Salah seorang advokat yang hadir
dalam pertemuan di kafetaria itu adalah Yap Thiam Hien. Ia mewakili
pengacara dari Jakarta bersama-sama AZ Abidin, Harsubeno, Padmo Soemasto dan Loekman Wiriadinata.
Pertemuan di
Salemba itu merupakan sepenggal kisah dan kiprah Yap Thiam Hien di dunia
advokat Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa nama Yap tak bisa
dipisahkan dari ranah hukum, keadilan dan hak asasi manusia, termasuk
masalah bantuan hukum. Di bidang bantuan hukum, Yap dikenal sebagai
advokat yang sebagian besar hidupnya diabdikan untuk membela kaum
tertindas.
Sudah banyak
tulisan dan cerita yang mengungkapkan kiprah Yap di bidang hukum,
keadilan dan hak asasi manusia. Tidak mengherankan kalau nama besarnya
diabadikan sebagai nama penghargaan di bidang penegakan hak asasi
manusia: Yap Thiam Hien Award.
Yap lahir di
Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara
pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Ia dibesarkan di lingkungan
perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik
itulah agaknya yang menempa pribadi Yap untuk membenci segala bentuk
penindasan dan kesewenang-wenangan. Tetapi, menurut Daniel S. Lev,
seorang pemerhati hukum yang sedang menulis biografi Yap, komitmen Yap
terhadap hukum, keadilan dan hak asasi manusia banyak ditempa suasana
pendidikan hukum di Negeri Belanda.
Ia memang
mendapatkan gelar Mesteer in de Rechten dari Universitas Leiden pada
1947 dan doktor kehormatan dari Vrije University, Amsterdam. Setahun
setelah bergelar Mr, Yap kembali ke tanah air, lantas menjalankan
profesi sebagai advokat.
Semula ia
mengkhususkan diri sebagai pengacara di kalangan warga Tionghoa di
Jakarta. Tetapi sejak 1950, ia bergabung bersama John Karuwin, Mochtar
Kusumaatmadja dan Komar membuka lawfirm. Pengalamannya di dunia advokasi makin bertambah setelah membuka kantor pengacara sendiri sejak 1970.
Tak pandang bulu
Semua orang yang
bergelut dalam pemberian bantuan hukum mengakui ketokohan seorang Yap
Thiam Hien. Bahkan oleh orang di luar komunitas hukum. Tokoh pers dan
pendiri LBH Mochtar Lubis begitu terkesima dengan sikap dan prilaku Yap
sehingga ia menyebutnya sebagai pembela dan anak manusia yang
kejujurannya 24 karat'.
Tidak sedikit
pengacara yang mengumbar janji kemenangan kepada kliennya padahal ia
tahu akan kalah jika dilihat dari ilmu hukum. Tidak sedikit pengacara
yang sewaktu menerima klien semata-mata mempertimbangkan imbalan uang. Dan, Mochtar Lubis ingat kata-kata Yap Thiam Hien yang terkenal:
Apa yang hendak
Saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak
meletakkan kebenaran saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika
saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara
Anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi (jika) saudara merasa cukup
dan puas mengemukakan kebenaran saudara, maka saya mau menjadi pembela
saudara.
Begitulah Yap
mengungkapkan prinsip hidupnya dalam menjalankan profesi advokat. Dalam
memilih klien tak pernah pilih-pilih. Bukan hanya tokoh-tokoh politik,
tetapi juga membela seorang pedagang di Pasar Senen yang tergusur. Saat
perkara ini masuk pengadilan, Yap melabrak pengacara pemilik gedung yang
menyebabkan pedagang tergusur. Bagaimana Anda bisa membantu seorang
kaya menentang orang miskin?
Dalam memberi
bantuan hukum tidak harus selalu kepada orang yang sepaham atau
seideologi. Itu pula yang ditunjukkan Yap saat membela Dr Subandrio dan
sejumlah tokoh PKI yang dituding melakukan tindak pidana subversi.
Pembelaan Yap yang serius dan teliti terhadap Subandrio kala itu membuat
hakim-hakim Mahmilub jengkel. Apalagi selama ini Yap dikenal sebagai
advokat yang anti-komunis. Ia malah bersedia membela Siauw Gok Tjan yang
mendepaknya dari Baperki.
Setelah tragedi
Tanjungpriok 1984 terjadi, Yap juga tampil ke depan membela para
tersangka. Demikian pula ketika Pemerintah menangkapi mahasiswa yang
diduga terlibat peristiwa Malari pada 1974.
Dari penjara ke penjara
Membela klien secara pro bono memang butuh pengorbanan dan pengabdian. Berjalan di jalan lurus pasti ada resikonya. Yap Thiam Hien telah membuktikan itu, meskipun ia harus mendekam di penjara.
Lantaran
kegigihannya menyerang dan menentang korupsi di lembaga pemerintah, Yap
harus mendekam di balik jeruji penjara selama seminggu pada 1968. Saat
peristiwa Malari terjadi, advokat berperawakan kecil ini juga ditahan
tanpa proses peradilan karena pembelaannya dinilai telah menghasut
mahasiswa melakukan demo besar-besaran.
Salah satu kasus bersejarah yang menyebabkan Yap dihukum penjara adalah tuduhan pencemaran nama baik. Lantaran membela secara lurus kliennya Tjan Hong Lian di pengadilan, Yap dituduh mencemarkan
nama baik seorang jaksa tinggi Jakarta bernama BRM Simanjuntak dan
Irjen Polisi Drs Mardjaman. Berdasarkan dakwaan jaksa, Yap diseret ke
pengadilan karena menuduh kedua pejabat negara tadi melakukan pemerasan
terhadap kliennya. Pada 14 Oktober 1968, PN Jakarta Raya akhirnya
menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Yap.
Meski keluar
masuk penjara Yap tak mengurungkan niatnya untuk membela kaum tertindas.
Ia tetap menjalankan politik jalan lurus di dunia advokasi sampai ia
merasa lingkungan peradilan mulai tercemari oleh tangan-tangan mafia.
Pasca pengesahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986, mafia peradilan kian terasa merasuk
dan membuat Yap geram. Yap yang dikenal sebagai advokat berpolitik
jalan lurus mulai tereliminasi' dari dunia litigasi. Kantornya mulai
sepi dikunjungi klien. Seorang advokat menyindir keadaan itu dengan
kalimat: kalau klien mau kalah berperkara silahkan datang ke kantor Yap.
Dalam kata pengantar buku
Yap Thiam Hien Pejuang Hak Asasi Manusia, Todung Mulya Lubis
menggambarkan kondisi tersebut dengan baik. Praktek yang dikenal sebagai
mafia pengadilan telah membuatnya setengah putus asa untuk terus
berjuang di forum pengadilan karena dia mulai melihat bahwa kebenaran
dan keadilan bisa diputarbalikkan. Yap pada akhirnya tinggal sebagai
advokat model lama yang menunjunjung tinggi etika profesi, idealisme dan
aturan main. Dia menolak untuk jadi calo hukum, dan untuk itu ia
bersedia kesepian tanpa dikunjungi banyak klien.
Meski sepi
klien, Yap pantang menyerah untuk berkiprah menegakkan hukum di tanah
air. Di dunia internasional, kiprahnya juga terus berkibar termasuk di International Commission of Jurists. Politik jalan lurus dalam beradvokasi telah mematrikan
diri Yap sebagai seorang figur yang memegang prinsip, konsisten dan
demokratis. Prinsip hidup yang terus ia tunjukkan hingga maut
menjemputnya di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel pada 25 April 1989.
Bak pelita yang
tak kunjung padam, nama Yap akan selalu dikenang dalam ranah bantuan
hukum di Indonesia. Di sinilah ia hidup, bekerja dan mengabdikan diri.
Jalur pengabdian di bidang hukum seperti telah menjadi pilihan hidup yang ditentukan Tuhan kepada Yap.
Seperti yang ia tulis dalam pledoinya di PN Jakarta Raya pada 16 September 1968. Tuhan
Allah yang Rahmani dan Rahimi dalam cinta kasih-Nya yang ajaib itu,
telah mengkaruniakan bumi dan negara Indonesia ini sebagai tempat lahir
dan besar saya, sebagai ruang hidup dan kerja saya. Ia telah
menganugerahkan cinta kasih kepada bangsa dan negara Indonesia.
Oleh
karena itu, dalam segala ketaatan dan rendah hati, saya bersyukur
kepada Yang Maha Besar dan berdoa kiranya diperkenankan menjadi hamba
yang setia hal apapun yang dikehendaki-Nya bagi saya.
Seperti firman Tuhan yang ia kutip, Yap berharap diperkenankan menjadi suatu pelita yang ditaruhkan di atas kaki pelita, maka ia memberi terang kepada segala orang yang berada di dalam rumah'. Dan seorang Yap Thiam Hien telah membuktikan dirinya menjadi salah satu pelita yang tak kunjung padam di dunia hukum.
Meskipun kini dunia peradilan yang telah ditinggalkan Yap kian semrawut. Meskipun prinsip fiat justitia ruat coelum telah terpendam bersama pusaranya di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tapi, kami akan tetap mengenangmu, Mr Yap...(Muhammad Yasin)
sumber :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10940/yap-thiam-hien-pelita-bantuan-hukum-yang-tak-kunjung-padam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar