Proses
seleksi Calon Hakim Agung (CHA) dinilai pakar hukum tata negara Fajrul
Falaakh sudah salah jalan. Tak lagi sejalan dengan UUD 1945.
Berdasarkan
konstitusi, proses perekrutan hakim agung memang melibatkan tiga
lembaga, KY, DPR dan Presiden. Ditegaskan dalam konstitusi, KY yang
diamanatkan untuk melakukan proses rekrutmen hakim agung agar yang
terpilih tidak terpengaruh oleh kekuasaan legislatif maupun eksekutif.
KY lalu
mengusulkan CHA ke DPR untuk disetujui atau sebaliknya. Setelah
disetujui legislatif, Presiden mengangkat mereka seperti ketentuan Pasal
24A ayat (3) UUD 1945.
“Dengan
kata lain, KY merekrut CHA sedangkan DPR mengonfirmasi menyetujui atau
tidak menyetujui,” ujar Fajrul dalam Seminar ‘Menggugat Pemilihan Hakim
Agung’ di Universitas Sahid, Jakarta, Kamis (17/6).
Menurut
pengajar hukum Universitas Gajah Mada (UGM) itu, jika mengacu dan
mengimplementasikan murni sesuai dengan konstitusi akan menghasilkan
hakim agung yang jauh lebih baik. Namun faktanya, proses seleksi CHA
yang dilakukan saat ini tidak demikian.
KY, urai
Fajrul, hanya sebagai panitia seleksi (Pansel) tetap. Kemudian, KY
mengajukan tiga calon untuk masing-masing lowongan hakim agung menjalani
fit and proper test
untuk kemudian DPR. Setelah calon dipilih DPR, KY menyampaikan hasil
pilihan DPR ke presiden. “Dengan demikian terjadi politisasi perekrutan
hakim agung sebanyak tiga kali,” ujarnya.
Ia
berpendapat, CHA hasil seleksi KY dipilih DPR. Itu berarti DPR mengubah
kewenangan dari hanya menyetujui menjadi memilih CHA. Sekaligus melibas
kewenangan KY menjadi hanya mengusulkan pengangkatan CHA yang dipilih
DPR. “Dengan kata lain, KY berganti peran sebagai ‘tukang posnya’ DPR,”
paparnya.
Pola
seperti itu menyalahi konstitusi tentang pembentukan KY yang independen
sebagaimana tertuang dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945. Padahal,
pembentukan KY yang independen dalam rangka mendukung kekuasaan
kehakiman melalui perbaikan pola perekrutan hakim agung. “Pemilihan
hakim agung oleh DPR tersebut tidak sejalan dengan standar internasional
dan konstitusional,” ujarnya.
Pandangan
serupa diutarakan pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi
Isra. Dia berpendapat secara eksplisit, mekanisme seleksi CHA tidak
dicantumkan dalam UUD 1945. Namun satu-satunya lembaga yang dilibatkan
dalam proses seleksi hanyalah KY sebagaimana termaktub dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945.
Dikatakan Saldi, Pasal 24A ayat (3) menyebutkan, “Calon
hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden”.
Kata
‘persetujuan’, menurut Saldi, DPR hanya sebatas menyetujui atau
sebaliknya terhadap calon yang diusulkan KY. Lebih jauh Saldi
menuturkan, jika DPR melakukan pemilihan, maka UUD 1945 akan menyebut
dengan kata ‘dipilih’.
“Dengan demikian, UUD 1945 tidak menghendaki DPR melakukan pemilihan, tetapi hanya sebatas persetujuan saja,” ujarnya.
Sayangnya, kewenangan itu ditafsirkan berbeda dalam UU No.5 Tahun 2004 jo UU No.3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung. Menurut Saldi, Pasal 8 menentukan hakim agung
ditetapkan oleh presiden dari calon yang diajukan oleh DPR. Ia
berpandangan, pada ketentuan pasal yang sama CHA ‘dipilih’ DPR
berdasarkan nama yang diusulkan KY.
“Padahal
dalam konstitusi kata itu (dipilih, red) tidak pernah ada, baik dalam
ketentuan yang mengatur tentang KY maupun DPR. Sehingga kata ‘dipilih’
tersebut merupakan kesepakatan politik DPR yang tidak sejalan dengan
kehendak UUD 1945.
KY
merupakan komisi negara yang dibuat secara khusus untuk menyeleksi hakim
agung. Karena tidak tepat membenarkan kewenangan DPR untuk memilih CHA
setelah hasil proses seleksi di KY,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar