Jumat, 05 Juli 2013

Hikmahanto Juwana: Profesor Termuda Ahli Hukum Internasional

"Merasa tertantang untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa ia memang layak memperoleh gelar "The Highest Achievement"."

Sekilas, Hikmahanto Juwana, 38 tahun, seperti orang muda kebanyakan. Muda, dinamis, dan supel. Jauh dari penampilan seorang profesor yang tua, botak, dan kaku. Hikmahanto adalah profesor termuda dalam sejarah Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) atau bahkan di Indonesia. Memperoleh gelar terhormat pada usia di bawah 40 tahun jelas bukan pencapaian yang biasa-biasa saja. Meski selalu merendah bila gelar profesor "termuda"-nya diungkit-ungkit, Hikmahanto mengaku berusaha menciptakan tren baru.
Dalam pandangan Hikmahanto, tren menjadi doktor atau profesor di usia yang relatif muda sangat mungkin dicapai. "Orang tidak harus tua dulu untuk menjadi doktor. Kalau semakin tua orang baru mau jadi doktor, bisa-bisa nanti berebut biaya pendidikan dengan anaknya," kata Prof. Hikmahanto. 
Baginya, mendapat gelar akademis tertinggi di usia yang tergolong muda bukan berarti segala hal otomatis menempel di kepalanya. Justru dalam ilmu hukum, banyak sekali masalah yang berkembang. Ia justru malah tertantang untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa ia memang layak memperoleh gelar "The Highest Achievement" itu. 
Lahir di Jakarta pada 23 November 1965, anak kedua dari enam bersaudara ini merasa bahwa perjalanannya untuk sampai ke jenjang yang tertinggi berawal pada minatnya pada bidang hukum dan kecintaannya pada profesi sebagai dosen. Apalagi sejak SMP, ia memang sudah berkeinginan untuk masuk fakultas hukum.  
Awalnya Hikmahanto bingung karena sebenarnya ia juga ingin untuk masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), bekerja di Departemen Luar Negeri, kemudian menjadi seorang diplomat. Persis seperti perjalanan karier ayahnya, sosok yang ia kagumi. Toh, dorongan orang tua dan cita-citanya sejak SMP jadi kombinasi ampuh untuk memantapkan pilihannya untuk bersekolah hukum. 
Setelah masuk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada 1983, keinginan Hikmahanto untuk menjadi dosen mulai tercetus. Tahun ke dua kuliah, ia mulai diminta teman-temannya untuk memberikan tentir beberapa mata kuliah. Ia tidak keberatan dengan pekerjaan tambahan itu.  
Karena semasa kuliah, Hikmahanto sudah terbiasa mensistematisir perkuliahan dan menyusun diktat. "Saya mau jadi dosen," jawab Hikmahanto mantap, saat ditanya oleh pengujinya ketika ada pemilihan mahasiswa teladan FHUI di tahun ketiga kuliahnya. "Sejak awal saya memang sudah mengkondisikan diri untuk menggeluti ilmu hukum. Dan saya juga mencintai profesi saya sebagai dosen," kisahnya. 
Meski telah memantapkan diri menjadi dosen, di tahun terakhir kuliahnya, ia berpikir untuk mencicipi praktek hukum guna melengkapi berbagai teori yang diperolehnya. Hikmahanto memilih kantor pengacara OC Kaligis dengan pertimbangan ia merasa perlu untuk belajar berlitigasi dan di situ pasti banyak perkara menarik. Akhirnya, jadilah Hikmahanto magang di kantor pengacara itu.  
Sekitar setahun bekerja di kantor pengacara, Hikmahanto mulai merasa litigasi bukanlah jalan hidupnya. Bahkan, Kaligis menilai ia tak cocok jadi litigator. "Mungkin kau harus jadi dosen," ucap Hikmahanto menirukan ucapan Kaligis. Ia pun memutuskan kembali ke kampus, mengabdikan diri sebagai dosen. Di kampus, ia juga mengurusi berbagai masalah administrasi kampus. Misalnya, bagaimana membuat dan menjawab surat yang baik. Hikmahanto banyak mendapat bimbingan dari Dekan FHUI Prof. Mardjono Reksodiputro.  
Tahun 1989, Hikmahanto memperoleh beasiswa untuk gelar master di bidang hukum dari Keio University di Jepang. Berbeda dengan gelar master di Amerika yang bisa diperoleh dalam waktu satu tahun, di Jepang ia harus berjuang selama tiga tahun. Di Negeri Sakura, ia harus menyisihkan satu tahun untuk belajar bahasa Jepang terlebih dahulu. 
Saat menyusun tesis di Jepang, Hikmahanto mulai berpikir-pikir untuk segera mengambil gelar doktor. "Sebagai seorang dosen, gelar doktor itu ibarat paspor untuk berkiprah di luar negeri," tuturnya. Meski masih dalam proses menyiapkan tesis, jadilah ia mulai mengadakan riset kecil-kecilan dan mengumpulkan bahan dari sana-sini untuk menuju jenjang S-3.  
Ia merasa berhasil mengefisienkan waktunya di Jepang hingga akhirnya meraih gelar master dari Keio University dengan judul tesis An International Law Perspective of Space Commercialization: Conflict of Interest Between the Developed and Developing States. 
Hikmahanto menyabet gelar doktornya di University of Nottingham pada Desember 1997. Namun, perjalanannya tidak mudah. Ia kehabisan uang kuliah dan memutuskan untuk kembali ke tanah air sebentar untuk magang di kantor pengacara Lubis Ganie Surowidjojo (LGS). Selain untuk mencari tambahan uang kuliah, ia memang berniat mempelajari hukum korporasi, satu bidang yang belum pernah ia cicipi. Baginya, LGS adalah tempat yang tepat.
Namun, karirnya di LGS antara 1994-1997 juga bukan perkara yang mudah. Hikmahanto mengisahkan betapa pengetahuannya tidak berarti apa-apa ketika mulai bekerja di sana. Bahkan ketika hampir menyandang gelar doktor, ia sempat merasa "minder" bersaing dengan "fresh graduate" yang jauh lebih muda dan lebih dulu bekerja di LGS. "Saya bilang sama istri saya bahwa saya tidak cocok bekerja di sana. Lantas, saya bikin surat pengunduran diri. Tapi besoknya, surat tersebut tidak saya serahkan," kisahnya. 
Untungnya, ia bisa mengendalikan rasa minder dan mengubahnya menjadi motivator. Ia mentargetkan dalam enam bulan, ia harus menunjukan kemampuannya di LGS. Perlahan-lahan ia mulai menyukai kariernya di LGS, meski ketika itu sering harus pulang pukul dua dini hari. 
Karirnya yang mulai menanjak di LGS, tidak membuat Hikmahanto terlena dan melupakan "jalan hidupnya" sebagai dosen. Benar saja, pada 1997 ia meninggalkan LGS. "Itu bukan sesuatu yang saya merasa belong to," ungkapnya ketika menceritakan alasannya meninggalkan LGS.  Akhirnya, ia berkonsentrasi untuk memperoleh gelar doktor pada Desember 1997. Disertasinya di University of Nottingham berjudul: The Right of State to Establish and Build Up Military Defence Capability: Japan as a Case Study.
Selepas meraih gelar doktor, perjalanan Hikmahanto sebagai akademisi semakin bersinar. Puncaknya, ia memperoleh jabatan Guru Besar di UI pada 2001 dalam usia 36 tahun dan dikukuhkan sebagai profesor pada 2002. Hikmahanto jadi profesor termuda di FHUI. Meskipun masih muda, ia pantas menyandang gelar tertinggi dalam dunia pendidikan karena wawasannya yang luas. 
Koleksi buku perpustakaan Hikmahanto di sebuah apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta, yang mencapai ribuan, menunjukkan kecintaannya pada buku. Buku-buku itu ia kumpulkan sejak kuliah di FHUI. Ia tetap secara rutin membaca berbagai hal karena ia sering dimintai pendapat di media massa. Tulisannya sering menghiasi media cetak berskala nasional. Opininya sering dikutip di berbagai media massa mengenai berbagai aspek hukum, mulai dari pidana, HAM, sampai hukum bisnis. 
Padahal, Hikmahanto dikenal sebagai ahli di bidang hukum internasional. "Bagi saya yang penting basic knowledge. Ilmu hukum itu sebenarnya cuma satu," ujarnya. Penekanannya memang hukum internasional, tapi bukan berarti cabang ilmu hukum lain bisa kita abaikan. Pasalnya, ada interelasi satu dengan yang lain. 
Sebagai Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto dikenal kritis dan ia mampu menguraikan pandangannya dengan jelas dan sistematis. Ia mengemukakan pendapatnya secara independen berdasarkan ilmu yang dikuasainya. 
Ketika AS dan koalisinya menyerang Irak, Hikmahanto berpendapat bahwa paling tidak terdapat dua kejahatan perang yang dilakukan Bush. Pertama, Bush melakukan kejahatan kepada kemanusiaan, crime against humanity. Kedua,aggressive war. Padahal menurutnya, hukum internasional hanya memperbolehkan dua alasan untuk berperang. Yaitu, untuk membela diri, dan yang lain untuk menjalankan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 
Ia juga tidak setuju dengan AS yang mengembangkan doktrin pre-emptive attack untuk mendukung argumen perangnya. Doktrin ini memberikan hak kepada suatu negara untuk menyerang mendahului sebelum diserang oleh negara lain. Ia berpendapat bahwa pre-emptive attack tidak bisa diterima untuk kasus Amerika vs Irak.  
Hikmahanto termasuk sedikit dari pakar hukum internasional yang dimiliki Indonesia. Menteri Luar Negeri N. Hassan Wirajuda mengakui jumlah ahli hukum internasional Indonesia belumlah seperti yang diharapkan, khususnya untuk interaksi di kalangan dunia internasional. Selain Hassan Wirajuda dan Hikmahanto, pakar hukum internasional Indonesia, termasuk Mochtar Kusumaatmadja, Hasyim Djalal, Sudargo Gautama, dan Sidik Suraputra. 
Menurut Wirajuda, kurangnya pakar hukum internasional sebagian karena sistem pendidikan hukum di Indonesia dan lainnya disebabkan oleh kurangnya apresiasi  dari bangsa Indonesia  tentang pentingnya hubungan dengan dunia internasional.
Menyadari kurangnya apresiasi terhadap hukum internasional, Hikmahanto mendirikanIndonesia Society of International Law (ISIL). Tujuan ISIL, antara lain untuk melahirkan praktisi hukum internasional yang mampu berkiprah dan diakui oleh dunia.  
Ia juga ikut menjadi pendukung pelaksanaan  Indonesians Rounds of Jessup Competition yang merupakan moot court hukum international. Dorongan Hikmahanto tidak percuma. Tim dari Indonesia -- yang diwakili mahasiswa FHUI --meraih posisi 26, kedudukan yang lumayan untuk negara berkembang serta tidak menggunakan bahasa Ingris sebagai bahasa nasional. 
Meski usianya belum lagi genap 40 tahun, pengalaman Hikmahanto sangat beragam. Mulai dari dosen, pengacara, konsultan hukum, sampai staf ahli menteri pernah ia rasakan. Ia pernah menjadi staf ahli Menko Perekonomian ketika saat Kwik Kian Gie menjadi menteri. 
Toh, kekayaan pengalamannya itu tak membuat Hikmahanto tertarik untuk berpolitik. Setidaknya, untuk saat ini. "Kalau berpolitik, artinya saya harus berpihak. Sebagai dosen, saya nggak mau berpihak. Dengan pengetahuan yang saya punya, saya harus menjelaskan, memetakan permasalahan tanpa saya harus berpihak," katanya. 
Menurut Hikmahanto, kalau seseorang menjadi anggota DPR atau partai politik, maka ia harus menyuarakan kepentingan partai. "Keberpihakan saya hanya kepada ilmu pengetahuan. Tapi saya nggak tahu ini akan bertahan berapa lama. Karena teman-teman bilang kalau saya punya pemikiran tentang suatu hal, maka harus diimplementasikan."  
Selain pantang untuk berpolitik untuk sementara, Hikmahanto juga punya pantangan lain. Ia harus menjauhi makanan berprotein dan jeroan. Penyebabnya, kadar asam uratnya di atas normal. Jadilah, ia harus menghentikan hobinya melahap soto betawi. Paling-paling ia hanya makan soto ambengan di Cikini. Untuk urusan makanan, Hikmahanto mengaku lidahnya sangat Indonesia, meski telah menjelajah berbagai pelosok dunia. 
Obsesinya adalah go international. Sudah saatnya akademisi Indonesia berkiprah dan memperoleh pengakuan dari dunia internasional. "Ini yang sedang saya rintis. Pada satu titik saya berharap punya nama di dunia internasional. Saya ingin penelitian-penelitian saya dikutip oleh masyarakat internasional. Ini bisa membuat pendidikan hukum di Indonesia terangkat," ujarnya. Ia ingin menjadi pakar hukum internasional yang mendunia.  
Suami dari Nenden H. Juwana ini, yang ia nikahi pada 10 Maret 1990,  mengungkapkan kesulitannya dalam membagi waktu untuk keluarga. Praktis dari Senin sampai Minggu, waktunya habis untuk mengajar. Bahkan, untuk Sabtu dan Minggu, biasanya ia mengajar di luar Jakart, di Medan, Yogyakarta, dan Riau. 
Hikmahanto baru mulai mengajar di atas pukul 17.00 sampai 21.00. Ketika pulang ke rumahnya di Bekasi, ketiga anaknya sudah terlelap. Biasanya, ia baru bisa bertemu dan berkomunikasi dengan anak-anaknya sehabis salat subuh dan ketika sarapan pagi. 
Ayah dari Ogi Pratama Juwana, 12, Tannia Meisa Juwana, 9, dan Afira Diara Juwana, 3, ini beberapa kali mendapat komplain dari anak-anaknya bila mereka merasa ia kurang meluangkan waktunya untuk mereka. "Tapi saya selalu kasih penjelasan bahwa yang saya lakukan mengajar sampai malam, juga untuk mereka. Supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Tantangan saya adalah membuat anak saya mandiri. Saya ingin mereka tak hanya bisa bersaing di Indonesia."  
Kendati demikian, Hikmahanto tidak pernah menegur anaknya bila mereka tidak mendapat ranking yang memuaskan. Meski istrinya komplain dengan sikapnya itu, ia menginginkan anaknya dididik secara demokratis dan diberi kebebasan. Ia berharap kalau anaknya mendapat nilai bagus, itu semua berangkat kesadaran mereka sendiri. 
Toh, ia juga merasa bukan orang yang selalu mendapat nilai bagus. Ketika SMA dan masuk ke jurusan IPA, nilainya juga sering jeblok. Bahkan, ia sering diledek oleh teman dekatnya karena nilainya yang buruk. "Mau jadi apa lu," tukas temannya saat ia lagi-lagi mendapat nilai merah. Rupanya itulah yang jadi salah satu motivasinya untuk menjadi lebih baik. 
Pria yang hobinya mengenakan batik berlengan pendek ini juga mengungkapkan bahwa ia membebaskan istrinya untuk memilih antara membina karier atau mengurus rumah tangga. Baginya, tidak adil bila perempuan yang memperoleh pendidikan tinggi dan orang tuanya telah menghabiskan banyak biaya, malah berhenti bekerja karena dilarang suaminya. 
Untunglah, saat aktifitasnya demikian padat seperti sekarang, istrinya sudah tidak lagi bekerja kantoran. Istrinya kini mengelola sebuah taman kanak-kanak. "Dengan ritme kerja saya seperti sekarang, saya bilang ke istri supaya dia lebih banyak waktu untuk memperhatikan anak-anak. Bila ia memperoleh setengah hari senggang pada akhir pekan, itulah waktu dia untuk keluarga.  
Bila Hikmahanto benar-benar merasa lelah, ia akan memilih untuk tidur. Tidur, berenang, dan membaca jadi salah satu kegiatan favoritnya di waktu senggangnya. Untuk sementara ia belum berniat untuk bermain golf, seperti lazimnya eksekutif muda atau orang-orang sukses mengaktualisasikan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar