Jumat, 05 Juli 2013

Majelis Perkara Kepailitan Kodeco Anut Pendapat Prof. Subekti

"Kodeco Mamberamo, sebuah perusahaan Korea, dinyatakan pailit secara verstek. Ketidakhadiran debitur dianggap sebagai sikap tidak menyangkal, dan berarti mengakui adanya utang."


Majelis hakim Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat yang mempailitkan PT Kodeco Mamberamo berpendapat bahwa unsur-unsur kepailitan sudah terpenuhi. Pengadilan sudah melakukan pemanggilan yang layak kepada debitur, tetapi hingga putusan dibacakan debitur tidak menggunakan haknya. Itu sebabnya, majelis memutus Kodeco pailit tanpa kehadiran para direksi yang hampir semuanya warga negara Korea.

Menurut Heru Pramono, hakim pengawas kepailitan Kodeco, menegaskan bahwa majelis hakim sudah memanggil secara layak dan ada batas waktu bagi majelis untuk memutus perkara ini. Kalau debitur terus tidak hadir, masa nggak diputus-putus, ujar Heru yang juga Humas PN Jakarta Pusat.

Menariknya, pertimbangan majelis memppailitkan Kodeco secara verstek merujuk pada pendapat Profesor R. Subekti. Dalam bukunya Hukum Pembuktian (Pradnya Paramita, 1995: hal 11), mantan Ketua Mahkamah Agung itu menulis bahwa dalam hukum acara perdata, sikap tidak menyangkal dipersamakan dengan mengakui.

Lebih lanjut, Prof. Subekti menulis bahwa hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang yang menjadi perselisihan, yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu, tetapi disangkal pihak lain. Hal yang diajukan satu pihak dan diakui pihak lain tak perlu dibuktikan. Menurut Subekti, juga tak perlu dibuktikan hal-hal yang diajukan oleh satu pihak, meskipun tidak secara tegas dibenarkan oleh pihak lain tetapi tidak disangkal.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika debitur tak menyangkal adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berarti sama saja mengakui. Pertanyaan selanjutnya, apakah ketidakhadiran debitur dapat disamakan dengan pengakuan adanya utang. Majelis yang mengadili perkara Kodeco berpandangan bahwa Kodeco memenuhi syarat dipailitkan.

Putusan ini memang belum berkekuatan hukum tetap sebab Kodeco mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mungkinkah pandangan majelis tingkat pertama akan dikesampingkan Mahkamah Agung? Hanya majelis hakim yang tahu.

Namun berdasarkan penelusuran hukumonline, masalah ketidakhadiran debitur disinggung dalam sejumlah putusan kepailitan. Satu hal yang patut dicatat adalah ketidakhadiran debitur tak selalu berarti pengakuan atas adanya utang. Setidaknya pandangan demikian dianut oleh majelis beranggotakan Bagir Manan, Paulus Effendi Lotulung dan Soeharto ketika mereka menangani permohonan pailit BNP Paribas terhadap PT Aempe Pluit Bataco Raya pada tingkat peninjauan kembali.

Saat itu, majelis hakim membuat pertimbangan demikian: Bahwa yang dimaksud dengan pengakuan dalam perkara a quo adalah pengakuan di muka sidang, bukan disimpulkan karena tidak hadir, kemudian diterima sebagai pengakuan. Kalau cara berpikir atas penafsiran tersebut diterima, maka akan merusak pengertian hukum mengenai "pengakuan" sebagai pengakuan yang harus disampaikan dimuka sidang. Selain itu ketidakhadiran ditafsirkan sebagai pengakuan, maka akan menyebabkan pranata �verstek' menjadi tidak berguna (walaupun dalam perkara niaga tidak dikenal putusan verstek).

Rapat kreditur
Rapat kreditur pertama sudah berlangsung Senin (05/1) kemarin. Sayang, rapat kreditur berlangsung tertutup. Pengunjung dilarang masuk. Poltak Silaban, kurator yang ditunjuk majelis, juga irit bicara. Ia enggan membeberkan langkah-langkah yang sudah dilakukan kurator dalam mengurus boedel pailit.

Cerita tentang asal muasal permohonan kepailitan Kodeco sekilas diungkap Duma Hutapea, pengacara pemohon. Kodeco dianggap telah menunggak utang sebesar AS$82,728,072.54 meliputi utang pokok, bunga, dan denda tunggakan bunga, beserta Rp40.252.801.971 untuk Interest Ballon Payment (IBP). Utang itu dibuat sejak 1996 lewat 19 perjanjian kredit yang hampir semuanya memiliki Persetujuan Perubahan Perjanjian Kredit. Sejak kredit cair, Kodeco tidak ada upaya membayar, jelas Duma. Menurut Duma, utang Kodeco terhadap kliennya (BNI) telah jatuh tempo dan dapat ditagih pada 30 Juni 2006.

BNI 46 tidak sendirian sebagai kreditur. Marubeni Corporation, sebuah perusahaan Jepang, disinyalir juga memiliki piutang yang tidak dibayar sebesar 16,140,329,310�. Kuasa Hukumnya dari Hanafiah Ponggawa, Fabian B. Pascoal sebagaimana tertulis dalam putusan  yang diperlihatkan kepada hukumonline telah berusaha mengingatkan Kodeco untuk membayar tapi tidak digubris. Perkara No. 3/Pailit/2007/PN.Niaga. JKT.PST ini akhirnya diputus tanpa dihadiri oleh direksi Kodeco.

Duma juga menyangkal perkiraan debitur tidak dipanggil secara layak dan patut. Sudah dua kali dipanggil dan diterima secara baik, ujarnya sesuai dengan yang tertera dalam salinan putusan. Kuasa hukum BNI ini juga menjelaskan sebenarnya pengacara debitur sudah datang tapi tanpa surat kuasa yang layak. Padahal Majelis Hakim sudah baik hati menunda sidang sampai dua kali untuk memberi kesempatan mendapatkan surat kuasa. Tapi sampai hari sidang terakhir surat kuasa tidak juga turun, tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar