Runtuhnya
komunisme pertanda lonceng kemenangan liberalisme. Liberalisme
jelas-jelas memuat kemerdekaan pribadi. Walhasil, falsafah
individualisme yang cenderung egoistik makin merasuk ke sendi-sendi
pemikiran manusia.
Keluarnya
liberalisme (jika masih malu menyebutnya kapitalisme) sebagai kampiun
tunggal ini terang berdampak besar. Kita serasa tak menemukan alternatif
pemikiran yang lain. Alih-alih, negara berkembang terpaksa menyesuaikan
diri dengan mengadosi nilai-nilai Barat tersebut. Termasuk dalam ranah
praktek bisnis. Konsepsi Good Corporate Governance (GCG), misalnya. Begitu deras mengakar tercangkok di benak kita. Globalisasi memang tak mengenal batas negara.
Akibatnya,
negara non-Barat mengeluarkan ongkos sosial yang teramat mahal.
Padahal, tak jarang mereka memiliki nilai lokal yang sangat bermutu.
Guru Besar Emeritus Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang Prof.
Satjipto Rahardjo merupakan salah satu orang yang menyesalkan fenomena
tersebut.
Padahal, di belahan bumi yang lain, ada nilai yang tak kalah hebatnya. Jepang dan China
adalah contoh unik. Mereka mampu berdiri sebagai negara nodern tanpa
perlu membebek pada nilai-nilai Barat. Jika Barat sarat dengan muatan
egoisme, negara orientalis ini justru penuh dengan nilai kebersamaan,
kekeluargaan, dan komunalisme.
Seusai mengisi Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance di Hotel Intercontinetal Jakarta, Satjipto menguraikan pandangannya kepada hukumonline.
Pria berusia 77 tahun ini juga mengingatkan pentingnya moral dalam
mengawal praktek hukum bisnis. Berikut petikan buah pikir guru besar
sosiologi-hukum Undip ini.
Anda mengutarakan bahwa kita beruntung memiliki contoh Jepang dan China. Keduanya memiliki etika yang berbeda dari dunia Barat. Sebenarnya, apakah Indonesia punya nilai-nilai lokal?
Indonesia jelas punya cerlang budaya (local genius). Kita bisa membandingkannya dengan China
dan terutama Jepang. Kita perlu bersyukur bahwa Tuhan menciptakan
Jepang di dunia. Jepang bisa mejadi cermin bagi kita, bisa mendorong
kita. Jepang banyak melahirkan hal yang sebetulnya berseberangan dengan
Barat. Sekalipun Jepang merupakan negara modern, tapi di tengah-tengah
kemajuannya, Jepang dapat survive. Kejepangannya tak larut meniru
industri Barat.
Jadi
kalau kita lihat Jepang bisa seperti itu, seharusnya kita bisa berkaca.
Apa sih kekurangan kita? Kita sebenarnya punya gagasan-gagasan atau local wisdom.
Hanya, kita tidak punya konsistensi. Kita tak punya determinasi untuk
mewujudkan nilai-nilai itu ke dalam praksis di kehidupan sehari-hari.
Itu kelemahan kita.
Contohnya apa?
Hubungan
industrial Pancasila itu bagus. Kita sudah punya konsepnya di Orde
Baru. Pemikiran ini sangat lain dan memang berseberangan dengan konsep
Barat. Tapi kenapa yang muncul malah kasus Marsinah? Buruh disiksa,
dijemur? Banyak pekerja yang demo menuntut hak normatif yang belum
dibayarkan. Semua ini tak mungkin terjadi jika hubungan industri
Pancasila diterapkan dengan baik. Nah, kalau kita mau melihat contoh
implementasi industri Pancasila, kita kudu menengok Jepang. Yang kita
cita-citakan di sini justru muncul di Jepang. Padahal Jepang tak pernah
mengenal Pancasila sama sekali.
Kita juga punya istilah menang tanpa ngasorake (menang tanpa mengalahkan). Falsafah ini sudah ada sejak dulu. Kita baru bisa menelannya dengan bahasa win-win solution. Kita juga punya pepatah nglurug tanpa bala (melabrak tanpa bantuan teman). Kelihatannya tak mungkin dan abstrak banget. Tapi baru-baru ini ada buku yang berjudul An Occupation Without Troops (Glenn Davis dan John Roberts, 1996).
Institusi
publik seperti sebuah korporasi merupakan cerminan bentuk kehidupan
sosialnya. Bukan berarti demokrasi hanya punya satu wajah. Demokrasi ala
Barat sangat liberal dan individualistik. Sedangkan demokrasi Jepang
bernilai kolektif dan komunal. Nyatanya industri dan dunia bisnis Jepang
bisa maju pesat. Perusahaan mereka punya watak tersendiri.
Mengapa Indonesia tidak punya konsistensi dan determinasi?
Ceritanya
akan menjadi panjang. Kalau kita lihat, memang Jepang sudah ditempa
sedemikian rupa selama ratusan tahun. Dia menutup diri dari luar negeri.
Selama dia mengisolasi, dia membangun watak kejepangannya. Begitu dia
muncul menjadi salah satu negara maju, watak kejepangannya sudah jadi.
Karena itulah saya melontarkan pikiran, kita ini belum betul-betul
menjadi Indonesia. Sedangkan Jepang sudah benar-benar menjadi Jepang. China sudah rampung menjadi China. Kalau ada pengaruh mereka berani menawar.
Kalau kita kayaknya ketakutan seakan kena penalti kalau tak mengikuti pandangan Barat. Misalnya konsep Good Corporate Governance (GCG). Sebenarnya Indonesia punya segudang gagasan indah. Tapi terlalu cepat menyerah. Kita begitu tergesa-gesa transformed into becoming modern.
Anda
juga berpendapat, terlalu mahal ongkos fisik maupun sosial yang akan
dibayar jika terlalu memaksa menyesuaikan diri dengan nilai Barat.
Seberapa besarkah biaya itu?
Jelas mahal sekali. Kapital ada pada mereka, teknik teknologi ada pada mereka. Kita sebagai pendatang baru selalu membayar fee kepada mereka. Kita bakal didikte terus karena bargaining power terlalu lemah. Kenapa? Karena kita harus jadi mereka.
Termasuk harus meniru produk-produk hukum mereka?
Benar. Jadi, kita ini sangat larut dalam globalisasi. Orang Jawa punya istilah ngeli (mengikuti arus). Kalau Jepang ngeli, bukan keli (hanyut). Kita yang keli. Hahaha� Jepang punya versi demokrasi tersendiri. GCG itu usungan produk Barat loh.
Menurut Anda apakah praktek hukum juga harus dibarengi dengan moral yang bagus pula?
Itu benar sekali dan memang seharusnya begitu. Makanya kita harus merumuskan kembali. Supremacy of law itu wajib. Kalau tidak disadari, supremacy of law hanya diterjemahkan menjadi supremasi Undang-Undang. Padahal bukan itu maksudnya. Supremacy of law juga supremacy of justice.
Artinya pilar hukum Indonesia masih rapuh?
Iya. Jika hanya based on rules saja atau sekadar prosedural.
Apa yang diharapkan dari prosedur hukum jika memang rapuh?
Kami
di Universitas Diponegoro memiliki konsepsi penegakan hukum berbasis
progresif. Memang panjang ceritanya. Intinya, hukum jangan dipandang
sebagai peraturan saja, tapi juga diteropong sebagai perilaku manusia.
Nah, kita harus ikut merumuskan, bahwa faktor manusia adalah elemen dari
hukum. Empati manusia harus dilibatkan. Kita mesti sadar, Indonesia seharusnya menerapkannya.
Undang-Undang
Tipikor atau KPK hanya menyentuh kerugian keuangan negara. Padahal
banyak praktek bisnis swasta yang merugikan masyarakat. Bagaimana
menurut Anda?
Iya
juga. Tapi yang bisa kita lakukan dengan segera, adalah menyadarkan
rakyat. Rakyat harus tahu bahwa pemberantasan korupsi memang untuk
kepentingan mereka. Lalu apa? Kalau sudah dinyatakan korupsi, diputus
harus membayar sejumlah denda, jangan dimasukkan ke Kas Negara. Tapi
langsung dibagikan kepada rakyat. Supaya mereka tahu, pemberantasan
korupsi untuk kepentingan mereka. Kalau tidak, mereka bakal capek hanya
mendukung antikorupsi tapi mereka tak mendapatkan apa-apa. Katanya uang
rakyat dirampok. Sekarang harus langsung dikembalikan. Rakyat harus
langsung melihat.
Pendapat Anda tentang praktek bisnis di Indonesia?
Saya memang bukan praktisi bisnis. Tapi saya juga mengikuti perkembangannya lewat berbagai bacaan. Saya khawatir, apakah bisnis Indonesia betul-betul punya watak atau hanya mengeruk keuntungan belaka? Substansinya, bisnis Indonesia
harus punya watak dahulu. Baru berbisnis. Makanya Jepang berani menawar
konsep baru karena punya karakter kuat. Kita juga harus punya sifat
tersendiri. Watak bisnis Indonesia ini jangan sampai tercerabut dari akar sosial budaya kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar