Sabtu, 06 Juli 2013

YKCI versus Inul Vizta di Pengadilan Niaga

"Memperdebatkan kelayakan jumlah royalti yang harus dibayar."


Bagi Anda yang sering berdendang ria di karaoke seperti Inul Vizta atau di kafe, salah satu menu pilihan adalah lagu-lagu jadul semacam Widuri atau lagu ‘Kasih’ yang pernah dinyanyikan Ermi Kulit, atau ‘Tinggallah Kusendiri’ yang dipopulerkan Nike Ardilla. Lagu-lagu lama karya Bartje van Houten, Slamet Adriyadi, Yuke NS, dan Richard Kyoto masih menarik bagi sebagian pecinta karaoke.
Para pencipta lagu tersebut kini sedang memperjuangkan hak mereka di pengadilan. Lewat Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), para pencipta lagu klasik itu mempersoalkan minimnya royalti yang mereka terima selama ini dari Inul Vista. Kamis (21/3) lalu, misalnya, Yuke NS, bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam kesaksiannya, Yuke mengatakan PT Vizta Pratama, yaitu perusahaan pemegang merek dagang Inul Vizta Karaoke ini enggan membayar royalti atas lagu-lagu ciptaan para pencipta yang lagunya ada di karaoke tersebut. Bahkan, Inul Vizta Karaoke terus meminta keringanan pembayaran. Alhasil, pendapatan royalti para pencipta lagu mengalami penurunan sebanyak 50 persen.
"Maunya diskon terus. Ini nggak adil. Gimana kalau dibalik, mau tidak dia mendapatkan Rp10. Dia kan artis. Harusnya tahu mengenai hak si pencipta," tutur Yuke kepada hukumonline usai persidangan, Kamis (21/3). Kesaksian Yuke hanya salah satu fase yang harus dilalui dalam sengketa YKCI melawan PT Vizta Pratama.
Gugat menggugat ini berawal dari tudingan YKCI bahwa Vizta Pratama telah melanggar hak cipta para pencipta lagu. Untuk diketahui, YKCI adalah lembaga kolektif manajemen yang telah berdiri sejak 1990 dan diakui eksistensinya antara lain oleh Kementerian Hukum dan HAM.
YKCI adalah pemegang hak cipta dari 2.636 para pencipta lagu Indonesia dengan karya sebanyak 130 ribu lagu. Selain menjadi pemegang hak cipta para pencipta lagu Indonesia, YKCI juga mendapat Reciprocal Agreement oleh International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC) yang berkedudukan di Paris. Atas hal tersebut, YKCI mendapat hak untuk mengelola sebanyak 10 juta lagu asing dari buah karya 2 juta pencipta lagu asing yang bergabung di ISAC.
Sebagai pemegang hak cipta, YKCI mempunyai hak untuk memungut royalti terhadap para pengguna lagu yang menggunakan lagu-lagu para pencipta untuk tujuan komersial. Karaoke, termasuk yang dikelola Vizta Pratama, dan kafe adalah tempat lagu-lagu penyanyi diperdengarkan. Tempat karaoke wajib membayar royalti sesuai UU No 19 Tahun 2002.
Dalam kasus ini, penggugat menuding Inul Vizta Karaoke hanya membayar royalti sebanyak Rp5,5 juta/outlet/tahun, bahkan kemudian turun menjadi Rp3,5 juta/outlet/tahun. Menurut YKCI, harga ini tidak layak. Padahal, bisnis tersebut menyuguhkan lagu-lagu ciptaan sebagai menu utama dalam menjalankan roda bisnis tersebut.
Pasalnya, berdasarkan hitung-hitungan YKCI, Inul Vizta Karaoke hanya membayar Rp10 per lagu. Artinya, para pencipta lagu hanya mendapatkan royalti Rp10 atas satu ciptaan lagunya. Sementara itu, keuntungan minimal yang diperoleh Inul Vizta Karaoke per hari ditaksir mencapai Rp5,4 miliar. “Padahal bisnis ini prinsipnya no song, no bussiness,” ucap Ketua Umum YKCI Dharma Oratmangun kepada hukumonline, Kamis (21/3).
Atas hal tersebut, YKCI menuntut agar Inul Vizta membayar royalti sebanyak Rp720 ribu/ruangan/tahun. Tuntutan tersebut telah sesuai dengan aturan standard internasional yang diatur CISAC. Juga, dalam gugatannya, YKCI meminta majelis hakim untuk menghukum tergugat membayar sisa royalti Rp51 juta untuk periode 2012 dan membayar kerugian immaterial sejumlah Rp1 miliar.
Gugat Balik
Kuasa hukum Inul Vizta Karaoke, Anthony LP Hutapea menolak dikatakan kliennya membayar royalti secara tidak layak. Soalnya, angka Rp3,5 juta tersebut ditetapkan YKCI sendiri. Kala itu, YKCI mengatakan harga standar yang ditetapkan oleh CISAC sebesar Rp720 ribu/ruangan/tahun belum dapat diterapkan di Indonesia mengingat keadaan ekonomi pelaku usaha Indonesia berbeda dengan kemampuan pengusaha luar negeri. Juga, bisnis karaoke masih berkembang di Indonesia.
Atas hal tersebut, para pihak sepakat menentukan royalti sebesar Rp720 ribu per/kamar/tahun dipotong 40% sehingga menjadi Rp3,5 juta per tahun. Apalagi, angka Rp3,5 juta yang sudah ditetapkan penggugat lebih besar daripada biaya royalti yang ditetapkan lembaga pemungut royalti lainnya, seperti Royal Musik Indonesia dan Wahana Musik Indonesia yang hanya berkisar Rp2,5 juta/tahun. Dengan mengubah pembayaran royalti menjadi Rp720 ribu/ruangan/tahun tanpa kesepakatan bersama, Anthony menilai tindakan YKCI adalah tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum.
Selain itu, Anthony menyangkal keras Inul Vizta meraup keuntungan yang besar per harinya. Menurutnya, YKCI telah melupakan kalau bisnis tersebut tidak selalu ada pelanggannya. Banyak kamar karaoke yang kosong. Juga, Inul Vizta harus membayar gaji para karyawan, perizinan, dan biaya operasional lainnya. “Penggugat langsung berkesimpulan kalau tergugat meraup keuntungan besar,” tulis Anthony dalam berkas jawabannya.
Selain menolak membayar royalti sejumlah Rp720 ribu tersebut, Anthony juga menolak membayar ganti kerugian immaterial yang mencapai angka Rp1 miliar. Soalnya, YKCI dalam positanya tidak menyinggung sedikit pun mengenai kerugian immaterial. Berdasarkan putusan MA No.117.K/Sip/1971 tertanggal 2 Juni 1971 menyatakan gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dan dibuktikan dengan sempurna, tidak dapat dikabulkan. Begitu juga dengan Putusan MANo.598.K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971 dan No.550.K/Sip/1979 tertanggal 8 Mei 1980.
Atas tindakan yang melawan hukum itu, Inul Vizta Karaoke menggugat balik dan meminta ganti kerugian material untuk jasa pengacara dan kerugian immaterial karena telah mencoreng nama baik Inul Vizta Karaoke. Total kerugian tersebut mencapai Rp1,5 miliar.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar