Jumat, 05 Juli 2013

Prof. Satjipto: Fakultas Hukum Harus Ikut Duduk di Kursi Terdakwa

"Tidak adil jika penegak hukum saja yang dianggap bertanggungjawab terhadap keadaan hukum saat ini. Fakultas hukum harus dianggap ikut menanggung kesalahan."

Pernyataan di atas datang Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Satjipto Rahardjo.
"Saya merasa tidak adil kalau fakultas hukum tidak didudukan di kursi terdakwa. Mereka juga andil, karena siapa yang mendidik jaksa, yang mendidik hakim, ya fakultas hukum. Jadi jangan mereka itu enak-enak," ujar Satjipto seusai berbicara dalam workshop tentang Pemberantasan Korupsi di Jakarta (7/3).
Menurut Satjipto, saat ini fakultas hukum tak ubahnya seperti fakultas teknologi.  Ilmu yang diberikan oleh fakultas hukum terlalu teknologis, semntara aspek perilaku sama sekali tidak pernah disentuh.
"Seolah-olah manusia itu tidak ada kontribusinya. Dianggapnya hukum sudah jalan, negara hukum sudah ditegakkan, kalau peraturan sudah diterapkan," tuturnya. Padahal, dalam situasi yang terpuruk saat ini, dimana penegak hukum jadi bagian dari korupsi, faktor manusia menjadi sangat penting.
Posisi fakultas hukum tersebut, dalam pandangan Satjipto disebabkan karena  fakultas hukum merupakan produk dari perkembangan sistem hukum modern yang lebih mementingkan rules procedure. Akibatnya, the question of justice terdorong ke belakang.
Soal korupsi di Indonesia, Satjipto menyatakan kekhawatirannya bahwa korupsi di negeri ini sudah mencapai tahap bunuh diri atau self destruction. Mengutip Syed Husein Alatas, penulis buku �Sosiologi Korupsi dari Malaysia, ada tiga tahapan korupsi. Dimulai dari korupsi yang terbatas, artinya hanya sedikit yang melakukan, korupsi yang meluas (widespread) dan terakhir korupsi yang menimbulkan bunuh diri (self destruction).
"Indonesia saat ini sudah mencapai tahap korupsi yang meluas, bahkan saya khawatir jangan-jangan kita telah memasuki tahap bunuh diri dimana hampir tidak ada orang yang tidak terjamah korupsi,"ujar Satjipto.
Dalam tahap ketiga ini, korupsi telah sedemikian menggerogoti masyarakat, sehingga koruptor sebagai bagian dari masyarakat nantinya  akan ikut mati. Satjipto berpendapat, ada baiknya para koruptor menyadari hal ini sehingga mereka berpikir ulang untuk terus melakukan korupsi.
Satjipto juga mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa diselesaikan hanya oleh komunitas hukum. Diperlukan peran antropolog, sosiolog, psikolog. "Komunitas hukum jangan arogan lah. Mereka tidak bisa menyelesaikan semuanya, malah sudah membuktikan bahwa mereka banyak gagal," papar Satjipto.
Pemberantasan korupsi dapat berhasil bila korupsi tidak hanya menjadi norma hukum, tetapi sudah menjadi norma sosial. Kalau orang sudah merasa jijik kalau berdekatan dengan koruptor, itu luar biasa," cetusnya.
Ia mencontohkan NU yang pernah mengeluarkan fatwa agar mayat koruptor tidak usah dishalatkan. Fatwa itu dinilai Satjipto sebagai terobosan luar biasa untuk menjadikan korupsi sebagai norma sosial. Sayangnya, fatwa itu kemudian tidak terdengar lagi gaungnya.
Political will
Senada dengan Satjipto, Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch, Teten Masduki, menyatakan bahwa partisipasi masyarakat harus diberikan peran yang lebih besar dalam pemberantasan korupsi.
Dalam pandangan Teten, pemberantasan korupsi melalui perbaikan institusional terbukti telah gagal. Ia mencontohkan berbagai program perbaikan institusi, seperti cetak biru MA ataupun Governance Audit Kejaksaan, yang ternyata isinya tidak dilaksanakan oleh institusi tersebut.
Pendekatan berupa perbaikan institusi, menurutnya baru bisa berhasil bila ada political will yang kuat dari pemimpin institusi tersebut. Di Korea Selatan atau Thailand, program IMF yang melakukan pendekatan perbaikan institusi, relatif lebih berhasil ketimbang Indonesia karena ada political will.
"Apabila political will tidak ada, maka sesuai dengan teori Michael Johnson, masyarakatlah  yang harus diberdayakan. Harus ada pressure, pengawasan dan partisipasi masyarakat. Karena kemauan politik kan tidak datang dari langit, harus didesakkan," tandas Teten.
Apalagi, selama ini, hampir 90 persen kasus yang ada di kejaksaan maupun kepolisian bukan berasal dari inisiatif lembaga tersebut, melainkan berasal dari laporan masyarakat atau dari media massa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar