Pengadilan Niaga dan pengadilan umum harus konsisten menyatakan
batal demi hukum setiap Obligasi Dijamin (Guaranteed Secured Note) yang
diterbitkan oleh perusahan Special Purpose Vehicle (SPV) di luar
negeri serta dijamin oleh perusahaan Indonesia. Pasalnya, tujuan
pendirian SPV itu dinilai hanya sebagai upaya untuk menghindari atau
mengurangi pembayaran pajak ke Pemerintah Indonesia.
Usulan ini disampaikan oleh Advokat Hotman Paris Hutapea dalam disertasi doktoralnya yang berhasil dipertahankan dalam sidang di Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, , Selasa (21/6). “Obligasi dijamin itu mempunyai causa yang tidak halal sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata. Oleh karenanya batal demi hukum dan tidak sah,” ujarnya.
Sayangnya dalam praktik, jelas Hotman, hakim atau pengadilan kerap menolak permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) atas utang kepailitan. Atau, utang PKPU yanng didasarkan pada pecahan
obligasi tanpa warkat termasuk obligasi dijamin yang diterbitkan oleh
perusahaan SPV di negara lain serta dijamin oleh perusahaan Indonesia
itu.
“Hakim kerap menolak perkara itu dengan alasannya perkara tidak bersifat sederhana,” ujar Hotman.
Menurutnya, para hakim seakan berlindung di balik Pasal 8 ayat (4) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Ketentuan ini berbunyi “Permohonan pernyataan pailit harus
dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”.
Padahal, lanjut Hotman, maksud pasal ini tidak seperti itu. Ia menuturkan, dalam
UU Kepailitan tidak ada ketentuan yang menyatakan secara tegas
pengadilan niaga tidak berwenang mengadili perkara tidak sederhana
(sumir). “Penolakan untuk mengadili perkara kepailitan seperti itu
bertentangan dengan azas kepastian hukum dan keadilan,” jelasnya.
Karenanya, agar Pasal 8 ayat (4) ini tidak ditafsirkan secarasembarangan lagi oleh hakim, Hotman
mengusulkan agar pasal ini dihapuskan saja dari UU Kepailitan. “Perlu
dipertimbangkan untuk dihapuskan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan yang
sering dalam praktik ditafsirkan secara salah seolah-olah merupakan
ketentuan normatif bagi pengadilan niaga untuk menolak mengadili perkara
yang tidak sederhana,” jelasnya.
Salah seorang penguji, An An Chandrawulan menentang ide Hotman untuk menghapus Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan ini. Ia
meminta Hotman perlu mengetahui terlebih dahulu apa latar belakang dan
filosofi UU Kepailitan. Menurutnya, pasal yang diusulkan untuk
dihapuskan itu merupakan salah satu unsur filosofi UU Kepailitan.
“Filosofi dari kepailitan adalah upaya terakhir. Sehingga, perkaranya harus bersifat sederhana. Jadi, sulit untuk menghapus pasal yang menjadi filosofi UU Kepailitan itu,” ujar An An.
Hotman bersikukuh mempertahankan
argumentasinya. Menurutnya, hakim pengadilan niaga kerap salah
menafsirkan pasal ini sehingga sering menolak perkara. Padahal, Pasal
299 UU Kepailitan memberikan hak kepada semua pihak untuk mengajukan semua alat bukti yang diakui menurut HIR, termasuk menghadirkan saksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar