Sosoknya sederhana, bersahaja dan
cerdas. Dia adalah Yudi Kristiana, salah satu jaksa yang bertugas di
KPK. Pria kalem berusia 41 tahun ini terlihat senang bertugas di KPK.
Selain karena semangat pemberantasan korupsinya begitu ‘menyala’, Yudi
menganggap cara kerja di KPK yang jauh dari intervensi membuatnya
‘kerasan’ sejak pertama kali ditempatkan di lembaga anti rasuah itu pada
bulan September 2011.
Kata intervensi memang begitu membekas di ingatan Yudi. Ia mengaku
pernah memiliki pengalaman buruk terkait intervensi. Kala itu, Yudi
bahkan harus rela 'dibuang' ke pelosok Sulawesi. Namun begitu, Yudi
meyakini semua pengalaman itulah yang menjadikan dirinya menjadi
individu yang tangguh.
Sebelum dibuang ke Sulawesi, Yudi adalah seorang jaksa di Semarang.
Kala itu, Yudi sudah tertarik dengan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Salah satu kasus yang pernah dia tangani adalah kasus dugaan korupsi
terkait seorang pejabat negara yang memiliki pengaruh di jantung kota
provinsi Jawa Tengah itu.
Namun, semangat Yudi berbenturan dengan kebijakan atasannya kala itu.
Di satu sisi, Yudi yakin pejabat negara itu bisa diseret ke meja hijau.
Tapi di sisi lain, atasannya di Korps Adhyaksa melarangnya untuk
menyeret pejabat tersebut. Akibatnya,Yudi ‘dibuang’ ke pedalaman
Sulawesi Tengah. Tepatnya, di Kecamatan Pagimana, Luwuk, Kabupaten
Banggai, Sulawesi Tengah.
Meski siap ditugaskan dimana saja, Yudi sebenarnya agak berat hati
meninggalkan Semarang. Karena, saat itu, Yudi juga dalam proses
menyelesaikan studi doktor ilmu hukum (S3) di Universitas Diponegoro.
Namun, tugas tetap tugas, Yudi pun berangkat menyeberangi pulau menuju
pos penempatan yang baru.
Faktor jarak Semarang-Pagimana yang jauh tidak menyurutkan hasrat Yudi
merampungkan studi. Sesekali, dia pulang ke Semarang untuk mengumpulkan
bahan-bahan disertasi, dan berkonsultasi dengan pembimbing disertasi,
(alm) Prof.Satjipto Rahardjo. Yudi mengaku meneledani pemikiran Satjipto
yang terkenal dengan aliran hukum progresif.
“Saya tidak bisa hilang dari pendekatan kebenaran hati nurani selain
dari pendekatan kebenaran keilmuan. Kalau dua-duanya sejalan, dan saya
yakini saya akan bertindak, meskipun itu bertentangan dengan atasan, itu
saya tetap berpegang teguh,” tutur Yudi kepada hukumonline, akhir Oktober 2012 lalu.
Selain soal studi S3, hal lain yang membuat hidup Yudi terasa berat di
Pagimana adalah harus berpisah dengan keluarga yang berada di Solo, Jawa
Tengah. Jangankan untuk bertemu, untuk sekadar berkomunikasi melalui
telepon pun Yudi harus berjuang susah payah. Bayangkan, lantaran di
Pagimana belum ada jaringan sinyal telepon seluler, Yudi harus
berkendara ke kota selama tiga jam hanya untuk menelepon keluarga.
“Telepon kantor ada, tapi belum tentu kita 10 kali pencet bisa
nyambung. Sehingga kalau telepon keluarga itu saya harus tiga jam
perjalanan naik mobil. Baru bisa halo ke keluarga,”ujarnya.
Meskipun banyak menemui kendala, namun Yudi tetap berupaya maksimal
dalam bekerja. Seperti di Semarang, Yudi tetap menunjukkan ketertarikan
pada kasus-kasus korupsi. Sebagai Kepala cabang Kejaksaan Negeri
Kecamatan Pagimana, kerja keras Yudi sempat menuai apresiasi.
“Dulu mendapatkan nomor satu dirangking gitu, kita nangani perkara
korupsinya. Kita yang paling banyak menangani perkara korupsi. paling
produktif,” kenang Yudi.
Total kurang lebih 39 bulan sejak tahun 2005, Yudi bertugas di
Pagimana. Tahun 2008, Yudi dipindahtugaskan ke Kejagung dengan posisi
staf intelijen di lingkungan Jaksa Agung Muda Intelijen.
Potong Generasi
Sebelum dipindahtugaskan ke Jakarta, Yudi berhasil merampungkan disertasinya. Mengambil judul “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif,Studi Penyelidikan,Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, disertasi tersebut sempat menghentak Korps Adhyaksa.
Sebelum dipindahtugaskan ke Jakarta, Yudi berhasil merampungkan disertasinya. Mengambil judul “Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif,Studi Penyelidikan,Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, disertasi tersebut sempat menghentak Korps Adhyaksa.
Pasalnya, isi disertasi Yudi menyinggung tentang tersendatnya sejumlah
kasus korupsi di Kejaksaan. Dia bahkan menyebutkan banyak kasus yang
dihentikan penyelidikan dan penyidikannya.
Menurut Yudi, reformasi birokrasi di Kejaksaan memang masih terkendala
sejumlah faktor. Salah satu faktor itu, Kejaksaan kini masih didominasi
orang-orang yang terlena dengan kultur Kejaksaan yang birokratik,
sentralistik, hirarkis dan sistem komando. Kultur ini, kata dia, adalah
implikasi dari doktrin “Kejaksaan itu Satu” (een en ondeelbaar).
“Kita mau mereformasi diri sendiri itu sama dengan memotong tubuh
sendiri. Kalau berani sebenarnya mengangkat pola pikir (alm) Daniel
S.Lev (pemerhati hukum,red) bahwa harus potong generasi, itu dari sisi
SDM. Lalu dari sisi sistem itu harus ada perubahan yang mendasar,” ujar
Yudi.
Yudi berpendapat Kejaksaan harus mengidentifikasi individu-individu
yang memiliki visi sama dalam pemberantasan korupsi. Dia yakin, masih
banyak individu yang idealis di Kejaksaan. Setelah diidentifikasi,
individu-individu tersebut ditempatkan di posisi-posisi penting agar
reformasi birokrasi di Kejaksaan dapat berjalan sukses.
“Pucuk-pucuk pimpinan di Kejaksaan itu ada berapa? Satu Jaksa Agung,
satu Wakil Jaksa Agung, JAM-JAM (Jaksa Agung Muda) ada enam, lalu Kajati
di seluruh Indonesia 33 orang. Kira cukup 42 orang itu. Kalau pingin
benar-benar semua nafas baru, spirit baru itu apa tidak kita temukan?”
ujar Yudi optimis.
Meskipun melontarkan kritik, Yudi menegaskan dirinya masih mencintai
Kejaksaan. Sebagai buktinya, Yudi masih rela sesekali mengajar di Diklat
Kejagung. Selain di Diklat Kejagung, Yudi juga mengajar di sebuah
universitas di Solo, Jawa Tengah. Honor dari kegiatan mengajar itu tidak
diambil Yudi. Alasannya, dia menilai honor itu termasuk kategori
gratifikasi. Lagipula, Yudi mengatakan motivasinya mengajar hanyalah
pengabdian.
Kini, Yudi merasa kerasan bertugas di KPK. Selain karena minatnya
terhadap penanganan kasus korupsi tersalurkan, Yudi juga merasa
sekaligus berharap di KPK tidak ada intervensi seperti pengalaman
pahitnya dahulu. “Dan nampaknya ini adalah tempat saya yang paling ideal
untuk bisa berperan lebih,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar