Jumat, 05 Juli 2013

Membaca Dua Fase Pemikiran Mochtar

Dua buku yang berisi pandangan orang lain terhadap sosok dan pemikiran Mochtar Kusuma Atmadja.

Teori hukum pembangunan yang berkembang di Indonesia tak bisa dilepaskan dari nama Mochtar Kusuma Atmadja. Pengadiannya di kampus dan di birokrat telah ikut membantu penyebaran pandangan-pandangannya tentang hukum. Dikenal sebagai pakar hukum internasional, Mochtar pernah diangkat menjadi Menteri Kehakiman (1974-1978) dan Menteri Luar Negeri (1978-1988).
 
Gagasan-gagasan Mochtar telah dimasukkan sebagai materi hukum dalam Pelita I (1970-1975). Pada intinya teori hukum pembangunan menegaskan hukum harus bisa didayagunakan untuk kepentingan pembangunan. Pemikiran Mochtar sedikit banyak mengenalkan mahasiswa hukum di Indonesia dengan sebutan law is a tool of social engineering.
 
Sudah banyak buku, disertasi atau tesis, dan tulisan-tulisan lepas yang membahas teori hukum pembangunan ala Mochtar, termasuk kritik-kritiknya. Kendati demikian, teori hukum pembangunan tetap menarik minat kalangan peneliti dan akademisi untuk memperbincangkannya.
 
Ada dua buku terbaru yang coba membahas pemikiran pria kelahiran Jakarta 17 Februari 1929 itu. Pertama, buku yang ditulis Prof. Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif  (Genta Publishing, Maret, 2012), dan buku profil tokoh hukum yang diterbitkan Epistema Institute, Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi (Juni, 2012).
Buku pertama bisa disebut ditulis 'inner circle' karena Mochtar dan Romli puluhan tahun mengabdikan diri sebagai akademisi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, meskipun berbeda generasi. Meskipun buku ini tak secara semata membahas teori hukum pembangunan Mochtar, tetapi disinggung pada beberapa bagian. Buku Romli ini adalah upaya merekonstruksi pemikiran Mochtar dan pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo lewat teori hukum progresif.
Buku kedua adalah kumpulan tulisan tentang pemikiran dan kontribusi Mochtar, baik yang ditulis inner circle maupun orang luar. Tulisan tulisan plus pengantar dari Prof. Soetandyo Wignjosoebroto memberikan sejumlah perspektif untuk membaca pandangan dan karya Mochtar.
Latar belakang penulisan kedua buku sebenarnya berbeda. Romli menulis Teori Hukum Integratif karena risau melihat skeptimisme dan pesimisme masyarakat terhadap pembentukan undang-undangan dan penegakan hukum di Indonesia dewasa ini. Pengalaman sebagai akademisi, birokrat, bahkan menjadi pesakitan, telah mendorong penulis melakukan introspeksi.
Buku kedua lahir sebagai bagian dari upaya Epistema Institute meluncurkan seri tokoh hukum Indonesia. Profil Mochtar adalah seri kedua, setelah seri pertama menampilkan Prof. Satjipto Rahardjo.
Meskipun memiliki latar belakang penulisan berbeda, kedua buku sama-sama ingin menggambarkan konsep hukum ala Mochtar, tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, dan pergeseran pandangannya mengenai hukum.
Dalam pengantar, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan sebagai guru besar ilmu hukum, pemikiran Mochtar tidak mungkin dipisahkan dari perkenalannya dengan gagasan Roscoe Pound, mantan Dekan Harvard Law School.
Tulisan-tulisan Pound diyakini telah banyak mempengaruhi pemikiran Mochtar ketika menempuh pendidikan Universitas Yale, Amerika Serikat. Dengan demikian, pemikiran Mochtar berkaitan erat dengan aliran sociological jurisprudence. “Bila orang hendak memperbincangkan alam pikiran Mochtar yang berakar tunjang pada sociological jurisprudence, berikut paradigma fungsionalisme dan adagium law is tool of social engineering-nya, tak urung orang harus pulang balik ke gagasan-gagasan keilmuan Roscoe Pound,” tulis Prof. Soetandyo (Epistema, hal.xvii).
Namun Mochtar juga terpengaruh sarjana Amerika lain seperti FSC Northrop, Harold D Lasswell, dan MS McDougal (Epistema, hal.11). Pandangan Mochtar dengan para sarjana itu tak selamanya sama. Ia juga berbeda pandang soal fungsi hukum dengan Pound (Romli, hal. 68-69).
Menelusuri teori hukum pembangunan perlu membaca karya-karya Mochtar, terutama Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional; Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional; dan Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional.
Kontribusi Mochtar dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia juga diakui sangat besar. Ia mengkritik sistem pendidikan hukum Belanda yang hanya mendidik orang menjadi tukang. Mahasiswa hukum perlu kemampuan analisis kasus, dan lulusannya memiliki keahlian yang ditopang etika dan tanggung jawab profesi. Mochtar menganjurkan agar sistem pendidikan hukum ditujukan untuk meningkatkan kemampuan menganalisis kasus sehingga lulusannya telah dipersiapkan sebagai ahli hukum yang juga mengenal ilmu-imu nonhukum. Dengan kemampuan ini, lulusan hukum diharapkan menjadi pelopor pembaharuan hukum dalam masyarakat (Romli, hal. 63-64).
Namun, teori hukum pembangunan ala Mochtar bukan tanpa kelemahan. Romli mengakui ada hambatan menerapkan teori hukum pembangunan dalam praktik. Selama Orde Baru, misalnya, pengambil kebijakan sering memanfaatkan celah untuk mengunakan hukum sekadar sebagai alat (mekanis) memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan ketimbang kepentingan masyarakat (Romli, hal. 76-77).
Menelusuri jejak pengabdian Mochtar sebagai akademisi, birokrat, dan praktisi hukum tentu tidak cukup hanya dengan membaca kedua buku yang sedang diresensi. Anda juga perlu membaca buku Mieke Komar et all (1999), Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan (Kumpulan Karya Tulis 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja), terbitan Alumni Bandung. Juga tulisan-tulisan lain yang relevan dan ditulis terutama oleh murid-muridnya.
Dari karya-karya itulah kita bisa membaca dua fase pemikiran Mochtar. Prof. Lili Rasjidi, asisten Mochtar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, menggambarkan dua fase pemikiran Mochtar tentang hukum. Fase pertama, terjadi pada kurun waktu 1970-an hingga 1990-an. Fase kedua, bermula ketika Mochtar mulai tertarik mengkaji dan memasukkan wacana Pancasila ke dalam pandangan-pandangan teoritisnya, dan mulai mendasarkan pemikirannya pada khazanah budaya lokal. Lili menulis bahwa dalam fase kedua ini, “Mochtar terlihat sudah beranjak dari posisinya sebagai ilmuan hukum dan mencoba memasuki wilayah kajian filsafat hukum” (Epistema, hal. 122).
Kedua buku ini layak disandingkan di rak buku Anda, berdiri di samping karya lain yang membahas pemikiran tokoh-tokoh hukum. Lepas dari pandangan setuju atau kritis, membaca kedua buku ini akan mengantarkan kita memahami konsep-konsep yang dikembangkan Mochtar dan suasana kebatinan yang melahirkan gagasan itu.
Tulisan orang luar mungkin bisa mempermudah kita, terutama generasi sesudah era reformasi, melihat dan membaca sumbangsih pemikiran Mochtar dalam pengembangan hukum di Indonesia. Selamat membaca…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar