Sebelum
menghadap Sang Khalik, Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang Prof.
Satjipto Rahardjo pernah merenungkan sebuah pertanyaan sederhana:
apakah hukum sudah mati? Pertanyaan yang pernah dilontarkan sosiolog
hukum David M. Trubek: “is law dead?”
Hukum
di Indonesia begitu carut marut. Kita mengalami krisis. Mafia hukum
melibatkan nyaris semua jajaran penegak hukum. Tengok saja mafia
perpajakan yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak, polisi, jaksa, hakim,
pengacara, dan pengusaha. Aksi kekerasan terjadi dimana-mana. Korupsi
terus menerus berlangsung seolah tak terusik kehadiran KPK.
Penyalahgunaan wewenang begitu kasat mata. Ironisnya, semua menjadikan
hukum sebagai payung penyimpangan itu. Seolah-olah perbuatan menyimpang
itu adalah legal.
Hukum
yang diharapkan menyelesaikan beragam problem di masyarakat kita, kata
Prof. Satjipto, tetap bekerja dengan irama ‘business as usual’. Dari
situlah muncul pertanyaan menggelitik: apakah hukum sudah mati?
Prof.
Satjipto sudah tiada. Tetapi pemikiran-pemikiran kritisnya masih bisa
kita baca lewat karya-karya yang beliau hasilkan semasa hidup. Kalaupun
tidak lewat buku almarhum, corak pemikiran kritisnya masih bisa kita
pahami dari murid-muridnya, terutama mereka yang tergabung dalam Kaum
Tjipian. Ini adalah sebuah kelompok diskusi pemikir hukum progresif yang
merujuk pada nama Prof. Satjipto.
Salah
seorang murid Prof. Satjipto adalah Aloysius Wisnubroto. Lahir di
Yogyakarta 3 Januari 1967, Al.Wisnubroto banyak berinteraksi dengan
almarhum Prof. Satjipto terutama setelah Wisnubroto mengambil magister
dan doktor di Universitas Diponegoro Semarang. Buku yang ada di hadapan
kita juga banyak diilhami kuliah dan diskusi penulis dengan almarhum
Begawan Ilmu Hukum itu. Penulis bertitik tolak dari ungkapan: “law as a great anthropological moment”.
Buku
ini dimulai penulis dengan pertanyaan menggelitik: benarkah hukum
Indonesia sudah kehilangan orientasi saat ini? Sebelum masa penjajahan,
perkembangan tatanan hukum Indonesia berjalan dengan “wajar” mengikuti
perkembangan masyarakat. Begitu Belanda dan Jepang masuk, tatanan hukum
Indonesia mengalami “masa kegelapan”, yang ditandai antara lain
terdesaknya hukum asli masyarakat (hal. 1). Begitu kemerdekaan
diproklamirkan, ada satu tekad untuk membangun sistim hukum nasional.
Tentu
saja, ada banyak faktor yang mempengaruhi tatanan hukum nasional,
seperti halnya yang dialami negara lain. Sistim hukum yang hendak
dibangun Indonesia tak akan bisa lepas dari tatanan sistim hukum
berpengaruh di dunia, seperti Civil Law dan Common Law. Pengaruh hukum
adat dan hukum agama juga tak bisa dianggap sepele. Tengoklah
perkembangan bisnis syariah yang sudah terserap ke dalam tatanan hukum
nasional. Meskipun anasir asing tak bisa dihindari, penulis sangat
berharap “unsur-unsur tatanan asing yang akan diadopsi hendaknya
diseleksi secara cermat dan diperlakukan secara proporsional dengan
unsur-unsur hukum asli yang akan diangkat dalam hukum nasional” (hal.
46).
Dalam
kacamata penulis, tatanan hukum nasional kita belumlah mandiri.
Perjalanan historis bangsa sangat mempengaruhi terbentuknya tatanan itu,
ditambah kompleksitas masalah yang kini dihadapi. Bagi mereka yang lama
menggeluti dunia hukum, simpulan penulis bisa jadi mengandung
kebenaran. Cuma, argumentasi yang dibangun dan mozaik yang hendak
dilihat pada masa depan belum tergambar dengan baik. Dengan analisis tak
sampai seratus halaman, buku ini tak akan mampu menjawab secara
gamblang pertanyaan awal: apakah hukum nasional sudah kehilangan
orientasi? Kalaupun ada jawaban, pembaca tak perlu berharap bisa
menemukan jawaban yang sempurna dalam buku ini. Itulah salah satu titik
lemah buku ini. Bingkai “Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia” terlalu
besar untuk uraian yang begitu singkat. Belum lagi sejumlah kesalahan
ketik yang seharusnya tak perlu terjadi.
Toh,
buku ini tetap layak Anda baca. Cara penulis meninjau masalah dan
membicarakan materi yang dibahas akan mengantarkan Anda kepada daya
kritis. Melihat hukum bukan dengan membaca pasal demi pasal
Undang-Undang. Seperti kata Prof. Satjipto, melihat hukum tak ubahnya
melihat monumen antropologis. Dan peranan hukum itu dalam masyarakat
begitu problematik.
sumber tulisan : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c40114a35072/membaca-hukum-indonesia-yang-gamang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar