Bila
anda mahasiswa fakultas hukum atau praktisi hukum, tentu mengenal –atau
minimal pernah mendengar- nama Prof. Sri Soemantri Martosoewignjo. Guru
Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, ini
memang tergolong sesepuh di kalangan hukum. Pria kelahiran Tulungagung
15 April, 84 tahun lalu ini adalah profesor di bidang hukum tata negara.
Sri
memang sudah malang melintang berkiprah di sejumlah lembaga negara dan
dunia pendidikan. Ia pernah tercatat sebagai salah seorang anggota Badan
Konstitusiante, lembaga negara yang dibentuk untuk menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dibentuk berdasarkan hasil Pemilu
1955, Badan Konstituante ini dibubarkan pada 1959 melalui Dekrit
Presiden.
Dalam
Pemilu yang digelar Desember 1955, Sri Soemantri terpilih mewakili
daerah pemilihan Jawa Timur melalui kendaraan politik Partai Nasional
Indonesia. Berusia 29 tahun, Sri memiliki nomor urut 339 dari 520 kursi
konstituante. Ia adalah anggota Konstituante termuda waktu itu.
Sayang,
dua tahun bersidang Konstituante belum bisa memunculkan kesepakatan
soal konstitusi terbaru. Alhasil, Presiden Soekarno lewat Dekritnya pada
Juli 1959 membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa bangsa ini
kembali ke UUD 1945.
Lebih
dari 40 tahun kemudian, Sri dipercaya memimpin Komisi Konstitusi.
Komisi itu dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengkaji
hasil keempat amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR
sejak 2002-2004.
Untuk
urusan terlibat dalam hal mengubah konstitusi, Sri memang
berpengalaman. Setidaknya dengan jabatan yang pernah diembannya sebagai
anggota Konstituante pada 1950-an dan Ketua Komisi Konstitusi pada era
2000-an itu.
Patut dicatat juga bagaimana pemikiran Sri tentang perubahan konstitusi. Ia dikenal sebagai akademisi yang getol menyuarakan
desakralisasi konstitusi. Bagi Sri, bagaimanapun konstitusi bukan kitab
suci. Konstitusi adalah buatan manusia yang bisa diubah sesuai
perkembangan jaman.
Jauh
sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan, tepatnya pada 1978 Sri sudah
memikirkan hal itu. Melalui disertasi untuk meraih gelar doktor, Sri
menulis tentang Persepsi terhadap prosedur: dan sistem perubahan konstitusi dalam batang-tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Belakangan disertasi itu dibuat menjadi buku dengan judul ‘Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi’.
Untuk
perbaikan hukum tata negara Indonesia ke depan, Sri mengusulkan agar
segera dilakukan amandemen UUD 1945 kelima. Namun, sebelum itu, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus menciptakan grand design-nya terlebih
dahulu. “Selama ini, MPR belum punya grand design dalam wacana amandemen UUD 1945,” kata Sri Soemantri kepada hukumonline saat ditemui di kediamannya di Bandung, (21/3) lalu.
Di
dunia akademis, kiprah Sri juga tak sebentar. Berpuluh-puluh tahun ia
mengabdi sebagai dosen. Nama Sri memang tak bisa dilepaskan dari
Universitas Padjadjaran, Bandung, yang telah memberikannya Guru Besar
Ilmu Hukum Tata Negara.
Loyalitas
Sri sebagai pengajar memang tak perlu diragukan. Di usianya yang cukup
lanjut, ia masih menyempatkan diri bolak-balik ke sejumlah universitas
di Jawa untuk mengajar. “Selama saya masih bisa bicara, bisa membaca,
mengungkapkan pikiran, saya tidak akan menolak untuk mengajar,” ujarnya.
Diledek
Meski
sangat berpengalaman di dunia akademis dan lembaga negara, siapa sangka
Sri justru sempat dicibir teman-temannya ketika mengambil program HTN
sebagai spesialisasinya. “Ngapain elu ambil Hukum Tata Negara di negara yang nggak ada tata-nya begini?” ujar Sri meniru ledekan teman-temannya.
Namun,
ledekan itu tak menyurutkan langkah Sri. Ia tetap memilih karir di
jalur hukum tata negara. Ia berkeyakinan, sarjana hukum yang menguasai
bidang hukum tata negara akan tetap bisa mengaktualisasikan diri.
“Karena tiap negara punya hukum tata negaranya masing-masing.”
Pernyataan
Sri bukan isapan jempol. Selepas bertugas di Konstituante, ia diajak
Utrecht –mantan anggota Konstituante berdarah Belanda-Ambon- menjadi
asisten dosen di Universitas Padjadjaran. “Waktu itu saya baru sarjana
muda, belum lulus sarjana. Tapi sudah berkeluarga. Akhirnya status
kepegawaian saya diproses dan saya dibantu untuk mendapatkan gaji yang
layak. Setelah itu saya menjadi asisten Pak Usep Ranawidjaja.”
Ketika
sudah mengajar di Unpad, kebimbangan sempat menghinggapi Sri. Tak bisa
dipungkiri, urusan kesejahteraan saat itu hampir menggoyahkan tekad Sri
sebagai seorang akademisi. “Akhirnya saya minta tolong tiga hal ke
Unpad. Pertama, dsediakan rumah. Kedua diberi kesempatan mencari
penghasilan tambahan. Ketiga, kalau ada kesempatan saya minta dikirimkan
tugas belajar keluar negeri. Eh, dikabulkan semua permintaan itu. Nah
rumah yang ditempati ini adalah bekas rumah pak Mochtar Kusumaatmadja.”
Sri
masih ingat betul bagaimana mulanya ia menyukai hukum tata negara.
Semua berawal ketika Sri mengikuti mata kuliah ilmu negara. Kala itu ia
menghadapi ujian secara lisan. Dari sekian mahasiswa, hanya Sri yang
bisa menjawab pertanyaan. Keberhasilan Sri menjawab pertanyaan disambut
ekspresi kegembiraan sang dosen. “Sejak itu saya suka ilmu negara dan
HTN. Tapi saya lupa waktu itu pertanyaannya tentang apa,” tutur Sri
sambil terkekeh.
Jurusan
-atau kini dikenal dengan Program Kekhususan- Hukum Tata Negara di
hampir semua fakultas hukum memang jarang peminat. Berbeda dengan
jurusan lain semisal hukum ekonomi, hukum internasional, atau hukum
pidana. “Dari dulu seperti itu. Program HTN di tingkat S-1 (sarjana)
sangat sedikit peminatnya,” kata Sri.
“Tapi
anehnya di tingkat Pascasarjana, baik S-2 maupun S-3, peminatnya banyak
sekali,” ujarnya. Di pascasarjana inilah, Sri mengenalkan sebuah mata
kuliah Teori dan Hukum Konstitusi. “Ini dipakai di seluruh Indonesia.”
Mata
kuliah ini memang hasil pemikiran Sri ketika belajar di negeri Belanda.
Di negeri kincir angin itu, Sri melakukan perbandingan konstitusi di
negara-negara lain. “Akhirnya, itu yang mendorong saya untuk melahirkan
teori dan hukum konstitusi,” ujar penulis buku ‘Sistem-Sistem
Pemerintahan Negara-Negara ASEAN’ ini.
sumber tulisan : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbc1fb22bf0b/sri-soemantri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar