"Pendidikan hukum di Indonesia masih kurang membekali mahasiswa dengan keterampilan dasar praktisi hukum."
Berkantor di salah satu lokasi paling strategis di Jakarta, berpakaian
necis dan berkelas, plus mengendarai mobil mewah, orang pasti tidak akan
meragukan kesuksesan seorang
M. Idwan Ganie
sebagai advokat. Itu baru soal penampilan, belum lagi jika kita
menengok penghargaan nasional dan internasional yang diraih pria
kelahiran Amsterdam, Belanda itu.
April 2012 lalu, misalnya, Kiki Ganie, begitu dia akrab disapa,
dinobatkan sebagai “One of the World’s 100 Leading Lawyers” oleh
Lawyer Monthly,
sebuah terbitan dan laman internet di Inggris. Ini adalah kali kedua
Kiki Ganie dinobatkan sebagai “One of the World’s 100 Leading Lawyers”
oleh Lawyer Monthly.
Di balik kesuksesannya sebagai advokat, tidak banyak khalayak yang
mengetahui bahwa Kiki Ganie sebenarnya juga adalah seorang pengajar. Ya,
setiap Kamis, di sela-sela kesibukannya sebagai advokat, Kiki Ganie
menyempatkan diri berkunjung ke Kampus FHUI di Depok, Jawa Barat. Pria
yang khas dengan kepala plontosnya ini mengasuh mata kuliah Penelusuran
Literatur dan Penulisan hukum atau populer disebut
Legal Opinion.
Diceritakan Kiki Ganie, dirinya mulai resmi mengajar sejak tahun
1986-1987. Kala itu, Dekan FHUI –berdasarkan informasi laman resmi FHUI,
dekan pada periode itu adalah Mardjono Reksodiputro- meminta Kiki Ganie
untuk mengajar. Meskipun sempat menimbang-nimbang, Kiki Ganie memenuhi
permintaan pimpinan fakultas almamaternya itu.
Namun, berbeda dengan jenjang karier dosen kebanyakan, Kiki Ganie
langsung menjadi dosen tanpa melewati jenjang asisten dosen. Sejak itu,
Kiki Ganie memiliki dua dunia yang harus dijalani, dunia advokat dan
mengajar.
Uniknya, meskipun sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan untuk
profesi advokat, Kiki Ganie justru mengaku lebih jatuh cinta pada
profesi dosen. Lantaran jatuh cinta, Kiki Ganie pun tidak menganggap
profesi dosen yang dia jalani sebagai profesi sampingan. Artinya, Kiki
Ganie tetap menjalaninya dengan serius.
Salah bentuk keseriusan itu, Kiki Ganie berupaya keras agar kuliah yang
diasuhnya menarik bagi mahasiswa. Caranya beragam mulai dari memberikan
insentif untuk mahasiswa yang aktif bertanya dan menjawab, hingga
menghadirkan pembicara tamu. Hasilnya ternyata cukup positif. Kuliah
Legal Opinion selalu penuh dengan mahasiswa, baik yang secara resmi mengambil mata kuliah itu maupun yang tidak.
Hasil positif lainnya, melalui ajang pemilihan “Melek Hukum Award” yang diselenggarakan
www.hukumonline.com dan
www.kaskus.co.id,
Kiki Ganie terpilih sebagai dosen hukum terfavorit. Kiki berhasil
menyisihkan sejumlah nama terkenal seperti Prof. Hikmahanto Juwana (ahli
hukum Internasional), Prof. Jimly Asshiddiqie (mantan Ketua MK), dan
Eman Suparman (Ketua KY). Acara penyerahan “Melek Hukum Award” digelar
di Kampus FHUI, Depok, 12 September 2012 lalu.
Untuk mengetahui lebih dalam kiprah Kiki Ganie sebagai dosen,
hukumonline berkesempatan
mewawancarai advokat yang selalu berpakaian necis itu di ruang kerjanya
di kantor LGS, Menara Imperium, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana perasaannya terpilih menjadi dosen hukum terfavorit?
Senang,
humble (rendah hati, red), dan ada beban juga. Berarti
ada yang disenangi mahasiswa, dan itu harus dipertahankan, ditingkatkan
lagi. Ada kebanggaan juga untuk almamater.
Apa makna dosen favorit menurut Anda? Apakah dosen favorit serta merta juga berarti dosen yang baik?
Saya kira menjadi favorit itu salah satu unsurnya menjadi dosen yang baik. Menjadi dosen favorit adalah satu entry point
yang baik karena kalau tidak senang dengan dosennya, dengan ilmunya,
tidak mungkin menjadi baik hasilnya. Mungkin saja dosen yang disenengi
itu bisa membawanya lebih dekat kepada ilmu yang dipelajari.
Salah satu alasan mahasiswa yang memilih Anda sebagai dosen
terfavorit, karena metode mengajar Anda yang suka membagi-bagikan hadiah
berupa tiket konser?
Ada banyak pertimbangannya. Pada dasarnya kan orang senang diberi
hadiah. Tetapi, salah satunya pertimbangannya, hadiah itu saya anggap
sebagai kado bagi generasi baru lawyer Indonesia, dalam arti lawyer secara umum. Apapun profesi hukumnya bagi saya itu lawyer, tidak hanya advokat.
Saya ingin menciptakan situasi yang lebih dekat ke kehidupan
sebenarnya. Bahwa kita bekerja itu sesungguhnya untuk mencari nafkah.
Ada reward-nya, ini bisa juga menjadi perangsang untuk menekuni
profesinya dan belajar ilmu hukum. Jadi, bisa senang dengan hukum, juga
senang dengan hasilnya sehingga kita melakukan apa yang kita sukai.
Tetapi, hadiah-hadiah ini konteksnya reward, bukan diobral.
Hadiah ini diberikan kepada mahasiswa yang menjawab pertanyaan dengan
benar. Kenapa tiket konser musik? Sebenarnya sulit untuk menemukan
hadiah yang menarik bagi kebanyakan mahasiswa. Musik itu biasanya
menarik, konser menarik.
Saya tidak pernah mengalokasikan anggaran khusus setiap tahunnya untuk
menyediakan hadiah-hadiah itu. Namun, setiap tahun, saya memikirkan hal
yang baru agar perkuliahannya menjadi menarik untuk mahasiswa.
Alasan lainnya yang dikemukakan mahasiswa yang memilih Anda
adalah soal pembicara tamu yang dihadirkan dalam perkuliahan. Kalau ini,
apa pertimbangannya?
Kalau lawyer diibaratkan sebagai dokter, kita selalu berbicara
dari sisi kedokterannya saja. Sekali-kali kan menarik juga untuk
menghadirkan pasien atau user-nya. Tujuannya juga, untuk membangun semangat hidup, semangat belajar, dan semangat masa depan.
Saya tidak pernah melihat jabatan ketika menghadirkan guest speaker, tetapi yang paling high profile yang
pernah saya hadirkan adalah Sandiago Uno (pengusaha muda, pernah
tercatat sebagai orang terkaya nomor 29 di Indonesia versi Majalah
Forbes, 2009, red.). Dia kan semacam business man gaya baru, yang datang dari keluarga kelas menengah, dan masih pula.
Salah satu tema dalam kuliah saya adalah “kita tidak mungkin
mempelajari sesuatu dengan baik, kecuali kita cinta dengan apa yang kita
pelajari”. Jadi, sebelum masuk ke substansi atau materinya, mungkin
harus mencari kiatnya terlebih dahulu bagaimana mencintai ilmu hukum ini
yang selalu dianggap sebagai ilmu yang paling susah. Makanya, kita
harus bisa jatuh cinta kepada ilmu hukum yang secara otomatis sebetulnya
tidak menarik. Pertanyaan saya di awal-awal kuliah, “siapa yang cinta
ilmu hukum?”, tidak ada yang mengangkat tangan. Mungkin hanya satu atau
dua.
Jadi, ilmu hukum itu tidak menarik bagi anda? Lalu apa yang membuat anda memilih fakultas hukum?
Saya tidak pernah bilang ke mahasiswa bahwa saya dari dulu waktu kecil
sudah mau menjadi lawyer. Tidak, ini masuk (fakultas hukum, red.) saja
bukan pilihan utama saya. Terus setelah lulus pun saya belum senang juga
dengan ilmu hukum ini. Jadi, jatuh cintanya ini baru belakangan.
Yang harus dipahami, ilmu hukum itu sebenarnya bukan sekadar peraturan
karena peraturan itu selalu berubah. Sebelum mereka lulus pun,
peraturannya bisa-bisa sudah tidak berlaku lagi. Yang penting itu adalah
logika, fakta, dan integritas. Jadi yang saya mau ajarkan itu bukan isi
peraturan.
Kan ada pepatah mengatakan “If you give man a fish, you give him food for a day, if you give man how to fish, you give him food for lifetime”.
Yang terakhir itu yang mau saya aplikasikan ke ilmu hukum. Kalau saya
kasih fish itu berarti saya hanya mengajarkan peraturan saja yang saat
mahasiswa lulus mungkin sudah tidak ada lagi peraturannya.
Soal metode mengajar seperti ini, dari mana dapat idenya? Apakah ada yang menginspirasi anda?
Inspirasi sepertinya tidak ada. Tetapi, kalau ditanya darimana dapatnya
mungkin dari dosen promotor saya sendiri di Jerman yang mengajar tidak
semata-mata mengenai peraturan. Beliau adalah salah satu yang dianggap
paling pintar di Jerman, dan dia salah satu yang termuda saat itu.
Namanya, Prof. Karsten Schmidt. Kalau dari Indonesia, Prof. Soerjono
Soekanto, menurut saya, cara mengajarnya juga agak lain. Caranya, saya
suka.
Sebenarnya banyak unsur untuk menjadi kuliah itu menarik. Pertama,
ilmunya itu sendiri. Kedua, cara penyajian. Lalu, tidak mau terlalu
membebankan mahasiswa. Jangan sampai cara mengajar sedemikian rupa
sehingga mahasiswa ketiduran. Saya memperhatikan benar, bahwa orang
normal itu atau orang paling cerdas pun untuk konsentrasi lebih dari 10
menit. Jadi, diantaranya harus ada intermezzo-nya supaya untuk yang
berikutnya bisa konsentrasi lagi.
Metode mengajar dengan cara memberikan insentif ini mulai diterapkan kapan?
Mungkin sekitar tahun 2000-an cara mengajar saya berubah, kalau
insentif lebih belakangan lagi. Tetapi kalau bicara soal kelas saya
penuh, sebenarnya sudah terjadi sebelum model insentif diterapkan. Jadi,
sejak kita membicarakan hukum bukan sekadar peraturan-peraturan, karena
dulu saya juga seperti itu (mengajar hanya soal peraturan, red.),
termasuk yang konvensional.
Sebagai dosen, bagaimana penilaian anda terhadap kualitas pendidikan tinggi hukum di Indonesia?
Ilmu hukum itu sebenarnya gampang. Artinya, dari dulu sampai sekarang
tidak ada yang berubah. Itu-itu saja. Ilmu hukum itu adalah ilmu tentang
logika dan cara berpikir. Dan itu dibarengi dengan beberapa skill,
bukan ilmu. Yang dari dulu sampai sekarang juga sama. Seperti ahli
matematika, kita pakai otak kiri. Tidak menggunakan otak kanan, yang
kreatif. Mungkin itu yang membuat ilmu hukum itu tidak menarik.
Saya juga sering bercanda “setuju nggak kalau kita nggak usah lulus
SMA, kita dari SMP kelas 2-3 langsung fakultas hukum pun bisa”. Tidak
ada satu hal penting pun di SMA yang kita perlukan untuk belajar hukum.
Karena hukum sejak 6000 tahun yang lalu there’s nothing new. Tidak ada inovasi di dalam ilmu hukum, tetapi dalam cara mempraktikkannya. Makanya, tidak ada penghargaan Nobel untuk hukum.
Yang penting itu skill, kalau skill itu tidak ada bakal sulit. Kalau
dia hafal peraturan tetapi begitu lulus peraturannya sudah diganti oleh
DPR. Bagaimana mau bersaing di tingkat global, atau regional? Idealnya,
sebanyak mungkin skill diberikan di fakultas. Nanti, sebagian lagi
penyempurnaan di dunia praktik. Kalau bicara kurikulum ya
standar-standar saja, porsi keterampilannya yang kurang.
Skill di dunia hukum kan di seluruh dunia sudah baku. Pertama, kita
harus bisa memecahkan masalah. Kalau tidak ada masalah, mungkin tidak
perlu pengacara. Kedua, kita harus bisa negosiasi. Anehnya, mata kuliah
negosiasi justru ada di fakultas psikologi. Ketiga, kita harus bisa counselling.
Klien itu datang pada dasarnya kepentingannya cuma satu yaitu “dengerin
cerita saya”. Setelah itu, dia baru bertanya “apa yang harus saya
lakukan?” klien tidak akan bertanya “pasal berapa”, tetapi “apa yang
harus saya lakukan?”
Integritas sepertinya menjadi masalah besar di dunia hukum, sejauh mana peran kampus dalam membentuk integritas lulusannya?
Biasanya, hal pertama yang saya bahas di kuliah itu soal integrity.
Saya selalu kasih contoh, misalnya anda bekerja di lawfirm, lalu di
hari pertama langsung mendapat tugas mengambil putusan. Sebenarnya ini
pekerjaan mudah, tetapi ketika mau ambil anda harus bayar Rp10 ribu.
Pertanyaannya, “apa yang anda akan lakukan?” Pulang tanpa hasil atau
bayar untuk dapat putusan itu?
Kita harus hati-hati sama yang Rp10 ribu itu. Jadi, kuncinya saat
pertama kali itu. Begitu melakukan, selanjutnya hanya menjadi rutinitas.
Saya berpikir kalau pengacara melakukan korupsi, maka suatu saat nanti
dia juga bisa di-bribe. Prinsipnya kita harus tough (tangguh) tetapi tidak boleh rough (kasar). Saya pikir, kampus masih bisa mengajarkan integritas. Setidaknya di kampus, masih bisa damage control (mengendalikan kerusakan).