Jumat, 05 Juli 2013

Betah di KPK Karena ‘Trauma’ Intervensi

Mengaku tetap mencintai Kejaksaan.

Sosoknya sederhana, bersahaja dan cerdas. Dia adalah Yudi Kristiana, salah satu jaksa yang bertugas di KPK. Pria kalem berusia 41 tahun ini terlihat senang bertugas di KPK. Selain karena semangat pemberantasan korupsinya begitu ‘menyala’, Yudi menganggap cara kerja di KPK yang jauh dari intervensi membuatnya ‘kerasan’ sejak pertama kali ditempatkan di lembaga anti rasuah itu pada bulan September 2011.
Kata intervensi memang begitu membekas di ingatan Yudi. Ia mengaku pernah memiliki pengalaman buruk terkait intervensi. Kala itu, Yudi bahkan harus rela 'dibuang' ke pelosok Sulawesi. Namun begitu, Yudi meyakini semua pengalaman itulah yang menjadikan dirinya menjadi individu yang tangguh.
Sebelum dibuang ke Sulawesi, Yudi adalah seorang jaksa di Semarang. Kala itu, Yudi sudah tertarik dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Salah satu kasus yang pernah dia tangani adalah kasus dugaan korupsi terkait seorang pejabat negara yang memiliki pengaruh di jantung kota provinsi Jawa Tengah itu.
Namun, semangat Yudi berbenturan dengan kebijakan atasannya kala itu. Di satu sisi, Yudi yakin pejabat negara itu bisa diseret ke meja hijau. Tapi di sisi lain, atasannya di Korps Adhyaksa melarangnya untuk menyeret pejabat tersebut. Akibatnya,Yudi ‘dibuang’ ke pedalaman Sulawesi Tengah. Tepatnya, di Kecamatan Pagimana, Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Meski siap ditugaskan dimana saja, Yudi sebenarnya agak berat hati meninggalkan Semarang. Karena, saat itu, Yudi juga dalam proses menyelesaikan studi doktor ilmu hukum (S3) di Universitas Diponegoro. Namun, tugas tetap tugas, Yudi pun berangkat menyeberangi pulau menuju pos penempatan yang baru.
Faktor jarak Semarang-Pagimana yang jauh tidak menyurutkan hasrat Yudi merampungkan studi. Sesekali, dia pulang ke Semarang untuk mengumpulkan bahan-bahan disertasi, dan berkonsultasi dengan pembimbing disertasi, (alm) Prof.Satjipto Rahardjo. Yudi mengaku meneledani pemikiran Satjipto yang terkenal dengan aliran hukum progresif.
“Saya tidak bisa hilang dari pendekatan kebenaran hati nurani selain dari pendekatan kebenaran keilmuan. Kalau dua-duanya sejalan, dan saya yakini saya akan bertindak, meskipun itu bertentangan dengan atasan, itu saya tetap berpegang teguh,” tutur Yudi kepada hukumonline, akhir Oktober 2012 lalu.
Selain soal studi S3, hal lain yang membuat hidup Yudi terasa berat di Pagimana adalah harus berpisah dengan keluarga yang berada di Solo, Jawa Tengah. Jangankan untuk bertemu, untuk sekadar berkomunikasi melalui telepon pun Yudi harus berjuang susah payah. Bayangkan, lantaran di Pagimana belum ada jaringan sinyal telepon seluler, Yudi harus berkendara ke kota selama tiga jam hanya untuk menelepon keluarga.
“Telepon kantor ada, tapi belum tentu kita 10 kali pencet bisa nyambung. Sehingga kalau telepon keluarga itu saya harus tiga jam perjalanan naik mobil. Baru bisa halo ke keluarga,”ujarnya.
Meskipun banyak menemui kendala, namun Yudi tetap berupaya maksimal dalam bekerja. Seperti di Semarang, Yudi tetap menunjukkan ketertarikan pada kasus-kasus korupsi. Sebagai Kepala cabang Kejaksaan Negeri Kecamatan Pagimana, kerja keras Yudi sempat menuai apresiasi.
“Dulu mendapatkan nomor satu dirangking gitu, kita nangani perkara korupsinya. Kita yang paling banyak menangani perkara korupsi. paling produktif,” kenang Yudi.
Total kurang lebih 39 bulan sejak tahun 2005, Yudi bertugas di Pagimana. Tahun 2008, Yudi dipindahtugaskan ke Kejagung dengan posisi staf intelijen di lingkungan Jaksa Agung Muda Intelijen.
Potong Generasi
Sebelum dipindahtugaskan ke Jakarta, Yudi berhasil merampungkan disertasinya. Mengambil judul “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif,Studi Penyelidikan,Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, disertasi tersebut sempat menghentak Korps Adhyaksa.
Pasalnya, isi disertasi Yudi menyinggung tentang tersendatnya sejumlah kasus korupsi di Kejaksaan. Dia bahkan menyebutkan banyak kasus yang dihentikan penyelidikan dan penyidikannya.
Menurut Yudi, reformasi birokrasi di Kejaksaan memang masih terkendala sejumlah faktor. Salah satu faktor itu, Kejaksaan kini masih didominasi orang-orang yang terlena dengan kultur Kejaksaan yang birokratik, sentralistik, hirarkis dan sistem komando. Kultur ini, kata dia, adalah implikasi dari doktrin “Kejaksaan itu Satu” (een en ondeelbaar).
“Kita mau mereformasi diri sendiri itu sama dengan memotong tubuh sendiri. Kalau berani sebenarnya mengangkat pola pikir (alm) Daniel S.Lev (pemerhati hukum,red) bahwa harus potong generasi, itu dari sisi SDM. Lalu dari sisi sistem itu harus ada perubahan yang mendasar,” ujar Yudi.
Yudi berpendapat Kejaksaan harus mengidentifikasi individu-individu yang memiliki visi sama dalam pemberantasan korupsi. Dia yakin, masih banyak individu yang  idealis di Kejaksaan. Setelah diidentifikasi, individu-individu tersebut ditempatkan di posisi-posisi penting agar reformasi birokrasi di Kejaksaan dapat berjalan sukses.
“Pucuk-pucuk pimpinan di Kejaksaan itu ada berapa?  Satu Jaksa Agung, satu Wakil Jaksa Agung, JAM-JAM (Jaksa Agung Muda) ada enam, lalu Kajati di seluruh Indonesia 33 orang. Kira cukup 42 orang itu. Kalau pingin benar-benar semua nafas baru, spirit baru itu apa tidak kita temukan?” ujar Yudi optimis.
Meskipun melontarkan kritik, Yudi menegaskan dirinya masih mencintai Kejaksaan. Sebagai buktinya, Yudi masih rela sesekali mengajar di Diklat Kejagung. Selain di Diklat Kejagung, Yudi juga mengajar di sebuah universitas di Solo, Jawa Tengah. Honor dari kegiatan mengajar itu tidak diambil Yudi. Alasannya, dia menilai honor itu termasuk kategori gratifikasi. Lagipula, Yudi mengatakan motivasinya mengajar hanyalah pengabdian.
Kini, Yudi merasa kerasan bertugas di KPK. Selain karena minatnya terhadap penanganan kasus korupsi tersalurkan, Yudi juga merasa sekaligus berharap di KPK tidak ada intervensi seperti pengalaman pahitnya dahulu. “Dan nampaknya ini adalah tempat saya yang paling ideal untuk bisa berperan lebih,” pungkasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar