Selasa, 11 Februari 2014

Pola Pikir Mahasiswa Hukum Daerah Perlu Diubah

Toar Palilingan:
Pola Pikir Mahasiswa Hukum Daerah Perlu Diubah
Jangan hanya mengandalkan orang tua. Harus berani melihat peluang.

Kehidupan seorang Toar Palilingan amatlah unik. PengajarHukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado Sulawesi Utara (Sulut)ini cukup dikenal sebagai pengamat hukum dan pemerintahan di Sulawesi Utara. Media lokal, seperti Tribun Manado pernah mewawancarainya terkait isu hukum dan pemerintahan di Sulut.
Terlahir dari pasangan Dr. FN Palilingan danDra. YC. Pangemanan, Toar memang terlahir dari keluarga pendidik. Sang ayah merupakan mantan Rektor Unsrat sedangkan ibunya seorang dosen di universitas yang sama.
Makanya, selepas tamat pendidikan S-1 Ilmu Hukum di Unsrat pada pada Januari 1986, tak pikir panjang setahun kemudian, Toar muda langsung memilih profesi sebagai dosen. Tak hanya itu, istrinya sendiri Cilia Damopolii (almh) juga seorang dosen hukum pidana di Fakultas Hukum (FH) Unsrat.
“Pilihan profesi dosen mengikuti jejak kedua orang tua,” kata Toar saat berbicang dengan hukumonline, Rabu (3/7) di Manado.
Pria kelahiran Malang 53 tahun lalu itu menamatkan pendidikan S2-nya di FH Unsrat pada 2008 dengan spesialisasi hukum tata negara. Ternyata, pilihan menekuni hukum tata negara merupakan pilihan tepat. Soalnya, selain sebagai dosen dia kerap diminta menjadi tenaga ahli di pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Utara.
“Saya sering diminta untuk membantu menyusun kebijakan-kebijakan daerah, termasuk menyusun rancangan peraturan daerah (perda),” tutur pria yang tercatat sebagai Ketua Kajian Otonomi Daerah dan Kawasan Perbatasan FH Unsrat ini.
Kiprahnya menjadi dosen selama hampir 26 tahun, Toar mengungkapkan kegundahannya terhadap fenomena mahasiswa hukum yang ada di Manado. Dia menilai jika membandingkan mahasiswa hukum daerah khususnya yang ada di Manado masih tertinggal dengan mahasiswa hukum di pulau Jawa. Dinamika mahasiswa hukum di Sulawesi Utara, dianggap tidak menantang.
“Mahasiswa hukum daerah tidak kompetitif jika dibandingkan mahasiswa hukum dari pulau Jawa, mungkin budaya dan suasananya sangat berbeda. Mahasiswa hukum di Pulau Jawa, umumnya kuliahnya benar-benar dengan memanfaatkan peluang yang ada,” ujar pria yang pernah menjadi dosen teladan 1 tingkat FH Unsrat pada 1995 ini.
Menurut mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu Sulut 2004 ini kuliah bagi mahasiswa hukum di Sulawesi Utara cenderung untuk mencari pekerjaan dan memenuhi harapan orang tua, sehingga pola pikir mahasiswanya masih sempit. Inimempengaruhi pola mengajar dosen di FH Unsrat, sambil terus menyesuaikan dan membangun pola pikir mahasiswa yang ideal. “Pola pikirnya, kerja atau tidak kerja sudah bisa hidup (mengandalkan orang tua), yang penting sarjana dulu. Paradigma pola pikir seperti itu harus diubah,” harapnya.
Meski begitu, dari segi intelektualitas mahasiswa hukum daerah tak kalah dengan mahasiswa hukum dari pulau Jawa. Terutama dalam merespon dan menyikapi wacana kebijakan-kebijakan hukum nasional. Saat ini saja tak sedikit mahasiswa hukum di Manado bergelar S-2 dan S-3. “Ada sekitar 30-an doktor hukum umumnya diambil dari luar Sulawesi Utara, seperti dari FH Universitas Hasanuddin, FH Unpad, FH Undip karena program doktor hukum di Unsrat baru 1 tahun berdiri,” katanya.
Keluarga pancasila
Di luar aktivitasnya sebagai akademisi, kehidupan keluarga Toar terbilang unik. Soalnya dia memiliki keluarga yang disebutnya sebagai keluarga “Pancasila”. Toar sendiri pemeluk Nasrani, almarhumah istri seorang muslimah yang taat. Dari perkawinannya, mereka dikarunia seorang anak yang bernama Toar Palilingan, Jr yang beragama Yahudi. Toar sendiri memiliki seorang anak angkat, bernama Chrisinda Damopolii yang beragama Katolik.
Kini, Toar Palilingan, Jr (30) yang juga berstatus sebagai dosen hukum tata negara dan hukum internasional di FH Unsrat, dikenal sebagai tokoh komunitas Yahudi di Indonesia, dengan nama Yahudi rabbi Yaacov Baruch.Dia dikenal sering melakukan diskusi dengan komunitas lintas agama di Indonesia. Bahkan, Wakil Menteri Luar Negeri AS pernah mengajak Yaacov Baruch untuk berdiskusi saat kedatangan ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Seperti dikutip darijppn.com 2011 lalu, Rabbi Yaakov Baruch yang dikenal sebagai pemimpin ibadah Yahudi di Manado bersama komunitas penganut Yahudi lainnya di Indonesia tengah berupaya agar Yahudi diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Yaakov menuturkan masa pemerintahan Belanda di Indonesia agama Yahudi diakui sebagai agama resmi.
Demikian pula, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, penganut agama Yahudi sama halnya dengan agama lainnya, seperti Islam, Kristen, Katolik. Yaakov lantas menunjukan copy surat lawas Menteri Agraria yang dirilis pada 1961. Surat itu mengakui kaum agama Israelit (sebutan kaum Yahudi masa itu) diakui sebagai agama d Indonesia. “Kenapa sekarang tidak, kami memiliki hak yang sama,” klaim Yaakov.
Sang ayah pun mengakui Yaakov itu pimpinan komunitas Yahudi di Indonesia baik warga ekspatriat maupun warga lokal.Tetapi Yaakov hanya mengurusi ritual ibadahnya (yudaism)dantidak mengurusi politik yang berbau ekstrim, konfrontasi/provokasi umat beragama.
“Banyak wartawan asing yang sering mewawancarai dia karena namanya sempat terangkat dalam dialog mahasiswa di Amerika. Din Syamsuddin pernah menemui dia, tetapi hal positif,” akunya.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520b421d2c453/toar-palilingan--brpola-pikir-mahasiswa-hukum-daerah-perlu-diubah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar