Jumat, 05 Juli 2013

Membaca Hukum Indonesia yang Gamang

Benarkah pembangunan tatanan hukum Indonesia sudah kehilangan oritentasi? Buku ini terlalu singkat untuk memberikan jawaban.

Sebelum menghadap Sang Khalik, Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang Prof. Satjipto Rahardjo pernah merenungkan sebuah pertanyaan sederhana: apakah hukum sudah mati? Pertanyaan yang pernah dilontarkan sosiolog hukum David M. Trubek: “is law dead?”

Hukum di Indonesia begitu carut marut. Kita mengalami krisis. Mafia hukum melibatkan nyaris semua jajaran penegak hukum. Tengok saja mafia perpajakan yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak, polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan pengusaha. Aksi kekerasan terjadi dimana-mana. Korupsi terus menerus berlangsung seolah tak terusik kehadiran KPK. Penyalahgunaan wewenang begitu kasat mata. Ironisnya, semua menjadikan hukum sebagai payung penyimpangan itu. Seolah-olah perbuatan menyimpang itu adalah legal.

Hukum yang diharapkan menyelesaikan beragam problem di masyarakat kita, kata Prof. Satjipto, tetap bekerja dengan irama ‘business as usual’. Dari situlah muncul pertanyaan menggelitik: apakah hukum sudah mati?  

Prof. Satjipto sudah tiada. Tetapi pemikiran-pemikiran kritisnya masih bisa kita baca lewat karya-karya yang beliau hasilkan semasa hidup. Kalaupun tidak lewat buku almarhum, corak pemikiran kritisnya masih bisa kita pahami dari murid-muridnya, terutama mereka yang tergabung dalam Kaum Tjipian. Ini adalah sebuah kelompok diskusi pemikir hukum progresif yang merujuk pada nama Prof. Satjipto.

Salah seorang murid Prof. Satjipto adalah Aloysius Wisnubroto. Lahir di Yogyakarta 3 Januari 1967, Al.Wisnubroto banyak berinteraksi dengan almarhum Prof. Satjipto terutama setelah Wisnubroto mengambil magister dan doktor di Universitas Diponegoro Semarang. Buku yang ada di hadapan kita juga banyak diilhami kuliah dan diskusi penulis dengan almarhum Begawan Ilmu Hukum itu. Penulis bertitik tolak dari ungkapan: “law as a great anthropological moment”.

Buku ini dimulai penulis dengan pertanyaan menggelitik: benarkah hukum Indonesia sudah kehilangan orientasi saat ini? Sebelum masa penjajahan, perkembangan tatanan hukum Indonesia berjalan dengan “wajar” mengikuti perkembangan masyarakat. Begitu Belanda dan Jepang masuk, tatanan hukum Indonesia mengalami “masa kegelapan”, yang ditandai antara lain terdesaknya hukum asli masyarakat (hal. 1). Begitu kemerdekaan diproklamirkan, ada satu tekad untuk membangun sistim hukum nasional.

Enam puluh tahun lebih setelah merdeka, sistim hukum nasional seolah belum menemukan bentuknya yang ideal. Ia tampil dalam sosok “sistim hukum campuran yang serba tanggung” (hal. 5). 

Tentu saja, ada banyak faktor yang mempengaruhi tatanan hukum nasional, seperti halnya yang dialami negara lain. Sistim hukum yang hendak dibangun Indonesia tak akan bisa lepas dari tatanan sistim hukum berpengaruh di dunia, seperti Civil Law dan Common Law. Pengaruh hukum adat dan hukum agama juga tak bisa dianggap sepele. Tengoklah perkembangan bisnis syariah yang sudah terserap ke dalam tatanan hukum nasional. Meskipun anasir asing tak bisa dihindari, penulis sangat berharap “unsur-unsur tatanan asing yang akan diadopsi hendaknya diseleksi secara cermat dan diperlakukan secara proporsional dengan unsur-unsur hukum asli yang akan diangkat dalam hukum nasional” (hal. 46).

Dalam kacamata penulis, tatanan hukum nasional kita belumlah mandiri. Perjalanan historis bangsa sangat mempengaruhi terbentuknya tatanan itu, ditambah kompleksitas masalah yang kini dihadapi. Bagi mereka yang lama menggeluti dunia hukum, simpulan penulis bisa jadi mengandung kebenaran. Cuma, argumentasi yang dibangun dan mozaik yang hendak dilihat pada masa depan belum tergambar dengan baik. Dengan analisis tak sampai seratus halaman, buku ini tak akan mampu menjawab secara gamblang pertanyaan awal: apakah hukum nasional sudah kehilangan orientasi? Kalaupun ada jawaban, pembaca tak perlu berharap bisa menemukan jawaban yang sempurna dalam buku ini. Itulah salah satu titik lemah buku ini. Bingkai “Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia” terlalu besar untuk uraian yang begitu singkat. Belum lagi sejumlah kesalahan ketik yang seharusnya tak perlu terjadi.

Toh, buku ini tetap layak Anda baca. Cara penulis meninjau masalah dan membicarakan materi yang dibahas akan mengantarkan Anda kepada daya kritis. Melihat hukum bukan dengan membaca pasal demi pasal Undang-Undang. Seperti kata Prof. Satjipto, melihat hukum tak ubahnya melihat monumen antropologis. Dan peranan hukum itu dalam masyarakat begitu problematik.

Menatap arah tatanan hukum nasional bisa jadi adalah sebuah perjalanan tanpa ujung. Bahkan tak akan berakhir begitu Anda selesai membaca buku Aloysius Wisnubroto ini. Tak percaya?

sumber tulisan : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c40114a35072/membaca-hukum-indonesia-yang-gamang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar