Sekilas, Hikmahanto Juwana, 38 tahun, seperti orang muda kebanyakan.
Muda, dinamis, dan supel. Jauh dari penampilan seorang profesor yang
tua, botak, dan kaku. Hikmahanto adalah profesor termuda dalam sejarah
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) atau bahkan di Indonesia.
Memperoleh gelar terhormat pada usia di bawah 40 tahun jelas bukan
pencapaian yang biasa-biasa saja. Meski selalu merendah bila gelar
profesor "termuda"-nya diungkit-ungkit, Hikmahanto mengaku berusaha
menciptakan tren baru.
Dalam pandangan Hikmahanto, tren menjadi doktor atau profesor di usia
yang relatif muda sangat mungkin dicapai. "Orang tidak harus tua dulu
untuk menjadi doktor. Kalau semakin tua orang baru mau jadi doktor,
bisa-bisa nanti berebut biaya pendidikan dengan anaknya," kata Prof.
Hikmahanto.
Baginya, mendapat gelar akademis tertinggi di usia yang tergolong muda
bukan berarti segala hal otomatis menempel di kepalanya. Justru dalam
ilmu hukum, banyak sekali masalah yang berkembang. Ia justru malah
tertantang untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa ia memang layak
memperoleh gelar "The Highest Achievement" itu.
Lahir di Jakarta pada 23 November 1965, anak kedua dari enam bersaudara
ini merasa bahwa perjalanannya untuk sampai ke jenjang yang tertinggi
berawal pada minatnya pada bidang hukum dan kecintaannya pada profesi
sebagai dosen. Apalagi sejak SMP, ia memang sudah berkeinginan untuk
masuk fakultas hukum.
Awalnya Hikmahanto bingung karena sebenarnya ia juga ingin untuk masuk
ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), bekerja di Departemen
Luar Negeri, kemudian menjadi seorang diplomat. Persis seperti
perjalanan karier ayahnya, sosok yang ia kagumi. Toh, dorongan orang tua
dan cita-citanya sejak SMP jadi kombinasi ampuh untuk memantapkan
pilihannya untuk bersekolah hukum.
Setelah masuk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada 1983,
keinginan Hikmahanto untuk menjadi dosen mulai tercetus. Tahun ke dua
kuliah, ia mulai diminta teman-temannya untuk memberikan tentir beberapa
mata kuliah. Ia tidak keberatan dengan pekerjaan tambahan itu.
Karena semasa kuliah, Hikmahanto sudah terbiasa mensistematisir
perkuliahan dan menyusun diktat. "Saya mau jadi dosen," jawab Hikmahanto
mantap, saat ditanya oleh pengujinya ketika ada pemilihan mahasiswa
teladan FHUI di tahun ketiga kuliahnya. "Sejak awal saya memang sudah
mengkondisikan diri untuk menggeluti ilmu hukum. Dan saya juga mencintai
profesi saya sebagai dosen," kisahnya.
Meski telah memantapkan diri menjadi dosen, di tahun terakhir
kuliahnya, ia berpikir untuk mencicipi praktek hukum guna melengkapi
berbagai teori yang diperolehnya. Hikmahanto memilih kantor pengacara OC
Kaligis dengan pertimbangan ia merasa perlu untuk belajar berlitigasi
dan di situ pasti banyak perkara menarik. Akhirnya, jadilah Hikmahanto
magang di kantor pengacara itu.
Sekitar setahun bekerja di kantor pengacara, Hikmahanto mulai merasa
litigasi bukanlah jalan hidupnya. Bahkan, Kaligis menilai ia tak cocok
jadi litigator. "Mungkin kau harus jadi dosen," ucap Hikmahanto
menirukan ucapan Kaligis. Ia pun memutuskan kembali ke kampus,
mengabdikan diri sebagai dosen. Di kampus, ia juga mengurusi berbagai
masalah administrasi kampus. Misalnya, bagaimana membuat dan menjawab
surat yang baik. Hikmahanto banyak mendapat bimbingan dari Dekan FHUI
Prof. Mardjono Reksodiputro.
Tahun 1989, Hikmahanto memperoleh beasiswa untuk gelar master di bidang
hukum dari Keio University di Jepang. Berbeda dengan gelar master di
Amerika yang bisa diperoleh dalam waktu satu tahun, di Jepang ia harus
berjuang selama tiga tahun. Di Negeri Sakura, ia harus menyisihkan satu
tahun untuk belajar bahasa Jepang terlebih dahulu.
Saat menyusun tesis di Jepang, Hikmahanto mulai berpikir-pikir untuk
segera mengambil gelar doktor. "Sebagai seorang dosen, gelar doktor itu
ibarat paspor untuk berkiprah di luar negeri," tuturnya. Meski masih
dalam proses menyiapkan tesis, jadilah ia mulai mengadakan riset
kecil-kecilan dan mengumpulkan bahan dari sana-sini untuk menuju jenjang
S-3.
Ia merasa berhasil mengefisienkan waktunya di Jepang hingga akhirnya
meraih gelar master dari Keio University dengan judul tesis An International Law Perspective of Space Commercialization: Conflict of Interest Between the Developed and Developing States.
Hikmahanto menyabet gelar doktornya di University of Nottingham pada
Desember 1997. Namun, perjalanannya tidak mudah. Ia kehabisan uang
kuliah dan memutuskan untuk kembali ke tanah air sebentar untuk magang
di kantor pengacara Lubis Ganie Surowidjojo (LGS). Selain untuk mencari
tambahan uang kuliah, ia memang berniat mempelajari hukum korporasi,
satu bidang yang belum pernah ia cicipi. Baginya, LGS adalah tempat yang
tepat.
Namun, karirnya di LGS antara 1994-1997 juga bukan perkara yang mudah.
Hikmahanto mengisahkan betapa pengetahuannya tidak berarti apa-apa
ketika mulai bekerja di sana. Bahkan ketika hampir menyandang gelar
doktor, ia sempat merasa "minder" bersaing dengan "fresh graduate"
yang jauh lebih muda dan lebih dulu bekerja di LGS. "Saya bilang sama
istri saya bahwa saya tidak cocok bekerja di sana. Lantas, saya bikin
surat pengunduran diri. Tapi besoknya, surat tersebut tidak saya
serahkan," kisahnya.
Untungnya, ia bisa mengendalikan rasa minder dan mengubahnya menjadi
motivator. Ia mentargetkan dalam enam bulan, ia harus menunjukan
kemampuannya di LGS. Perlahan-lahan ia mulai menyukai kariernya di LGS,
meski ketika itu sering harus pulang pukul dua dini hari.
Karirnya yang mulai menanjak di LGS, tidak membuat Hikmahanto terlena
dan melupakan "jalan hidupnya" sebagai dosen. Benar saja, pada 1997 ia
meninggalkan LGS. "Itu bukan sesuatu yang saya merasa belong to,"
ungkapnya ketika menceritakan alasannya meninggalkan LGS. Akhirnya, ia
berkonsentrasi untuk memperoleh gelar doktor pada Desember 1997.
Disertasinya di University of Nottingham berjudul: The Right of State to Establish and Build Up Military Defence Capability: Japan as a Case Study.
Selepas meraih gelar doktor, perjalanan Hikmahanto sebagai akademisi
semakin bersinar. Puncaknya, ia memperoleh jabatan Guru Besar di UI pada
2001 dalam usia 36 tahun dan dikukuhkan sebagai profesor pada 2002.
Hikmahanto jadi profesor termuda di FHUI. Meskipun masih muda, ia pantas
menyandang gelar tertinggi dalam dunia pendidikan karena wawasannya
yang luas.
Koleksi buku perpustakaan Hikmahanto di sebuah apartemen di bilangan
Kuningan, Jakarta, yang mencapai ribuan, menunjukkan kecintaannya pada
buku. Buku-buku itu ia kumpulkan sejak kuliah di FHUI. Ia tetap secara
rutin membaca berbagai hal karena ia sering dimintai pendapat di media
massa. Tulisannya sering menghiasi media cetak berskala nasional.
Opininya sering dikutip di berbagai media massa mengenai berbagai aspek
hukum, mulai dari pidana, HAM, sampai hukum bisnis.
Padahal, Hikmahanto dikenal sebagai ahli di bidang hukum internasional. "Bagi saya yang penting basic knowledge.
Ilmu hukum itu sebenarnya cuma satu," ujarnya. Penekanannya memang
hukum internasional, tapi bukan berarti cabang ilmu hukum lain bisa kita
abaikan. Pasalnya, ada interelasi satu dengan yang lain.
Sebagai Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto dikenal kritis dan
ia mampu menguraikan pandangannya dengan jelas dan sistematis. Ia
mengemukakan pendapatnya secara independen berdasarkan ilmu yang
dikuasainya.
Ketika AS dan koalisinya menyerang Irak, Hikmahanto berpendapat bahwa
paling tidak terdapat dua kejahatan perang yang dilakukan Bush. Pertama,
Bush melakukan kejahatan kepada kemanusiaan, crime against humanity. Kedua,aggressive war.
Padahal menurutnya, hukum internasional hanya memperbolehkan dua alasan
untuk berperang. Yaitu, untuk membela diri, dan yang lain untuk
menjalankan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ia juga tidak setuju dengan AS yang mengembangkan doktrin pre-emptive attack
untuk mendukung argumen perangnya. Doktrin ini memberikan hak kepada
suatu negara untuk menyerang mendahului sebelum diserang oleh negara
lain. Ia berpendapat bahwa pre-emptive attack tidak bisa diterima untuk kasus Amerika vs Irak.
Hikmahanto termasuk sedikit dari pakar hukum internasional yang
dimiliki Indonesia. Menteri Luar Negeri N. Hassan Wirajuda mengakui
jumlah ahli hukum internasional Indonesia belumlah seperti yang
diharapkan, khususnya untuk interaksi di kalangan dunia internasional.
Selain Hassan Wirajuda dan Hikmahanto, pakar hukum internasional
Indonesia, termasuk Mochtar Kusumaatmadja, Hasyim Djalal, Sudargo
Gautama, dan Sidik Suraputra.
Menurut Wirajuda, kurangnya pakar hukum internasional sebagian karena
sistem pendidikan hukum di Indonesia dan lainnya disebabkan oleh
kurangnya apresiasi dari bangsa Indonesia tentang pentingnya hubungan
dengan dunia internasional.
Menyadari kurangnya apresiasi terhadap hukum internasional, Hikmahanto mendirikanIndonesia Society of International Law (ISIL). Tujuan ISIL, antara lain untuk melahirkan praktisi hukum internasional yang mampu berkiprah dan diakui oleh dunia.
Ia juga ikut menjadi pendukung pelaksanaan Indonesians Rounds of Jessup Competition yang merupakan moot court
hukum international. Dorongan Hikmahanto tidak percuma. Tim dari
Indonesia -- yang diwakili mahasiswa FHUI --meraih posisi 26, kedudukan
yang lumayan untuk negara berkembang serta tidak menggunakan bahasa
Ingris sebagai bahasa nasional.
Meski usianya belum lagi genap 40 tahun, pengalaman Hikmahanto sangat
beragam. Mulai dari dosen, pengacara, konsultan hukum, sampai staf ahli
menteri pernah ia rasakan. Ia pernah menjadi staf ahli Menko
Perekonomian ketika saat Kwik Kian Gie menjadi menteri.
Toh, kekayaan pengalamannya itu tak membuat Hikmahanto tertarik untuk
berpolitik. Setidaknya, untuk saat ini. "Kalau berpolitik, artinya saya
harus berpihak. Sebagai dosen, saya nggak mau berpihak. Dengan
pengetahuan yang saya punya, saya harus menjelaskan, memetakan
permasalahan tanpa saya harus berpihak," katanya.
Menurut Hikmahanto, kalau seseorang menjadi anggota DPR atau partai
politik, maka ia harus menyuarakan kepentingan partai. "Keberpihakan
saya hanya kepada ilmu pengetahuan. Tapi saya nggak tahu ini akan
bertahan berapa lama. Karena teman-teman bilang kalau saya punya
pemikiran tentang suatu hal, maka harus diimplementasikan."
Selain pantang untuk berpolitik untuk sementara, Hikmahanto juga punya
pantangan lain. Ia harus menjauhi makanan berprotein dan jeroan.
Penyebabnya, kadar asam uratnya di atas normal. Jadilah, ia harus
menghentikan hobinya melahap soto betawi. Paling-paling ia hanya makan
soto ambengan di Cikini. Untuk urusan makanan, Hikmahanto mengaku
lidahnya sangat Indonesia, meski telah menjelajah berbagai pelosok
dunia.
Obsesinya adalah go international. Sudah saatnya akademisi
Indonesia berkiprah dan memperoleh pengakuan dari dunia internasional.
"Ini yang sedang saya rintis. Pada satu titik saya berharap punya nama
di dunia internasional. Saya ingin penelitian-penelitian saya dikutip
oleh masyarakat internasional. Ini bisa membuat pendidikan hukum di
Indonesia terangkat," ujarnya. Ia ingin menjadi pakar hukum
internasional yang mendunia.
Suami dari Nenden H. Juwana ini, yang ia nikahi pada 10 Maret 1990,
mengungkapkan kesulitannya dalam membagi waktu untuk keluarga. Praktis
dari Senin sampai Minggu, waktunya habis untuk mengajar. Bahkan, untuk
Sabtu dan Minggu, biasanya ia mengajar di luar Jakart, di Medan,
Yogyakarta, dan Riau.
Hikmahanto baru mulai mengajar di atas pukul 17.00 sampai 21.00. Ketika
pulang ke rumahnya di Bekasi, ketiga anaknya sudah terlelap. Biasanya,
ia baru bisa bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anaknya sehabis salat
subuh dan ketika sarapan pagi.
Ayah dari Ogi Pratama Juwana, 12, Tannia Meisa Juwana, 9, dan Afira
Diara Juwana, 3, ini beberapa kali mendapat komplain dari anak-anaknya
bila mereka merasa ia kurang meluangkan waktunya untuk mereka. "Tapi
saya selalu kasih penjelasan bahwa yang saya lakukan mengajar sampai
malam, juga untuk mereka. Supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan yang
lebih baik. Tantangan saya adalah membuat anak saya mandiri. Saya ingin
mereka tak hanya bisa bersaing di Indonesia."
Kendati demikian, Hikmahanto tidak pernah menegur anaknya bila mereka
tidak mendapat ranking yang memuaskan. Meski istrinya komplain dengan
sikapnya itu, ia menginginkan anaknya dididik secara demokratis dan
diberi kebebasan. Ia berharap kalau anaknya mendapat nilai bagus, itu
semua berangkat kesadaran mereka sendiri.
Toh, ia juga merasa bukan orang yang selalu mendapat nilai bagus. Ketika SMA dan masuk ke jurusan IPA, nilainya juga sering jeblok.
Bahkan, ia sering diledek oleh teman dekatnya karena nilainya yang
buruk. "Mau jadi apa lu," tukas temannya saat ia lagi-lagi mendapat
nilai merah. Rupanya itulah yang jadi salah satu motivasinya untuk
menjadi lebih baik.
Pria yang hobinya mengenakan batik berlengan pendek ini juga
mengungkapkan bahwa ia membebaskan istrinya untuk memilih antara membina
karier atau mengurus rumah tangga. Baginya, tidak adil bila perempuan
yang memperoleh pendidikan tinggi dan orang tuanya telah menghabiskan
banyak biaya, malah berhenti bekerja karena dilarang suaminya.
Untunglah, saat aktifitasnya demikian padat seperti sekarang, istrinya
sudah tidak lagi bekerja kantoran. Istrinya kini mengelola sebuah taman
kanak-kanak. "Dengan ritme kerja saya seperti sekarang, saya bilang ke
istri supaya dia lebih banyak waktu untuk memperhatikan anak-anak. Bila
ia memperoleh setengah hari senggang pada akhir pekan, itulah waktu dia
untuk keluarga.
Bila Hikmahanto benar-benar merasa lelah, ia akan memilih untuk tidur.
Tidur, berenang, dan membaca jadi salah satu kegiatan favoritnya di
waktu senggangnya. Untuk sementara ia belum berniat untuk bermain golf,
seperti lazimnya eksekutif muda atau orang-orang sukses
mengaktualisasikan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar