyer perempuan di bidang commercial law yang top di Indonesia. Beberapa klien dari perusahaan-perusahaan besar pernah merasakan tangan dinginnya dalam memberikan opini hukum. Namun, siapa sangka bila Tuti justru tak pernah terpikir akan berkecimpung di bidang ini.
 
“Sebetulnya agak aneh ya. Sejak dulu, saya tak memiliki cita-cita menjadi pengacara atau advokat. Sama sekali. Saya inginnya jadi insinyur, atau dokter, atau ekonom,” ungkapnya kepada hukumonline, Selasa (28/12).
 
Impian Tuti menjadi insinyur tak didukung oleh ayahnya. Kala itu, ayahnya mengatakan telah ada seorang insinyur perempuan di dalam keluarga, yaitu kakak Tuti. “Dia bilang kita tak perlu dua insinyur wanita di keluarga,” ungkapnya. Lalu, ketika ia ingin masuk jurusan kedokteran dan ekonomi sudah terlambat.
 
Tuti mengingat pada saat itu ia sempat enggan melanjutkan sekolah. “Jadi, saya akhirnya nggak mau sekolah,” tuturnya sambil tertawa kecil. Namun, ayahnya meminta ia untuk mencoba masuk sekolah hukum dan kelak menjadi lawyer, karena ayahnya melihat Tuti memiliki kemampuan untuk menganalisa.    
 
“Lalu, bapak saya bilang jadilah lawyer karena lawyer paling fleksibel; mau kerja di mana pun bisa,” jelasnya menceritakan alasan ayahnya itu.
 
Singkat cerita, masuklah Tuti ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia (dahulu bernama Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial). “Terus terang, masuk sekolah hukum di dua tahun pertama sama sekali nggak enjoy. Tapi saya paksakan, ya sudahlah ini kan kemauan orangtua, sampai saya bilang kalau saya lulus, sertifikatnya buat bapak,” selorohnya.
 
Tuti mengantongi titel Sarjana Hukum pada 1970. “Setelah lulus, bingung, mau kemana ya. Kerja nggak ada bayangan. Awalnya, saya ingin jadi notaris aja deh,” ujarnya. Namun, akhirnya guratan takdirlah yang mengantarnya bekerja di kantor Konsultan Hukum milik Adnan Buyung Nasution. Di kantor ini, perkara yang ditangani memang fokus pada hukum bisnis.  
 
“Karena bidangnya benar-benar sangat baru di Indonesia. Bagi saya sangat menantang. Very interesting. Dan tidak berhubungan dengan sengketa. Ini hubunganya dengan bisnis,” ujarnya. Impian awalnya yang ingin berkecimpung di dunia Ekonomi pun tersalurkan. Disinilah titik awal yang membuat Tuti semakin mantap menekuni profesi sebagai commercial lawyer.    
 
Tak Suka Pengadilan
Tuti menuturkan satu alasan mengapa ia memilih dunia non-litigasi. “Saya nggak senang ke pengadilan. Kalau sengketa itu saya memang tak senang. Meskipun di sini kerjanya berdebat juga. Tapi kalau beradu mulut di pengadilan, ah bukan saya lah,” ujar perempuan yang tercatat sebagai Leading Lawyer oleh Majalah International Financial Law Review (IFLR) pada 2010 ini.
 
 
Sepanjang hidupnya, Tuti menuturkan hanya sedikit menangani perkara-perkara litigasi. Itu pun hanya sebagai asisten. “Sekedar datang ke pengadilan. Ya hanya melihat-lihat,” ujarnya. Beberapa kasus yanng pernah ditangani di bidang litigasi adalah kasus pidana, adopsi anak sampai perkara merek.
 
“Saya memimpin tim (dalam litigasi,-red) secara langsung nggak pernah. Nggak kepingin aja. Orang kok sengketa atau ribut aja. Jadi, saya memilih bidang hukum yang bukan mengenai sengketa. Yang lebih menggairahkan keadaan ekonomi. Karena dari dulu senangnya memang itu,” jelasnya.
 
Senang Klien Keren
Tuti memang sangat menyukai pekerjaannya ini. Salah satu alasannya karena, bekerja di bidang capital market, mereka biasanya bekerja dalam satu tim. Tidak ada pekerjaan yang hanya dikerjakan oleh satu orang. “Sukanya karena bisa bekerja erat dengan mereka-mereka ini, jadi kita nggak sendirian,” jelasnya.
 
Apalagi, bila kadang-kadang klien suka rewel. Namun, bila klien yang dihadapi cukup keren, para anggota di tim itu biasanya saling berebut. “Kalau kliennya keren, meetingnya balapan. Kalau kliennya nggak keren, orang-orang bilang mbak Tuti aja deh,” seloroh wanita yang cukup hangat dan humoris ini.
 
Inti bekerja dalam satu tim, bagi Tuti adalah terbaginya beban yang harus dipikul. Itu yang ia alami ketika menangani Telkom pada saat melaksanaakan penawaran umum perdana pada 1995-an. “Telkom dan satu-satunya perusahaan Indonesia yang listing di bursa Surabaya, bursa Jakarta, bursa new york, bursa London, dan penawaran umum tanpa listing di Jepang. Itu lima sekaligus pada saat yang sama,” jelasnya.
 
Ia mengungkapkan ada 17 orang, termasuk dirinya, yang mengerjakan ini selama enam bulan di Bandung. “Waktu dibuka itu, rasanya saya mau nangis,” ujarnya. Ia menuturkan pekerjaan selama enam bulan ini dilakukan tanpa henti. Saling debat dan beradu argumentasi harus dijalani siang-malam. Bahkan, ia menyediakan vitamin khusus kepada para anggota tim agar tidak ada yang sakit. “Ini pekerjaan paling menarik yang saya lakukan sejak 1989,” ungkapnya.
 
“Bukan main rasanya saat itu. Saya senang melihat perkembangan Telkom saat ini. Saya sangat bangga,” ujarnya.
 
Tak Pindah Profesi
Di usia yang tak muda lagi ini, Tuti masih konsisten menekuni pekerjaan yang dicintainya ini. Ia pun mengatakan tak akan beralih profesi meski beberapa rekannya kerap memintanya terjun ke Mahkamah Agung (MA). Dan Lev, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, bahkan berulang kali bilang “Tuti, kamu harus menjadi hakim agung”. 
 
Tuti beralasan hidup yang dijalaninya sangat terbatas. Ia mengaku tak akan mampu melawan arus ketika berkiprah di sana. Pun ketika ada orang yang menawarinya menjadi calon legislatif. “Kalau membantu untuk diskusi, saya sih ok-ok saja. Nanti terlalu banyak yang saya tak setuju,” ujarnya.
 
Demikian sekelumit kisah kilas balik perjalanan karier seorang Tuti Hadiputranto. Membincangkan sejumlah pengalamannya ini memang cukup membuat Tuti tersenyum. Apalagi, ketika harus mengungkapkan fakta bahwa ia tak mengerti apa-apa ketika masuk fakultas hukum.
 
“Saya suka kasihan kalau interview anak-anak yang baru sekarang. Ada pertanyaan, apa yang membuat anda ingin menjadi pengacara? Masya Allah, dulu kalau aku ditanya begitu, nggak bakalan lulus aku,” pungkasnya sambil tertawa lebar. 

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d211b2047c00/sri-indrastuti-hadiputranto-berkah-kepatuhan-kepada-bapak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar