Jumat, 05 Juli 2013

Perekrutan Hakim Agung Salah Jalan

"Tak ada kewenangan DPR lakukan fit and proper test dan memilih."

Proses seleksi Calon Hakim Agung (CHA) dinilai pakar hukum tata negara Fajrul Falaakh sudah salah jalan. Tak lagi sejalan dengan UUD 1945.
Berdasarkan konstitusi, proses perekrutan hakim agung memang melibatkan tiga lembaga, KY, DPR dan Presiden. Ditegaskan dalam konstitusi, KY yang diamanatkan untuk melakukan proses rekrutmen hakim agung agar yang terpilih tidak terpengaruh oleh kekuasaan legislatif maupun eksekutif.
KY lalu mengusulkan CHA ke DPR untuk disetujui atau sebaliknya. Setelah disetujui legislatif, Presiden mengangkat mereka seperti ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945.
“Dengan kata lain, KY merekrut CHA sedangkan DPR mengonfirmasi menyetujui atau tidak menyetujui,” ujar Fajrul dalam Seminar ‘Menggugat Pemilihan Hakim Agung’ di Universitas Sahid, Jakarta, Kamis (17/6).
Menurut pengajar hukum Universitas Gajah Mada (UGM) itu, jika mengacu dan mengimplementasikan murni sesuai dengan konstitusi akan menghasilkan hakim agung yang jauh lebih baik. Namun faktanya, proses seleksi CHA yang dilakukan saat ini tidak demikian.
KY, urai Fajrul, hanya sebagai panitia seleksi (Pansel) tetap. Kemudian, KY mengajukan tiga calon untuk masing-masing lowongan hakim agung menjalani fit and proper test untuk kemudian DPR. Setelah calon dipilih DPR, KY menyampaikan hasil pilihan DPR ke presiden. “Dengan demikian terjadi politisasi perekrutan hakim agung sebanyak tiga kali,” ujarnya.
Ia berpendapat, CHA hasil seleksi KY dipilih DPR. Itu berarti DPR mengubah kewenangan dari hanya menyetujui menjadi memilih CHA. Sekaligus melibas kewenangan KY menjadi hanya mengusulkan pengangkatan CHA yang dipilih DPR. “Dengan kata lain, KY berganti peran sebagai ‘tukang posnya’ DPR,” paparnya.
Pola seperti itu menyalahi konstitusi tentang pembentukan KY yang independen sebagaimana tertuang dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945. Padahal, pembentukan KY yang independen dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman melalui perbaikan pola perekrutan hakim agung. “Pemilihan hakim agung oleh DPR tersebut tidak sejalan dengan standar internasional dan konstitusional,” ujarnya.
Pandangan serupa diutarakan pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra. Dia berpendapat secara eksplisit, mekanisme seleksi CHA tidak dicantumkan dalam UUD 1945. Namun satu-satunya lembaga yang dilibatkan dalam proses seleksi hanyalah KY sebagaimana termaktub dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Dikatakan Saldi, Pasal 24A ayat (3) menyebutkan, “Calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Kata  ‘persetujuan’, menurut Saldi, DPR hanya sebatas menyetujui atau sebaliknya terhadap calon yang diusulkan KY. Lebih jauh Saldi menuturkan, jika DPR melakukan pemilihan, maka UUD 1945 akan menyebut dengan kata ‘dipilih’.
“Dengan demikian, UUD 1945 tidak menghendaki DPR melakukan pemilihan, tetapi hanya sebatas persetujuan saja,” ujarnya.
Sayangnya, kewenangan itu ditafsirkan berbeda dalam UU No.5 Tahun 2004 jo UU No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Menurut Saldi, Pasal 8 menentukan hakim agung ditetapkan oleh presiden dari calon yang diajukan oleh DPR. Ia berpandangan, pada ketentuan pasal yang sama CHA ‘dipilih’ DPR berdasarkan nama yang diusulkan KY.
“Padahal  dalam konstitusi kata itu (dipilih, red) tidak pernah ada, baik dalam ketentuan yang mengatur tentang KY maupun DPR. Sehingga kata ‘dipilih’ tersebut merupakan kesepakatan politik DPR yang tidak sejalan dengan kehendak UUD 1945. 
KY merupakan komisi negara yang dibuat secara khusus untuk menyeleksi hakim agung. Karena tidak tepat membenarkan kewenangan DPR untuk memilih CHA setelah hasil  proses seleksi di KY,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar