Majelis hakim Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat yang mempailitkan PT Kodeco Mamberamo
berpendapat bahwa unsur-unsur kepailitan sudah terpenuhi. Pengadilan
sudah melakukan pemanggilan yang layak kepada debitur, tetapi hingga
putusan dibacakan debitur tidak menggunakan haknya. Itu sebabnya,
majelis memutus Kodeco pailit tanpa kehadiran para direksi yang hampir
semuanya warga negara Korea.
Menurut
Heru Pramono, hakim pengawas kepailitan Kodeco, menegaskan bahwa
majelis hakim sudah memanggil secara layak dan ada batas waktu bagi
majelis untuk memutus perkara ini. Kalau debitur terus tidak hadir, masa
nggak diputus-putus, ujar Heru yang juga Humas PN Jakarta Pusat.
Menariknya, pertimbangan majelis memppailitkan Kodeco secara verstek merujuk pada pendapat Profesor R. Subekti. Dalam bukunya Hukum Pembuktian (Pradnya Paramita, 1995: hal 11), mantan Ketua Mahkamah Agung itu menulis bahwa dalam hukum acara perdata, sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui.
Lebih
lanjut, Prof. Subekti menulis bahwa hal-hal yang harus dibuktikan
hanyalah hal-hal yang yang menjadi perselisihan, yaitu segala apa yang
diajukan oleh pihak yang satu, tetapi disangkal pihak lain. Hal yang
diajukan satu pihak dan diakui pihak lain tak perlu dibuktikan. Menurut
Subekti, juga tak perlu dibuktikan hal-hal yang diajukan oleh satu
pihak, meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh pihak lain tetapi
tidak disangkal.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa jika debitur tak menyangkal adanya
utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berarti sama saja mengakui.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ketidakhadiran debitur dapat disamakan
dengan pengakuan adanya utang. Majelis yang mengadili perkara Kodeco
berpandangan bahwa Kodeco memenuhi syarat dipailitkan.
Putusan
ini memang belum berkekuatan hukum tetap sebab Kodeco mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung. Mungkinkah pandangan majelis tingkat pertama akan
dikesampingkan Mahkamah Agung? Hanya majelis hakim yang tahu.
Namun berdasarkan penelusuran hukumonline,
masalah ketidakhadiran debitur disinggung dalam sejumlah putusan
kepailitan. Satu hal yang patut dicatat adalah ketidakhadiran debitur
tak selalu berarti pengakuan atas adanya utang. Setidaknya pandangan
demikian dianut oleh majelis beranggotakan Bagir Manan, Paulus Effendi
Lotulung dan Soeharto ketika mereka menangani permohonan pailit BNP Paribas terhadap PT Aempe Pluit Bataco Raya pada tingkat peninjauan kembali.
Saat itu, majelis hakim membuat pertimbangan demikian: Bahwa yang dimaksud dengan pengakuan dalam perkara a quo adalah pengakuan di muka sidang, bukan disimpulkan karena tidak hadir,
kemudian diterima sebagai pengakuan. Kalau cara berpikir atas
penafsiran tersebut diterima, maka akan merusak pengertian hukum
mengenai "pengakuan" sebagai pengakuan yang harus disampaikan dimuka
sidang. Selain itu ketidakhadiran ditafsirkan sebagai pengakuan, maka
akan menyebabkan pranata �verstek' menjadi tidak berguna (walaupun dalam
perkara niaga tidak dikenal putusan verstek).
Rapat kreditur
Rapat
kreditur pertama sudah berlangsung Senin (05/1) kemarin. Sayang, rapat
kreditur berlangsung tertutup. Pengunjung dilarang masuk. Poltak
Silaban, kurator yang ditunjuk majelis, juga irit bicara. Ia enggan
membeberkan langkah-langkah yang sudah dilakukan kurator dalam mengurus
boedel pailit.
Cerita
tentang asal muasal permohonan kepailitan Kodeco sekilas diungkap Duma
Hutapea, pengacara pemohon. Kodeco dianggap telah menunggak utang
sebesar AS$82,728,072.54 meliputi utang pokok, bunga, dan denda
tunggakan bunga, beserta Rp40.252.801.971 untuk Interest Ballon Payment
(IBP). Utang itu dibuat sejak 1996 lewat 19 perjanjian kredit yang
hampir semuanya memiliki Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit. Sejak
kredit cair, Kodeco tidak ada upaya membayar, jelas Duma. Menurut Duma,
utang Kodeco terhadap kliennya (BNI) telah jatuh tempo dan dapat ditagih
pada 30 Juni 2006.
BNI
46 tidak sendirian sebagai kreditur. Marubeni Corporation, sebuah
perusahaan Jepang, disinyalir juga memiliki piutang yang tidak dibayar
sebesar 16,140,329,310�. Kuasa Hukumnya dari Hanafiah Ponggawa, Fabian
B. Pascoal sebagaimana tertulis dalam putusan yang diperlihatkan kepada
hukumonline telah
berusaha mengingatkan Kodeco untuk membayar tapi tidak digubris.
Perkara No. 3/Pailit/2007/PN.Niaga. JKT.PST ini akhirnya diputus tanpa
dihadiri oleh direksi Kodeco.
Duma
juga menyangkal perkiraan debitur tidak dipanggil secara layak dan
patut. Sudah dua kali dipanggil dan diterima secara baik, ujarnya sesuai
dengan yang tertera dalam salinan putusan. Kuasa hukum BNI ini juga
menjelaskan sebenarnya pengacara debitur sudah datang tapi tanpa surat
kuasa yang layak. Padahal Majelis Hakim sudah baik hati menunda sidang
sampai dua kali untuk memberi kesempatan mendapatkan surat kuasa. Tapi
sampai hari sidang terakhir surat kuasa tidak juga turun, tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar