Senin, 03 Oktober 2016

Bahas Kepailitan, Sidang Doktor Hotman Paris Penuh Tawa

Bahas Kepailitan, Sidang Doktor Hotman Paris Penuh Tawa  

SELASA, 21 JUNI 2011 | 19:10 WIB

TEMPO InteraktifBANDUNG  - Seperti apa sidang promosi doktor pengacara kondang Hotman Paris Hutapea? Di hadapan 11 penguji Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung , Selasa 21 Juni 2011 itu, Hotman Paris mempertahankan disertasinya dengan penuh gelak tawa. Beberapa kali, Hotman menjawab pertanyaan tim penguji dalam sidang ilmiah itu dengan lugas, seperti layaknya dia menghadapi sidang di pengadilan.
Lelaki kelahiran Tapanuli 1959 ini membahas kemajuan teknologi menimbulkan masalah hukum baru bagi Pengadilan Niaga dan Pengadilan Umum di Indonesia.

Disertasi itu berjudul  "  Kepailitan Berdasarkan Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang Diterbitkan Oleh Perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) di Luar Negeri Serta Dijamin Oleh Perusahaan Indonesia"
Dalam disertasi itu,  Hotman menyebutkan perdagangan obligasi tanpa warkat dengan sistem  book entry system   sebagai masalah utama. Sistem itu, kata   Hotman,  sering dilakukan di berbagai lembaga  depository dan clearing clearstream ."Akibatnya, sering  menimbulkan masalah hukum baru dan dualisme di berbagai putusan di pengadilan," papar Hotman.
Hotman juga memaparkan pengalamannya saat mewakili klien mengajukan permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada hari pertama Pengadilan itu resmi dibuka. Dia mengaku telah lama mengamati kesalahan dan penyalahgunaan penerapan asa pembuktian sederhana (sumir) dalam putusan pengadilan niaga.
Menurut Hotman, Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung banyak mengeluarkan putusan yang menolak permohonan kepailitan dan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan alasan pasal 8 ayat (4) UU nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Dari hasil penelitiannya, Hotman menilai Obligasi Dijamin yang diterbitkan dengan tujuan menghindari pembayaran pajak atas bunga ke pemerintah Indonesia merupakan obligasi yang dibuat dengan dasar perbuatan melanggar, atau batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Kedua, sering terjadi kesalahan atau penyalahgunaan asas pembuktian sederhana untuk kasus-kasus utang kepailitan yang didasarkan pada Obligasi Dijamin. Ketiga, pendirian Perusahaan SPV tidak melanggar hukum, namun perusahaan SPV sering dipergunakan untuk tujuan melanggar hukum, sehingga yang perlu diatur adalah penggunaan SPV per segmen usaha tertentu
Keempat, menurut Hotman, pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan tahun 2004 dihapus. Selain itu, pengadilaan Niaga juga tidak boleh menolak mengadili dengan alas an bukan perkara sumir (tidak sederhana) dan harus memutus berdasarkan substansi kasus. Kelima, agar pengadilan Indonesia menerapkan doktrin stare decisis
Dalam disertasinya, Hotman juga menuliskan beberapa saran, diantaranya, menyarankan pengadilan Niaga dan pengadilan umum secara konsisten menyatakan batal demi hukum setiap Obligasi Dijamin yang diterbitkan perusahaan SPV di negara asing yang memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan pemerintah Indonesia.
Selain itu, dia juga menyarankan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyempurnakan syarat-syarat kepailitan di dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 222 UU Kepailitan 2004, khususnya tentang pengertian dan unsur dari kata “dapat ditagih” dari suatu utang.
Hotman, resmi menyandang titel doktor setelah sukses mempertahankan disertasi tersebut dalam sidang di hadapan tim penguji di Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran Bandung, Selasa 21 Juni 2011. Dia meraih predikat cum laude atau lulus dengan nilai sangat memuaskan.
Tim Promotor Hotman terdiri dari Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, Prof. Dr. Yudha Bhakti, dan Prof. Dr. Ahmad Ramli. Sementara itu, tim penguji terdiri dari Lili Rasjid, Rukmana Amanwinata, Nindyo Pramono, Lastuti Abubakar, dan An An Chandrawulan. Mewakili guru besar, hadir Prof. Huala Adolf.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar