Selasa, 11 Februari 2014

Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability

Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability
Lebih dari sepuluh tahun Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku, nyaris tak ada terdengar putusan pengadilan yang menghukum korporasi.

Padahal, hubungan hukum konsumen dan produsen begitu dinamis. Keluhan konsumen terus muncul baik lewat media massa maupun lembaga konsumen swadaya masyarakat. Apakah ada yang salah dalam sistim peradilan kita sehingga korporasi selalu lolos dari jerat pidana? Persoalan inilah yang coba dijawab Yusuf Shofie. Pengalaman pria kelahiran 13 Mei 1968 ini bekerja di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuatnya berhadapan dengan banyak keluhan konsumen. Tak mengherankan sejak pendidikan magister hingga doktor ilmu hukum, ia memfokuskan diri pada hukum perlindungan konsumen.

Dalam disertasi yang dipertahankan 19 Juni lalu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yusuf Shofie mengupas tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen di Indonesia. Ada 36 perkara yang diteliti ayah dua anak ini. Banyak pelanggaran pidana yang kasat mata, namun UU Perlindungan Konsumen tidak dijalankan secara konsisten. Ia berpendapat bahwa asas societas delinquere non-potest (korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana) yang selama ini dianggap berakar pada budaya peradilan dan kesadaran masyarakat tidak dapat lagi dipertahanan.

Hukumonline berkesempatan mewawancarai pria kelahiran Yogyakarta ini di kampus Yarsi Jakarta Pusat bebepa hari setelah ia mempertahankan disertasi doktoral. Ia bercerita tentang strict liability dan vicarious liabity dalam perlindungan konsumen. Berikut petikannya:

Apa yang mendasari Anda melakukan riset tentang perlindungan konsumen?
Perhatian saya adalah pelaku, pada pelaku tindak pidana. Semua dalam riset saya, termasuk tesis saya terdahulu, fokusnya pada korban, dalam hal ini konsumen sebagai korban tindak pidana. Dari situ saya melihat ada sesuatu yang tidak beres. Korban sudah bicara banyak, respons penegak hukum masih seperti ini. Saya mencoba mencari tahu dan melihat bagaimana aparat penegak hukum itu memperlakukan pelaku usaha. Pelaku usaha bisa perorangan, bisa badan hukum. Dalam UU Perlindungan Konsumen (UUPK) ada korporasi. Korporasi itu kan kumpulan orang-orang. Dia bisa berbentuk badan hukum, bisa juga bukan badan hukum. Betapapun sederhananya proses produksi, selalu ada kumpulan orang. Siapa pengambil keputusan, siapa yang sekedar pelaksana, menjalankan perintah. Kalau dalam kasus biskuit kan kepala produksi hanya menjalankan perintah.

Artinya, saya mau melihat lebih jauh lagi bagaimana korporasi dipertanggungjawabkan. Saya telusuri kasus-kasus dari sebelum dan setelah adanya UUPK. Saya ingin melihat apakah dengan UUPK kita sudah memperbaiki posisi tawar konsumen. Terus apakah sudah mendidik pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Seandainya pun dengan UUPK sudah membuat pelaku usaha bertanggung jawab, apakah mereka tetap dipertanggungjawabkan. Sebelum UUPK ada kekeliruan dalam penjatuhan putusan. Kita maklumi. Kan pengadilan tidak boleh menghukum sebelum ada undang-undangnya. Apalagi jika para pihak tidak mengajukan upaya hukum. Karena pidana ini pidana percobaan. Kalau enam bulan percobaan, atau setahun ya terima saja daripada kasasi nanti malah diperberat.

Dalam semua kasus yang saya kaji, pada umumnya menyebut kapasitas tertentu. Jadi terdakwa kapasitasnya apa dalam tahun 1950-an. Misalnya Ketua Pengusaha Industri Rokok. Berarti kan kapasitasnya disebutkan. Sampai di situ saya melihat bahwa pendirian pengadilan di Indonesia.  Pengadilan lebih ingin menunjukan ada hubungan atasan dengan bawahan. Hubungan atasan dengan bawahan terlihat pada doktrin vicarious liability. Vicarious liability ini doktrin dalam hukum perdata, untuk diaplikasi di dalam hukum pidana. Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan hukum pidana adalah hukum pidana, hukum perdata, hukum perdata, hukum administrasi negara ya hukum administrasi negara. Itu pembedaan. Sarjana hukum kan tidak dibeda-bedakan. Coba lihat hukum perlindungan konsumen. Unsur pidana ada, administrasi negara juga ada. Sekarang ini kan harus tegas, mana yang administrasi negara. Di UUPK memang ada kekeliruan. Sanksi administrasi, bentuknya kok ganti rugi.

Dari perspektif hukum pidana saya melihat bahwa pengadilan di Indonesia tidak terbiasa dengan strict liability. Selama ini kan wacana yang berkembang adalah strict liability dalam perlindungan konsumen. Jadi kalau pelaku usaha mau dipertanggungjawabkan, pakai prinsip strict liability. Saya ingin mengkaji lebih jauh lagi. Apakah strict liability dipakai dalam praktik? Ternyata tidak.

Sebenarnya yang tepat apa, strict liability atau vicarious liability?
Semua teori dan doktrin punya kelebihan dan kelemahan. Teori untuk menjawab persoalan. Saya mengkombinasikan antara vicarious liability dan doktrin agregasi. Kenapa bukan strict liability? Menurut saya itu belum dipakai. Kalau di bidang lingkungan hidup sudah dipakai. Walaupun katakanlah dalam kasus Newmont itu diputus bebas. Tapi doktrin yang dianut adalah strict liability.

Saya tidak tahu apakah UUPK mengambil over doktrin hukum lingkungan. Kalau hukum lingkungan kan dikenal polluter pay principle. Kalau saya boleh pinjam prinsip itu, saya akan bilang manufacturer pay liability. Jadi si manufacturer punya kewajiban untuk membayar. Strict liability itu fokusnya bukan pada pelaku tapi pada prilaku. Prilakunya yang  berbahaya. Kalau di lingkungan hidup itu semuanya berhubungan dengan proses. Kalau dalam perlindungan konsumen, apakah ketika seseorang memproduksi satu produk untuk manusia, apakah di pikirannya ditujukan untuk mencelakakan konsumen? Kan tidak.

Bahwa ada terjadi dimana sistim dan prosedur tidak dipatuhi. Bahaya jika ada penggunaan bahan tambahan, misalnya pasta gigi. Semua pasta gigi ada pemutihnya, plus bahan lain. Seperti itulah strict liability diterapkan karena ada risiko. Menurut saya, strict liability terbatas pada prilaku-prilaku tertentu. Kalau UUPK kan seolah-olah ingin mengatakan semua. Di dalam UUPK ada 21 kejahatan di bidang konsumen, mulai proses produksi, kemudian, promosi, transaksi, sampai pasca transaksi. Semuanya ada 21 norma. Normanya norma pidana. Sanksinya adalah penjara lima tahun dan denda 2 miliar rupiah.

Harus disamaratakan tidak? Ada yang dimaksud klausul baku. Apakah klausul baku itu selalu berbahay? Lain dengan penggunaan yang saya sebut tadi. Saya ingin mengkritisi bahwa sebenarnya UUPK tidak mengandung prinsip strict liability. Walaupun disebutkan dalam pasal 19 ayat (1), pelaku usaha yang menyebabkan kerugian, celaka, wajib memberikan ganti rugi pada konsumen. Seolah-olah dengan seperti itu semua persoalan selesai. Tapi ayat selanjutnya menyebutkan dalam waktu paling lambat 7 hari setelah transaksi, dibayarkan ganti rugi. Pasal itu menurut saya omong kosong. Pengalaman saya ketika memediasi perkara di YLKI, tidak ada tujuh hari ditepati. Kemudian riset saya di BPSK, putusan BPSK saja lebih dari 21 hari. Padahal di UUPK disebutkan, penyelesaian sengketa perlidungan konsumen itu 21 hari.

Apa perilaku dengan kesalahan?
Memang kalau dalam hukum pidana, ajaran kesalahan selalu dijunjung tinggi. Tidak boleh orang dipidana, pelaku dipidana, tanpa kesalahan. Ada tindak pidana, ditelusuri ada pelaku, kalau pelaku tidak punya kesalahan, tidak bisa dipidana. Makanya dalam kesimpulan disertasi, saya tidak menggunakan doktrin strict liability. Ada dua argumentasi. Pertama, kita memperhatikan kebiasaan hakim di Indonesia. Hakim di Indonesia sudah terbiasa dengan doktrin vicarious liability. Dan dalam semua kasus yang saya kaji, relasi itu disebut. Terdakwa kedua hanyalah sebagai karyawan. Yang bertanggung jawab adalah direktur. Pelaku fisiknya dia yang nyata. Dia kan yang mengedarkan edaran ke semua kantor cabang supaya label kadaluarsa diganti. Sampai di situ ada lebih dari satu, tiga, empat, lima pelaku. Jaksa menempatkan sebagai terdakwa 1 itu direktur, dirutnya, terdakwa dua karyawan, padahal di atas karyawan ada manajer. Manajernya tidak diminta tanggungjawab.  Pengadilan hanya menyatakan karyawan yang bersalah padahal dia hanya melaksanakan tugas. Pelakunya kan perusahaan.

UUPK juga mengakui badan hukum sebagai pelaku tindak pidana kan. Tetapi mengapa kok sekian lama tidak pernah ada proses untuk itu. Apa memang tidak ada, atau pengadilan tidak biasa. Ternyata apa? Pengadilan pun juga kesulitan. Karena yang menetukan siapa terdakwa itu bukan pengadilan. Jaksa penuntut umum kan.

Bentuk hukuman dari tindak pidana korporasi?
Sanksi pidana yang dimungkinkan bagi korporasi bentuknya adalah pidana financial. Ga mungkin korporasi dipenjara. Makanya hukumannya hukuman financial.

Bagaimana dengan denda?
Denda masuk ke negara kan. Kalau ganti rugi diberikan kepada korban. Kalau dalam rangka perlindungan konsumen, ada sanksi pidana ganti rugi. Yang keliru menurut saya adalah kalau sanksi adminstratif yang bentuknya ganti rugi. Keliru itu. Kalau pidana bentuknya ganti rugi dimungkinkan. Sampai hari ini belum ada satu pun yang menjatuhkan pidana ganti rugi.

Mengapa belum ada korporasi yang dipidanakan, padahal pemidanaan korporasi diatur dalam UUPK?
Itu tergantung pada sumber daya manusia dari penyidik dan penuntut umum. Kita harus apresiasi dalam kasus Newmont. Saya melihatnya sebagai tindak pidana perlindungan konsumen, tetapi cara penegakannya tidak dengan pidana perlindungan konsumen. Penyidik menggunakan UU Lingkungan Hidup.

Kita tidak boleh fanatik dengan UUPK, karena akan menyebabkan kesalahan dalam penegakan hukum. Yang namanya tindak pidana perlindungan konsumen tidak hanya ada did ala UUPK. Di KUHP juga ada.

Jadi salah satu hambatannya adalah masalah perspektif?
Saya juga melihat hambatan yuridis di dalam UUPK. Karena apa? Tata cara prosedur untuk menuntut korporasi akhirnya kembali pada KUHAP. Tetapi KUHAP tidak menyebutkan kata korporasi. Kata terdakwa, tersangka itu orang. Tetapi sudah ada terobosan. Dalam kasus, putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jawa Timur, ada dalam kasusnya disebutkan, PT sebagai pihak ketiga yang boleh mengajukan praperadilan. Tapi putusan itu dibatalkan di tingkat kasasi. Dalam temuan saya itu tidak semua putusan PN yang baik-baik itu bisa eksis karena ternyata dibatalkan di proses kasasi. Tidak selalu putusan kasasi itu lebih baik daripada putusan PN.

Sejauh pentingnya korporasi yang dipidanakan?
Satu proses produksi itu bukan proses sederhana. Di dalam penentuan pertanggungjawaban itu dia mengunakan doktrin vicarious liability. Kalau dalam strict liability fokusnya adalah kepada pelaku, kemudian siapa yang menyebabkan pelaku itu. Di perusahaan banyak lini. Di lini itu nanti ada yang lempar batu sembunyi tangan. Dalam doktrin vicarious liability, diperhatikan satu persatu. Memang di 1367 KUH Perdata disebut majikan bertanggung jawab atas tindakan orang-orang di bawahnya. Saya ingin tunjukan, di dalam vicarious liability tidak sepenuhnya demikian. Kalau ini tanggung jawab karyawan, karyawan; kalau tanggung jawab manajer, ya manajer. Demikian pula tanggung jawab direksi. Kalau harus dipertanggungjawabkan pada korporasinya sendiri, ya korporasi.

Makanya saya lebih memilih vicarious liability. Pertama, saya berargumen hakim sudah terbiasa. Kedua saya juga tidak ingin masyarakat kita seperti ini seolah tidak mengerti. Masyarakat sudah teredukasi.

Di perusahaan, korporasi sudah memastikan proses untuk itu, kemudian ada karyawannya yang iseng, bisa saja ya. Kalau kita mau membangun pelaku usaha yang bertanggung jawab, kita harus telusuri siapa pelaku usaha, ada korporasinya, kemudian di dalam korporasi itu kan berlapis-lapis mulai pemegang saham hingga karyawan biasa. Ini kan satu kesatuan.

Sejauh apa bargaining position konsumen menghadapi korporasi?
Kalau berhubungan dengan produk cacat, cacat sederhana, mereka sudah menyediakan fasilitas purnajual. Itu sudah ada di Undang-undang dan tanpa ada undang-undang pun pelaku usaha yang beriktikad baik sudah melakukan itu. Yang jadi problem, kalau cacat produksi itu menyebabkan kematian atau luka. Dalam kasus seperti ini konsumen tidak punya akses masuk. Yang bisa masuk ke situ penyidik.

Korporasi tidak dikecualikan di dalam UUPK. UUPK menyebut BUMN, BUMND. Sekarang berapa jauh Pertamina –dalam kasus ledakan tabung gas, misalnya, mendapatkan keuntungan. Kalau Pertamina terbukti mendapatkan keuntungan dari tindakan itu bisnis elpiji, ya Pertamina harus dihukum. Bukan santunan, seolah-olah konsumen perlu dikasihani, bukan. Pelaku usaha harus bertanggung jawab.

Jadi korporasi baru bisa dipidana kalau memperoleh keuntungan?
Itu kriteria yang menjadi dasar uhntuk menjatuhkan tindak pdana korporasi. Tapi kan korporasi tidak akan dijatuhi pidana kalau tidak dituntut. Kuncinya lagi-lagi pada penyidik dan penuntutu umum. Mungkin penyidik sudah siapkan tapi penuntut umum tidak, kewenangan itu kan secara dominis litis ada di tangan penuntut umum.

Kenyataannya memang banyak kasus dimana korporasi diuntungkan?
Diuntungkan atau tidak kan harus dibuktikan. Kita juga tidak bisa hanya sumsi-asumsi, katanya-katanya. Yang punya akses untuk itu adalah korporasi. Kasus BLBI, saya tidak setuju kalau korporasinya dipidana. Itu yang dilakukan penuntut umum sudah benar. Bank menjadi sarana untuk berbuat jahat. Korporasi sebetulnya sebagai korban dari kejahatan untuk membobol uangnya bank itu sendiri, uangnya bank.

Dalam tindak pidana korporasi hanya dimungkinkan untuk dibuktikan melalui yang namanya medeplegen. Ajaran penyertaan tindak pidana yang bentuknya medeplegen, turut serta melakukan tindak  pidana. Medeplegennya siapa? Korporasinya itu sendiri.

Harapannya ke depan?
Saya sederhana saja. Kita harus mengapresiasi apa yang sudah dilakukan aparat kita ya. Penyidik, penuntut umum, hakim, kita harus apresiasi. Dengan 36 kasus yang saya kaji, ternyata kalau dibilang pengadilan kita bobrok, tidak juga. Dia juga punya peran. Ada proses tahapan-tahapan. Kalau kita ingin pertanggungjawaban pidana korporasi, pengadilan kita itu baru sampai pada tahap menggunakan ajaran kepelakuan fungsional. Ajaran kepelakuan fungsional itulah yang memungkinkan pada lompatan berikutnya, yaitu memidanakan korporasi, dalam hal korporasinya memperoleh keuntungan.

Satu lagi yang tadi keluapaan, doktrin agregasi. Doktrin agregasi adalah karya dari para ahli hukum di Belanda. Diagregasikannya kesalahan. Misalnya kesalahannya dari level mana, karyawan punya kesalahan, kepala bagian, manajer. Ini diagregasikan untuk apa, dimintakan pertanggungjawabannya kepada agregasi.

Kalau korporasi sudah bertanggung jawab, apakah direksi atau karyawan masih bisa kena sanski?
Itu bisa. Dalam sistim kita bisa. Tingal dilihat seberapa porsinya, danagaimana suatu tindak pidana itu utuh terjadi.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c5fb73bd473b/yusuf-shofie-pengadilan-indonesia-belum-terbiasa-dengan-istrict-liabilityi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar