Jumat, 05 Juli 2013

Sri Soemantri: ‘Saya Dulu Diejek Ketika Mengambil Program HTN’

"Sri Soemantri adalah salah seorang yang aktif menyuarakan desakralisasi dan perubahan konstitusi jauh sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan."

Bila anda mahasiswa fakultas hukum atau praktisi hukum, tentu mengenal –atau minimal pernah mendengar- nama Prof. Sri Soemantri Martosoewignjo. Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, ini memang tergolong sesepuh di kalangan hukum. Pria kelahiran Tulungagung 15 April, 84 tahun lalu ini adalah profesor di bidang hukum tata negara.

Sri memang sudah malang melintang berkiprah di sejumlah lembaga negara dan dunia pendidikan. Ia pernah tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Konstitusiante, lembaga negara yang dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dibentuk berdasarkan hasil Pemilu 1955, Badan Konstituante ini dibubarkan pada 1959 melalui Dekrit Presiden.

Dalam Pemilu yang digelar Desember 1955, Sri Soemantri terpilih mewakili daerah pemilihan Jawa Timur melalui kendaraan politik Partai Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun, Sri memiliki nomor urut 339 dari 520 kursi konstituante. Ia adalah anggota Konstituante termuda waktu itu.

Sayang, dua tahun bersidang Konstituante belum bisa memunculkan kesepakatan soal konstitusi terbaru. Alhasil, Presiden Soekarno lewat Dekritnya pada Juli 1959 membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa bangsa ini kembali ke UUD 1945.

Lebih dari 40 tahun kemudian, Sri dipercaya memimpin Komisi Konstitusi. Komisi itu dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengkaji hasil keempat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR sejak 2002-2004.

Untuk urusan terlibat dalam hal mengubah konstitusi, Sri memang berpengalaman. Setidaknya dengan jabatan yang pernah diembannya sebagai anggota Konstituante pada 1950-an dan Ketua Komisi Konstitusi pada era 2000-an itu.

Patut dicatat juga bagaimana pemikiran Sri tentang perubahan konstitusi. Ia dikenal sebagai akademisi yang getol menyuarakan desakralisasi konstitusi. Bagi Sri, bagaimanapun konstitusi bukan kitab suci. Konstitusi adalah buatan manusia yang bisa diubah sesuai perkembangan jaman.

Jauh sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan, tepatnya pada 1978 Sri sudah memikirkan hal itu. Melalui disertasi untuk meraih gelar doktor, Sri menulis tentang Persepsi terhadap prosedur: dan sistem perubahan konstitusi dalam batang-tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Belakangan disertasi itu dibuat menjadi buku dengan judul ‘Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi’.

Untuk perbaikan hukum tata negara Indonesia ke depan, Sri mengusulkan agar segera dilakukan amandemen UUD 1945 kelima. Namun, sebelum itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus menciptakan grand design-nya terlebih dahulu. “Selama ini, MPR belum punya grand design dalam wacana amandemen UUD 1945,” kata Sri Soemantri kepada hukumonline saat ditemui di kediamannya di Bandung, (21/3) lalu.   

Di dunia akademis, kiprah Sri juga tak sebentar. Berpuluh-puluh tahun ia mengabdi sebagai dosen. Nama Sri memang tak bisa dilepaskan dari Universitas Padjadjaran, Bandung, yang telah memberikannya Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara.

Loyalitas Sri sebagai pengajar memang tak perlu diragukan. Di usianya yang cukup lanjut, ia masih menyempatkan diri bolak-balik ke sejumlah universitas di Jawa untuk mengajar. “Selama saya masih bisa bicara, bisa membaca, mengungkapkan pikiran, saya tidak akan menolak untuk mengajar,” ujarnya.

Saking dihormatinya Sri, mahasiswa di Fakultas Hukum Unpad bahkan telah menggelar Padjajaran Law Fair yang bertemakan penghargaan terhadap Sri selama dua tahun belakangan berturut-turut. Meski begitu, Sri tetap merendah. Ia mengaku tak mengetahui alasan mahasiswa mengabadikan namanya dalam acara tahunan FH Unpad itu.  


Diledek
Meski sangat berpengalaman di dunia akademis dan lembaga negara, siapa sangka Sri justru sempat dicibir teman-temannya ketika mengambil program HTN sebagai spesialisasinya. “Ngapain elu ambil Hukum Tata Negara di negara yang nggak ada tata-nya begini?” ujar Sri meniru ledekan teman-temannya.

Namun, ledekan itu tak menyurutkan langkah Sri. Ia tetap memilih karir di jalur hukum tata negara. Ia berkeyakinan, sarjana hukum yang menguasai bidang hukum tata negara akan tetap bisa mengaktualisasikan diri. “Karena tiap negara punya hukum tata negaranya masing-masing.”

Pernyataan Sri bukan isapan jempol. Selepas bertugas di Konstituante, ia diajak Utrecht –mantan anggota Konstituante berdarah Belanda-Ambon- menjadi asisten dosen di Universitas Padjadjaran. “Waktu itu saya baru sarjana muda, belum lulus sarjana. Tapi sudah berkeluarga. Akhirnya status kepegawaian saya diproses dan saya dibantu untuk mendapatkan gaji yang layak. Setelah itu saya menjadi asisten Pak Usep Ranawidjaja.”

Ketika sudah mengajar di Unpad, kebimbangan sempat menghinggapi Sri. Tak bisa dipungkiri, urusan kesejahteraan saat itu hampir menggoyahkan tekad Sri sebagai seorang akademisi. “Akhirnya saya minta tolong tiga hal ke Unpad. Pertama, dsediakan rumah. Kedua diberi kesempatan mencari penghasilan tambahan. Ketiga, kalau ada kesempatan saya minta dikirimkan tugas belajar keluar negeri. Eh, dikabulkan semua permintaan itu. Nah rumah yang ditempati ini adalah bekas rumah pak Mochtar Kusumaatmadja.”  

Sri masih ingat betul bagaimana mulanya ia menyukai hukum tata negara. Semua berawal ketika Sri mengikuti mata kuliah ilmu negara. Kala itu ia menghadapi ujian secara lisan. Dari sekian mahasiswa, hanya Sri yang bisa menjawab pertanyaan. Keberhasilan Sri menjawab pertanyaan disambut ekspresi kegembiraan sang dosen. “Sejak itu saya suka ilmu negara dan HTN. Tapi saya lupa waktu itu pertanyaannya tentang apa,” tutur Sri sambil terkekeh.

Jurusan -atau kini dikenal dengan Program Kekhususan- Hukum Tata Negara di hampir semua fakultas hukum memang jarang peminat. Berbeda dengan jurusan lain semisal hukum ekonomi, hukum internasional, atau hukum pidana. “Dari dulu seperti itu. Program HTN di tingkat S-1 (sarjana) sangat sedikit peminatnya,” kata Sri.

“Tapi anehnya di tingkat Pascasarjana, baik S-2 maupun S-3, peminatnya banyak sekali,” ujarnya. Di pascasarjana inilah, Sri mengenalkan sebuah mata kuliah Teori dan Hukum Konstitusi. “Ini dipakai di seluruh Indonesia.”

Mata kuliah ini memang hasil pemikiran Sri ketika belajar di negeri Belanda. Di negeri kincir angin itu, Sri melakukan perbandingan konstitusi di negara-negara lain. “Akhirnya, itu yang mendorong saya untuk melahirkan teori dan hukum konstitusi,” ujar penulis buku ‘Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN’ ini.

Di usianya yang makin menua, tekad Sri untuk mengabdikan diri pada dunia akademis tak sirna. “Selama saya masih bisa bicara, bisa membaca, bisa mengungkapkan pikiran, saya tidak menolak untuk mengajar. Tapi yang saya batasi adalah mengajar di luar jawa dengan alasan keterbatasan fisik saya,” pungkasnya. 

sumber tulisan : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbc1fb22bf0b/sri-soemantri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar