Senin, 24 Februari 2014

Dosen Fakultas Hukum Malas, Mahasiswa Merana

Dosen Fakultas Hukum Malas, Mahasiswa Merana
Banyak mahasiswa FH yang merana dan tidak mendapatkan bekal ilmu yang cukup. Penyebabnya, dosen yang malas datang ke kampus dan fasilitas yang terbatas.

Raut wajah Budi -bukan nama sebenarnya- mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) angkatan 2000, terlihat panik sekaligus bersemangat ketika mengikuti pelatihan mengenai hukum kepailitan yang diadakan oleh sebuah lembaga penelitian di Jakarta. Dalam pelatihan itu, dijelaskan dasar-dasar dalam UU Kepailitan.
Kepanikan Budi bukan tanpa alasan. Usai pelatihan, Budi menyatakan ia telah lulus kuliah hukum kepailitan di kampusnya dan mendapatkan nilai B. Namun dalam pelatihan itu, ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa yang menjadi sebab sebuah perusahaan bisa dipailitkan. Ia merasa seperti baru memasuki dunia baru yang belum pernah dijamahnya.
Menurut Budi, selama ia mengambil mata kuliah tersebut, si dosen sangat sering tidak masuk. Celakanya ketika masuk, ia tidak mengajarkan materi perkuliahan, melainkan bicara 'ngalor-ngidul' ke sana kemari, tidak jelas ujung pangkalnya. Ujian dilakukan secara open book. Apa yang dilakukan oleh Budi hanya melihat pertanyaan, melihat daftar isi, dan kemudian menyalin isi buku ke kertas ujian.
Walau UU Kepailitan sudah berlaku sejak tahun 1998, ternyata pertanyaan pada saat ujian tengah semester dan akhir semester justru mengenai failissement, peraturan kepailitan pada zaman Hindia Belanda. Saat ujian akhir, hanya satu soal yang menanyakan mengenai UU Kepailitan. Pendapat Budi ini diamini oleh Dani, sesama mahasiswa FHUI angkatan 2000. "Kami nggak tahu, kami blank sama sekali tentang mata kuliah itu," cetus Budi.
Dari beberapa mahasiswa FHUI, FH Universitas Trisakti (Usakti) dan FH Unika Atmajaya yang diwawancarai oleh hukumonline, yang mereka sampaikan masih berupa keluhan klasik yang sudah dikeluhkan mahasiswa sejak dulu. Kemalasan dosen untuk mengajar misalnya, masih menduduki peringkat pertama dalam keluhan terhadap pendidikan di fakultas hukum.
Coba simak pengakuan Kapra, mahasiswa FH Usakti angkatan 2001. Kapra yang mengambil program kekhususan hukum bisnis tentu saja wajib mengambil mata kuliah hukum dagang. Tapi ternyata dari 14 kali pertemuan dalam mata kuliah itu, sang dosen hanya masuk tiga kali. "Itu pun ia tidak bisa dikatakan mengajar, melainkan hanya menceritakan pengalamannya dan bicara melantur," ungkap Kapra. Yang menarik, dosen Kapra itu ternyata adalah orang yang sama dengan dosen kepailitan Budi.
Untunglah tidak semua dosen separah bapak dosen Fulan, kita sebut saja begitu, tersebut. Walau banyak dosen yang sering tidak datang mengajar, frekuensinya tidak separah Fulan. Kapra menyatakan dari 14 kali pertemuan, biasanya dosen tidak masuk sekitar 5, 6, sampai 7 kali.
Sedangkan menurut Rudi, mahasiswa angkatan 2000 di FH Atmajaya, dahulu ketika ia berada di semester dua dan empat, frekuensi dosen tidak masuk bisa sampai 40 %. Saat ini, telah berkurang sampai 20 %. Namun, Rudy pernah mengikuti suatu mata kuliah, di mana dosen baru masuk satu minggu sebelum jadwal ujian tengah semester.  
Sebuah Cawan
Keluhan lain adalah cara mengajar dosen yang hanya membacakan materi dari buku (text book), sehingga sangat tidak menarik. Mahasiswa juga hanya diminta untuk mencatat dan menghafal apa yang disampaikan oleh dosen, kadang tanpa mereka mengerti inti serta maksud dan tujuan dari apa yang diajarkan itu. "Kami bagaikan sebuah cawan yang harus diiisi sampai penuh. Cawan yang mau dan dapat diisi paling penuh itulah mahasiswa yang paling baik," ujar Kapra bertamsil. "Tidak ada bedanya dengan SMA. Hanya ketika kuliah, kami dituntut lebih mandiri," tambahnya.
Komentar Dewi, senior Budi angkatan 1999, lebih sinis lagi, "Buat apa gua bayar, datang kuliah, duduk, temen-temen ngobrol. Sementara dosen hanya membaca hand out yang sudah jadi atau membaca yang di OHP. Mending ikut UT (Universitas terbuka) saja, kasih saja bahannya, gua belajar sendiri," cetusnya gemas.
Semua mahasiswa yang diwawancarai menyatakan hanya sedikit dosen yang mengajar dengan cara interaktif dan berdiskusi, sehingga merangsang mahasiswa untuk menggali lebih dalam ilmu tersebut. Hanya beberapa dosen yang memberikan soal kasus dan berupaya menerapkan apa yang diajarkan ke dalam praktik.
Menurut Dani, mahasiswa FHUI -- yang disetujui oleh rekan-rekannya -- biasanya dosen yang merupakan praktisi hukum cara mengajarnya lebih menarik, interaktif, dan memberi contoh-contoh yang up to date. Mereka pula yang memberi tugas dan soal ujian yang berbentuk kasus. Namun di sisi lain, dosen yang mempunyai pekerjaan di luar juga merupakan dosen yang jarang muncul di kampus untuk mengajar. Ini dikatakan oleh Budi, Dani, dan Rudy. Oh ya, semua mahasiswa dalam tulisan ini memilih untuk tidak ditulis nama aslinya dengan alasan takut dikenali oleh pihak kampusnya.
Dosen yang masih muda juga dianggap lebih menarik cara mengajarnya, banyak berdiskusi,  dan sering menyertakan contoh yang up to date dibanding dosen-dosen yang sudah tua. Namun, mereka menggarisbawahi juga bahwa tidak semua dosen muda lebih baik cara mengajarnya dan tidak semua dosen tua tidak menarik dalam mengajar.
Para mahasiswa itu juga mengeluh tidak menguasai pelajaran dasar yang diberikan pada tahun-tahun awal kuliah. Padahal, pelajaran dasar itu akan diperlukan untuk menguasai mata kuliah selanjutnya dan menjadi dasar dari ilmu hukum. Misalnya, mata kuliah hukum perdata atau perjanjian, yang menjadi dasar dari hukum bisnis dan lain-lain.
Dosen Mangkir
Menanggapi soal dosen yang mangkir mengajar atau cara mengajarnya yang tidak menarik, Dekan Fakultas Hukum UI, Abdul Bari Azed, menyatakan bahwa pihaknya telah menempuh upaya untuk mengatasi hal itu. Caranya, dengan memberikan kuesioner untuk setiap mata kuliah yang harus diisi oleh mahasiswa pada akhir semester.
Dalam kuesioner itu, mahasiswa mengisi secara bebas pendapatnya mengenai dosen dan mata kuliah bersangkutan. Hal ini sudah diterapkan selama tiga tahun belakangan. "Ada yang menyebutkan dosen itu kalau memberi kuliah membuat ngantuk, ada yang ngelantur, di luar konteks, dosennya  terlalu otoriter, macam-macam," kata Bari.
Kuesioner itu kemudian diberikan kepada masing-masing kepala bagian, seperti perdata, pidana dan lain-lain, untuk diketahui dan ditindaklanjuti. Tindak lanjutnya itu bisa berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat, dan berbagai sanksi lain. Namun, menurut Bari, kelas kosong tidak jamak terjadi karena setiap dosen memiliki asisten untuk menggantikannya mengajar dan juga setiap kelompok mata kuliah mempunyai koordinator dan penanggung jawab.
Kurnia Toha, Wakil II Dekan FH UI mempunyai pendapat lain. Menurut Kurnia, sebenarnya yang jarang datang itu adalah dosen senior yang top-top. "Tapi biasanya mahasiswa kalau yang topnya tidak datang, dianggap dosennya tidak datang. Padahal yang di bawah topnya ini sebenarnya datang terus, dan kuliah kelas selalu terisi," katanya. Sedang mengenai penguasaan ilmu dasar yang kurang, menurut Kurnia, mahasiswa tidak bisa diharapkan menjadi pintar hanya dengan mendengar dosen memberikan kuliah.
Mahasiswa Terlalu Banyak
Semua mahasiswa FH UI yang diwawancarai menuding jumlah murid yang terlalu banyak dalam satu kelas sebagai penyebab tidak efektifnya mata kuliah dasar. Satu kelas biasanya diisi oleh satu angkatan yang terdiri dari 200 sampai 250 orang. Mereka menyadari, dosen tidak bisa diharapkan mengajar dengan menarik apabila satu orang harus mengajar 250 orang. Belum lagi sound system yang buruk, sehingga mahasiswa yang duduk di belakang kadang tidak dapat menyimak.
Untuk mahasiswa FH UI yang mengambil program kekhususan hukum ekonomi, penderitaan masih lebih panjang lagi. Pasalnya, mayoritas mahasiswa memilih Program Kekhusussan (PK) tersebut. Karena itu, ketika mereka mengambil mata kuliah lanjutan, kelas tetap disi oleh jumlah murid yang banyak. Ini berbeda dengan program kekhususan lain yang peminatnya tidak sebanyak hukum ekonomi.
Untungnya, di FH Usakti maupun Atmajaya, pelajaran hukum dasar dibagi dalam beberapa kelas. Satu kelas hanya berisi 60 sampai 70 murid. Walau kelas hanya berisi 60 sampai 70 murid, menurut Kapra, tidak terjadi diskusi ataupun dialog antara dosen dan mahasiswa. Dosen hanya menerangkan dan kadang-kadang  berbicara dengan mahasiswa yang duduk di depan.
Rudy mengatakan untuk mata kuliah dasar, ia justru diajar oleh dosen yang kurang bagus mengajarnya. Ketika mengambil matakuliah yang merupakan program kekhususan, baru dosen-dosen yang mengajar relatif lebih bagus. Rudy juga menyatakan bahwa belakangan ini di Atmajaya terjadi perbaikan-perbaikan.
Beberapa dosen, yang menurut penilaian Rudy tidak bagus, sudah diganti. Misalnya, dosen-dosen berusia lanjut yang mengajarnya tidak jelas, diganti dengan dosen muda yang umumnya menarik cara mengajarnya. Penyebabnya, mahasiswa menyampaikan keluhan tentang beberapa dosen kepada lembaga kemahasiswaan. Lembaga mahasiswa itu meneruskan keluhan itu kepada pihak dekanat. Oleh dekanat, beberapa dosen diberi teguran dan ada pula yang diganti.
Soal  jumlah mahasiswa yang terlalu banyak dalam satu kelas, Bari mengatakan telah ada beberapa mata kuliah yang dibuat dengan kelas paralel. Namun, memang ada kendala mengenai ruangan kelas dan jumlah dosen. "Tapi terus kami usahakan untuk mengurangi jumlah mahasiswa dengan perbandingan jumlah dosen dalam satu kelas. Juga terus kami upayakan penambahan fasilitas ruangan," kata Bari.
Menurutnya, di FHUI terdapat 150 tenaga pengajar tetap dengan dan 100 pengajar tidak tetap, sedangkan mahasiswa dari segala program berjumlah sekitar 3.000 rang.
Sementara menurut Kurnia, jumlah tenaga pengajar FHUI sudah mencukupi. Pasalnya, jumlah dosen yang hampir 300 orang, belum ditambah dosen pasca sarjana. Dengan jumlah mahasiswa 3.000 orang, perbandingannya masih sangat ideal. Masalahnya, menurut Kurnia, ada beberapa dosen yang tidak mau mengadakan kelas paralel dengan alasan kalau kelas dibuat paralel, tingkat pengetahuan mahasiswa akan berbeda karena dosennya juga berbeda.
Kurnia mengaku, sebagai pimpinan juga tidak boleh memaksa dosen untuk memaralelkan kelasnya. "Lebih kami imbau mereka untuk silakan di paralel, soal tempat nanti kita lihat. Tapi itu sepenuhnya pada penangungjawab mata kuliah tersebut untuk melakukan paralel atau tidak," ujarnya. Meski menurut Kurnia, sudah banyak juga mata kuliah dasar yang sudah diberikan dalam kelas paralel.
Dengan berbagai keluhan dari mahasiswa itu, tidak heran mahasiswa FH banyak "menyerbu" workshop, pelatihan atau kursus, baik yang diseleggarakan oleh universitas, organisasi advokat, atau pihak-pihak lain. Dani menceritakan ketika diadakan suatu workshop di kampusnya, yang mendaftar membludak sampai 100 orang, padahal kursi yang tersedia hanya 30.
Dani membandingkan kursus mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang diikutinya dengan pelajaran yang sama di kampus. "Dibanding kuliah, jauh sekali. Di situ diberi pengertian, basic-nya, diskusi, membahas kasus. Yang di kelas tidak pernah ngomong, di situ ia terpaksa berdiskusi". Walaupun seperti yang diakui Dewi, tujuan mengikuti workshop bukan hanya untuk mendapatkan ilmu, melainkan juga kesempatan magang, networking, dan untuk menambah CV.
Di sisi lain, Amir menggugat workshop yang selama ini diselenggarakan oleh mahasiswa. Menurutnya, selama ini mahasiswa FH UI haus akan ilmu, tapi ternyata fakultas tidak bisa memfasilitasi itu. "Misalnya kegiatan seperti carrier days, itu seharusnya diselenggarakan oleh fakultas. Tetapi, kenapa malah mahasiswa yang  menyelenggarakan dan pihak kampus tidak mau memfasilitasi," katanya. Bahkan untuk menggunakan ruangan di fakultas untuk kegiatan mahasiswa, seperti workshop, mahasiswa harus membayar ke fakultas.
Yang konyol, menurut cerita Amir, pernah suatu kali sebuah mata kuliah yang diikutinya mengadakan kuliah tambahan. Padahal, waktu itu perkuliahan sudah libur. Penyebabnya, dosen mata kuliah itu belum menyelesaikan materi perkuliahan yang harus diajarkan. Untuk mengikuti kuliah tambahan itu, mahasiswa harus membayar uang sewa gedung karena menggunakan gedung di luar waktu perkuliahan. Selain itu, Amir dan kawan-kawan mengaku kasihan terhadap rekan-rekannya yang tidak mampu. Karena untuk mengikuti sebuah workshop, diperlukan biaya sekitar Rp150 ribu.  
Dani yang sering browsing membuka website-website sekolah hukum di luar negeri menyampaikan rasa irinya dengan mahasiswa hukum di luar negeri. Di manca negara, pihak fakultas sering bekerjasama dengan law firm untuk mengadakan program magang, workshop, atau kelas diskusi pada saat summer.
Jalur Khusus
Budi, Amir, Dewi, dan Dani juga menyatakan kekhawatirannya akan rencana FH UI membuka jalur khusus untuk penerimaan mahasiswa baru di luar Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPN). Kabarnya, akan ada 150 mahasiswa baru yang akan diterima dengan membayar uang masuk sebesar Rp25 sampai Rp70 juta.
Padahal tanpa ada jalur khusus ini, mahasiswa baru yang masuk melalui jalur UMPTN sudah berjumlah 250 orang. "Ini akan menjadi problem baru. Bagaimana menjaga mutu dengan tambahan mahasiswa sebanyak itu, sementara jumlah dosen tampaknya tidak akan ditambah," ungkap Dani.
Namun, kekhawatiran mereka ditepis oleh Kurnia. Menurut Kurnia, justru dengan adanya program jalur mandiri, diharapkan dosen yang selama ini terpencar, entah karena sibuk mengajar di tempat lain atau menjadi praktisi hukum, akan semakin banyak meluangkan waktunya ke fakultas. Karena dengan jalur mandiri, akan ada peningkatan kesejahteraan baik bagi karyawan maupun dosen.
Kurnia juga membantah bahwa pihak fakultas tidak memfasilitasi kegiatan mahasiswa untuk menambah ilmu. Ia mengatakan, pihak fakultas pernah mengadakan semacam kegiatan workshop selama tiga minggu dengan law firm ABNR. Selain itu, banyak pula kegiatan riset dan penelitian yang melibatkan mahasiswa, seperti kegiatan-kegiatan Lembaga Kajian Persaingan Usaha (LKPU), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI), Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKHT), dan Sentra Informasi HAM FHUI.
Soal sewa gedung, Kurnia mengatakan hanya dua gedung di fakultasnya yang disewakan, untuk balai sidang, misalnya sewanya Rp750 ribu. Uang sewa itu pun hanya sekadar untuk ongkos pemeliharaan dan membayar tenaga kerja. Peraturan itu pun tidak ketat.
Kewajiban untuk menyewa gedung lebih bertujuan sebagai proses belajar bagi mahasiswa untuk berusaha mencari uang sendiri ketika membuat suatu kegiatan. "Ini untuk sekadar cuci karpet gedung, sekaligus memberi tanggungjawab pada mahasiswa. Jangan mentang-mentang ada, dipakai seenaknya. Kalau mereka benar-benar usaha dan mentok, baru kami akan beri kebijakan," kata Kurnia.
Sayang, pimpinan Fakultas Hukum Usakti dan Atmajaya tidak bisa diminta komentarnya. Dekan FH Usakti, Endar Pulungan, melalui sekretarisnya menyatakan tidak bersedia diwawancarai dengan alasan sibuk. Sementara Dekan FH Atmajaya tidak juga memberikan jawaban, walaupun surat permohonan wawancara sudah dilayangkan beberapa minggu sebelumnya.
Bagi banyak perguruan tinggi, FH bisa jadi tambang uang. Peminatnya banyak dan mudah untuk mencari dosen. Cuma, soal kualitas dosen tunggu dulu. Karena itu, jangan heran kalau banyak lulusan FH cuma melongo ketika ditanya masalah hukum. Jika para alumnus ini harus bersaing di bursa kerja, akhirnya ya kedodoran.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8595/dosen-fakultas-hukum-malas--mahasiswa-merana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar