Selasa, 11 Februari 2014

Perlu Ada Kepastian Hukum Soal Iktikad Baik

Perlu Ada Kepastian Hukum Soal Iktikad Baik
Kebanyakan praktisi hukum memperhatikan bahwa penyelesaian sengketa menghendaki “brain power”.

Itikad baik seharusnya menjadi ruh dalam memahami, melahirkan dan melaksanakan perjanjian. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lain saat ini menjadi dinamika yang berkembang di Indonesia. Banyak pihak berharap penyelesaian sengketa melalui jalur ini akan membawa angin segar bagi dunia hukum dan bisnis.
Sayang, pada kenyataannya praktik penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan ini sering terkendala dengan iktikad baik masing-masing pihak maupun pihak lain yang terkait. Akibatnya, muncul persoalan hukum.
“Persoalan hukum yang muncul terkait dengan iktikad baik mulai dari masalah internal dalam perilaku manjalankan usaha. Selain itu, juga ada akibat bertautnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbasis pada kepentingan lokal. Di sisi lain, juga perlu memperhatikan peraturan dan acara arbitrase internasional maupun negara-negara lain,” jelas Felix Ontoeng Sobagjo, mantan Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), di Jakarta, Sabtu (28/9).
Padahal, menurut Felix, dengan menerapkan iktikad baik dalam melaksanakan suatu kontrak, akan lebih memberikan nuansa kenyamanan. “Itikad baik akan memberi kenyamanan dalam praktik arbitrase karena para pihak akan lebih cermat dan berhati-hati dalam berargumen,” tuturnya.
Pendiri Kantor Hukum MDC Law Office Mariam Darus melihat, perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai iktikad baik. Menurutnya, perlu ada penjelasan apakah itikad baik hanya memprhatikan hukum tertulis saja, atau juga hukum tidak tertulis.
“Untuk kepastian hukum, pengertian iktikad baik di dalam undang-undang Arbitrase dan prosedur BANI perlu dikaji lebih lanjut,” tuturnya.
Lebih lanjut, Mariam menjelaskan selama ini iktikad baik sudah diatur dalam beberapa ketentuan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Selain itu, UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa juga sudah memasukan pengaturan iktikad baik dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (6). Sayangnya, tidak ada penjelasan tentang pengertian iktikad baik dalam semua peraturan itu.
“Dalam pengaturan mengenai pengertian dan sifat iktikad baik yang diatur di UU Arbitrase dan Peraturan BANI, tidak ada pengaturan tentang pengertian iktikad baik tersebut,” tandas Mariam.
Merujuk pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yurisprudensi dan doktrin pada umumnya mengartikan iktikad baik bersifat objektif jika berada dalam ranah perikatan. Sementara itu, dalam ranah hukum benda, iktikad baik diartikan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif. Kemudian, dalam perkembangannya iktikad baik tak hanya muncul dalam bidang hukum perdata saja melainkan juga dalam hukum publik.
“Iktikad baik dalam peraturan perundang-undangan kita merupakan Das Sollen yang harus direflesikan dalam hukum positif,” tambah Mariam.
Menurut pengamatan Ketua BANI Priyatna Abdurrasyid, selama ini kebanyakan praktisi hukum di Indonesia kurang memerhatikan bahwa penyelesaian sengketa menghendaki apa yang disebut “brain power”. Priyatna menjabarkan, arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, mensyaratkan penguasaan positif di bidang hukum terkait sengketa.
“Maksudnya, jangan sekali-sekali memanfaatkan kemampuan dengan tata cara yang tercela dan negatif,” tambahnya.
Priyatna menekankan, penggunaan tata krama dalam arbitrase sangat penting. Ia juga menambahkan, seyogianya pelaksanaannya dibarengi dengan prinsip-prinsip kooeratif dan non-konfrontatif. “Penggunaan tata krama iktikad baik seyogianya dibarengi prinsip-prinsip kooperatif dan non-konfrontatif,” ucapnya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524946679eefe/perlu-ada-kepastian-hukum-soal-iktikad-baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar