"Busyro Muqoddas mengingatkan agar para hakim di Indonesia mengasup paham hukum progresif yang dipopulerkan oleh Prof Satjipto Rahardjo. "
Dunia hukum Indonesia kembali kehilangan salah seorang putra
terbaiknya. Seorang tokoh hukum senior, Prof. Satjipto Rahardjo menutup
usia hari ini, pukul 09.15, Jumat (8/1). Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro (Undip) ini meninggal pada usia 79 tahun,
sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sepanjang
hidupnya, Prof. Tjip -sapaan akrabnya- diberi gelar maestro hukum
progresif Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, Satjipto berulang kali mengingatkan filosofi
hukum yang sebenarnya. “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk
hukum,” demikian petuah terkenalnya yang masih terngiang di telinga
masyarakat hukum Indonesia. Ia mengatakan hukum bertugas melayani
masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum, menurutnya,
ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan
manusia.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas mengatakan Indonesia berduka
dengan kehilangan tokoh hukum sekaliber Satjipto. “Dia adalah penggagas
madzhab hukum progresif. Ini disempurnakan dengan style of life-nya yang sederhana,” tuturnya di Gedung KY.
Busyro berharap agar dosen-dosen hukum yang masih junior mengikuti
jejak almarhum. Seorang ilmuan besar tetapi menampilkan pribadi yang
sederhana. “Mereka harus mencontoh almarhum,” ujarnya. Tak hanya itu,
Busyro berharap hakim-hakim di Indonesia mengikuti cara berpikir
Satjipto. “Para hakim harus mengasup paham progresif itu,” tegasnya.
Paham progresif memang lahir akibat kekecewaan kepada penegak hukum
yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya terpaku pada teks dalam
undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di
masyarakat. Para penganut paham positivis kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia 'mengharuskan' hakim sebagai corong undang-undang.
Pengaruh Satjipto di kalangan para penggiat hukum memang tak sedikit.
Sekelompok orang bahkan membentuk sebuah Forum Diskusi Hukum Progresif.
Mereka menamakan dirinya sebagai Kaum Tjipian.
Nama “Tjipian” diambil dari nama panggilan Satjipto, yakni Prof. Tjip.
Di situs pertemanan facebook, jumlah kaum tjipian ini mencapai hampir
500 orang.
Tak hanya di kalangan anak muda, Advokat Senior Adnan Buyung Nasution
pun pernah mengakui sangat mengidolai Satjipto. Dalam sebuah kesempatan
di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Buyung memperkenalkan Satjipto
sebagai gurunya yang membantunya menyelesaikan tugas akhir kala studi di
Belanda. Buyung bahkan sampai menitikkan air mata saat mengucapkan
terima kasih kepada Satjpto.
Meski pemikirannya diikuti oleh para pakar dan praktisi hukum, Satjipto tetap menjadi tokoh yang low profile. Ketika
sejumlah penggiat hukum memperjuangkan agar teori keadilan yang
menggunakan hukum progresif disarankan masuk sebagai satu mata kuliah di
fakultas hukum, Satjipto tak serta merta mendukung.
Satjipto merasa Teori Keadilan sudah masuk ke dalam mata kuliah
filsafat hukum yang telah menjadi mata kuliah wajib di banyak fakultas
hukum. “Untuk memisahkan teori keadilan dari filsafat hukum, itu
kewenangan dari masing-masing fakultas saja,” kata Satjipto kepada hukumonline, November lalu.
Selamat Jalan Prof. Tjip.
sumber tulisan : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b4745cf47f9e/maestro-hukum-progresif-itu-telah-tiada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar