Selasa, 11 Februari 2014

Profesor FH USU Bedah Definisi Asas “Iktikad Baik”

Profesor FH USU Bedah Definisi Asas “Iktikad Baik”
Asas iktikad baik sudah dikenal sejak zaman Romawi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mariam Darus membedah asas “iktikad baik” yang merupakan salah satu asas di dalam Hukum Indonesia.

Profesor di bidang hukum perdata ini menjelaskan hal tersebut pada orasi ilmiah Dies Natalis FH USU ke-60 di Medan, Sumatera Utara. "Sebagai asas, maka iktikad baik berfungsi untuk menilai hukum positif yang bertujuan untuk mencari keadilan," ujar Mariam, Sabtu (11/1).

Dalam orasi yang berjudul ‘Perkembangan Prinsip Iktikad Baik Sebagai Asas Umum Di Dalam Hukum Indonesia’, Mariam menyebutkan Iktikad baik berada di bidang hukum perdata, khususnya di dalam harta kekayaan.

Lebih lanjut, Mariam menuturkan sejarah iktikad baik ini lahir pada Zaman Romawi. Kala itu, para pakar hukum menyebutkan bahwa iktikad baik direfleksikan dalam perjanjian adalah bonafides, yang artinya adalah perbuatan seseorang dilakukan secara wajar dan patut.

"Jadi, perbuatan tersebut dilakukan tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain dan para pihak dipercaya," ujar Mariam.

Mariam menambahkan iktikad baik diatur di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Ketentuan ini menyatakan bahwa setiap perjanjian atau persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Selain itu, Mariam juga merujuk ke putusan Mahkamah Agung Belanda pada 9 Februari 1923 yang merumuskan atau memperjelas apa yang dimaksud dengan iktikad baik. Putusan ini menyatakan perjanjian harus dilaksanakan menurut syarat-syarat kewajaran (redelijkheid) dan kepatutan (billijkheid).

Mariam juga mengutip pendapat Prof Mr Wery yang menjelaskan bahwa kewajaran ialah yang dapat dimengerti oleh intelek dan akal sehat, dengan budi pekerti. Sedangkan, kepatutan adalah yang dapat dirasakan sebagai sopan, patut dan adil.

"Jadi rumus kewajaran dan kepatutan meliputi semua yang dapat ditangkap, baik dengan intelek maupun perasaan," jelasnya.

Mariam menambahkan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menunjuk pada norma tidak tertulis yang disebut objektif, sebab esensinya bukan kewajaran dan kepatutan menurut para pihak masing-masing tanpa sesuai pendapat umum. Dengan demikian, para pihak bukan hanya terikat pada kata-kata perjanjian itu saja, tetapi juga pada iktikad baik.

Disamping itu, lanjutnya, dikenal juga iktikad baik yang bersifat subjektif. Iktikad baik subjektif terletak dalam ranah hukum benda. "Yang dimaksud dengan iktikad baik disini adalah kejujuran yang berkaitan dengan sikap bathin seseorang," ujar staf pengajar pada Fakultas Hukum USU itu.

Sejumlah hadirin mendengarkan orasi Mariam ini dengan seksama. Acara dies natalis FH USU ke-60 ini dihadiri oleh Sekda Pemprov Sumut H Nurdin Lubis, Rektor USU Prof Syahril Pasaribu, Dekan Fakultas Hukum USU Prof Runtung Sitepu, para dosen dan alumni Fakultas Hukum USU.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d150ceef12a/profesor-fh-usu-bedah-definisi-asas-iktikad-baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar